Di sebuah kamar kost di Jakarta, Dedy menulis surat yang ditujukannya untuk Tuhan. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana perasaannya sekarang. Benci, muak, lelah, semuanya bercampur menjadi bagian hidupnya sekarang. Diambilnya beberapa carik kertas dan dia mulai menulis kata, kalimat yang menjadi curahan hatinya.
Jakarta, lima Januari 2008.
Teruntuk Tuhan di langit, bumi dan di hatiku.
Tuhan, aku tak tahu lagi dengan siapa aku menengadahkan tanganku ini. Dengan siapa lagi aku harus mengadu. Hanya Engkaulah hamba akan menanamkan cinta karena orang-orang yang hamba cintai telah menghianati hamba.
Tuhan, hamba ingin bercerita tentang apa yang hamba alami selama ini. Hamba harap engkau masih mendengarkan do’a-do’aku.
Pagi itu matahari belum benar-benar menampakkan sinarnya. Aku keluar kamar hendak sedikit membasuh muka dan sikat gigi. Tiba-tiba terdengar suara ribut dan ada sesuatu yang pecah. Aku tahu di ruang tamu, mama dan papa sedang bertengkar hebat. Sebuah peandangan yang sudah biasa. Akupun cuek. Aku jenuh dengan kata-kata selorok yang mereka ucapkan. Sampai hafal di luar kepala. “bajingan, goblok, penghianat, selingkuh” dan banyak lagi kata yang seharusnya bukan untuk di ucapkan. Aku jadi ketularan mereka juga.
“Sana pergi dengan selingkuhanmu! Sekarang aku nggak butuh kamu lagi. Ceraikan aku sekarang juga! Dasar mata keranjang.”, terdengar suara keras mama mengumpat-ngumpat ayah yang ketahuan selingkuh.
“O… jadi sekarang kamu sudah tidak butuh aku lagi? Iya? Oke sekarang juga aku akan ceraikan kau. Pergi sana jauh dari rumahku ini!”, Balas ayah dengan suara keras merasa paling benar.
“Apa? Aku yang harus pergi? Enak saja kau bicara. Aku tiap hari banting tulang bekerja siang malam untuk menghidupi keluarga. Kamu enak-enakan cari perempuan dan sekarang kamu mau mengusirku? Kamu yang seharusnya pergi dari sini! Pengecut.”, selorok mama sambil menampar wajah ayah.
“Baik kalau itu memang maumu. Tapi jangan harap kau akan mendapatkan hak asuh atas anak kita. Rery akan ikut ayahnya pergi.”
“Tidak. Rery akan tetap di sini bersamaku. Karena aku ibunya. Aku yang melahirkannya. Aku yang mengasuhnya. Kau tak berhak membawanya dari tanganku.”
“Mengasuh apa, hah?. Kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu. Dimana kamu ketika Rery membutuhkan belai seorang ibu. Aku yang mengasuh dan mendidiknya hingga sekarang.” Suara-suara itu semakin lama semakin keras dan mereka saling memaki dan menghujat.
Rasanya kepalaku mau pecah mendengar ocehan mama dan papa. Aku putuskan untuk pergi dari rumah. Aku sudah nggak peduli lagi dengan mereka. Selama ini mereka selalu sibuk dengan kesibukan mereka sendiri. Aku pun menyibukkan diri dengan nongkrong sama kawan-kawanku di sebuah warung kopi dua puluh empat jam. Di sana aku lebih bebas meluapkan emosi. Tak ada yang mengatur. Tak ada yang mengawasi dan tak ada yang suara bising mama papa yang tiada henti.
“Rer, kamu nggak pulang? Sudah jam tiga pagi nih. Aku udah ngantuk.” Tanya si Toni, teman yang biasa menemaniku begadang.
“Ton, aku pulang ke kostmu aja ya. Aku nggak pulang ke rumah sekarang. Rumahku sekarang sudah berubah menjadi neraka.”, jawabku jengkel pada diriku sendiri.
“Terserah kamu lah.”
“Nanti kalo mama atau papa telpon kamu, nanyain aku di mana, jawab aja kamu nggak tahu. Aku lagi nggak mau diganggu mereka dulu, Ton. Kamu mau bantu aku kan?”
“Aku akan selalu bantu kamu, Rer.”
~~¤¤ ~~
Nina datang ke kost Toni. Aku nggak tahu siapa yang beri tahu dia. Mungkin juga Toni yang memberitahuanya. Aku sebenarnya nggak mau dia sedih karena aku. Aku sendiri tahu kalau keluarganya pun broken home.
