Heurmeneutika PEMBEBASAN Hassan Hanafi

sublimasi pemikiran pembebasan dalam diri Hassan Hanafi itu [membawa] kepada tataran baru dalam perjalanan pemikirannya. Ia tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu, melainkan tentang paradigma baru yang harus dimiliki Islam dalam konteks munculnya universalisme baru yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin(Abdurrahman Wahid)
Pendahuluan
Hassan Hanafi, tokoh kita ini, bukanlah intellectual par exellence di bidang Tafsir maupun studi-studi Al-Qur’an. Banyak nama lain yang mestinya lebih layak dikemukakan menyangkut disiplin tersebut ketimbang membahas pemikirannya; katakanlah, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Esack, atau muridnya yang begitu brilian, Abū Zayd. Nama-nama belakangan ini bukan saja dikenal dengan concern-nya pada pengujian kembali khazanah pemikiran Islam (turāts) pada sang titik alpha, Al-Quran.
Tapi juga karena masing-masing mereka telah mempublikasikan karya-karya yang hingga kini menjadi kajian wajib pemerhati tafsir di Timur dan Barat. Sementara itu, Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneutik, apalagi seorang mufassir. Namun demikian, jika merujuk pada karya akademisnya di La Sorbonne, jelas bahwa semenjak awal, ia telah berminat besar pada perumusan metodologi penafsiran.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat semua ini istimewa? Inilah yang ingin dijawab oleh keseluruhan isi “Hermeneutika Pembebasan”. Bukanlah hal yang mudah untuk menjawabnya, oleh karena diperlukan sejumlah kriteria yang bisa menunjukkan, secara asimptomatis, “hakikat” gagasannya tentang metodologi tafsir Al-Qur’an. Demi menjawab pertanyaan sederhana di atas, akan membahas, pertama, latar belakang dan posisi intelektual Hanafi dalam peta hermeneutika Al-Quran kontemporer; kedua, inti gagasan hermeneutika pembebasan; dan ketiga, beberapa perbaikan dalam catatan hermeneutika Al-Quran untuk pembebasan Hassan Hanafi.
Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, mesir, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi[1].
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam[2].
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitasnya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.[3]
Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan, pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilimiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam.[4] Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu`ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).[5]
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987.[6] Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan "Kiri Keagamaan" yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[7]
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.[8]
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah. buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang.
Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.[9]
Konteks Intelektual
Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Qur’an dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan.
Hanafi, bagaimanapun, adalah seorang pengamat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Membaca Ad-Dīn wa ats-Tsawrah fī Mishr 1956-1981, 8 jilid, (terbit 1989), atau Hiwār al-Masyriq wa al-Maghrib (1990) yang ditulis dan diedit bersama