“Yang, kenapa sih selama ini kamu nggak jujur ama aku. Kamu nggak pernah cerita kalau mama papamu nggak harmonis?”
“Aku nggak mau buat kamu sedih, Yang.”, jawabku tak mau buat dia sedih. “yang, rencana aku mau ke Jogja. Aku mau menenangkan diri dulu.” Lanjutku.
“ke Jogja?”
“Iya. Aku mau ke tempatnya eyangku di sana. Walaupun beliau orang tua papa, tapi beliau sangat arif.”
Setelah beberapa hari nginap di kost Toni, aku pergi ke Jogja, ke rumah eyang Syarif. Di jakarta aku sudah tidak betah lagi. Mama sudah sibuk lagi dengan kerjaannya. Sementara papa jarang di rumah. Kalau pun sesekali mereka bertemu di rumah, pasti terjadi keributan.
Setelah satu minggu di Jogja, aku langsung kembali ke Jakarta, tapi aku tak langsung pulang ke rumah. Aku pergi ke kost Toni. Syahdan aku keget bukan main. Ku lihat Toni dan Nina bercumbu di kamar Toni. Hatiku semakin hancur, remuk redam tak terkira. Sahabat yang selama ini aku percayai, ternyata menghianatiku. Begitu juga pacar yang aku cintai, ternyata selingkuh dengan sahabatku.
Ah… malam dan siang hanyalah sumpah serapah. Tak ada lagi yang mempunyai telinga sehingga mendengarnya. Sayang sekali, jamuan di meja makan ini tak sesyahdu alunan musiknya. Seketika itu gaduh terbakar. Ada yang berteriak dan berkelakar. Semua kacau dalam ruang kekalutan dan kepuasan masing-masing. Semuanya sudah tua dan mati
Tak ada lagi yang tersisa. Namun, musiknya masih mengalun walaupun mereka tak lagi bertelinga. Hidangannya pun masih tetap sempurna, walaupun tak ada yang merasakan keberadaanya.
Ampun Gusti…Ketika titah-Mu menjadi ritual, Tubuh-Mu seperti larut di bawah jamah kotor tangan dan kakiku. Ketika sifat-sifat-Mu dituliskan tulisan itu memenjarakannya dalam kata-kata yang juga dipakai manusia mengungkap busuk-sampah dan sumpah-serapah…
Ketika nama-Mu diucapkan dalam ujaran-ujaran saat orang mengigaukan mimpi basah… Dan hanya diam saja yang bisa aku lakukan. Sementara diri-Mu menari di depanku bersama bayangan lunglaiku.
Ampun Gusti… Kami terpaksa menggapai Zat-Mu. Di balik rajutan bahasa dan kata-kata yang jahat…
Ampun… Gusti… bukan harta melimpah yang hamba damba, tetapi rahmat-Mu yang lebih agung dari segalanya, tetapi cintaku yang KAU cintai… Atau kemunafikan yang hamba pelihara saat demi saat, yang setiap saat menjadi momok dalam mimpi buruk atau indahku
Gusti….Ampun…Gusti… Engkau di mana? Akankah Engkau di sana mendengar hamba? Atau engkau telah di sini, di dekat pembaringan ini dan menikmati keluh-kesahku?Atau Engkau telah menggelar singgasana-Mu di hatiku? Ataukah hamba hanya terlalu besar harap?
Ampun Gusti…
Dari hamba-Mu yang mendambakan cinta-Mu.
Dedy
Selesai menulis surat, Dedy memasukkannya ke dalam sebuah amplop coklat. Dia keluar kamar dan pergi menuju teluk Jakarta. Dia berteriak sekeras-kerasnya.
“Tuhan, apa Engkau masih mendengarkan do’aku? Aku sudah tak sanggup lagi menanggung hidup. Dunia ini sudah di penuhi para penghianat. Orang-orang bangsat. Tuhan… kutitipkan keluh kesahku dalam surat ini. Terserah Engkau buang lagi atau Engkau baca dan Engkau obati sakit-sakit dalam batinku ini.”
Dia lantas membuang suratnya ke laut. Surat itu tenggelam termakan gelombang. Dia lalu pulang, meninggalkan suratnya pada Tuhan. Dia berharap suratnya segera mendapatkan balasan dari Tuhan.
Sesampainya di kontrakan, dia lantas membaringkan dirinya di atas kursi kayu tua. Sambil menunggu-nunggu jawaban dari Tuhannya.
1 komentar:
buat dedi, yang tabah ya...
Posting Komentar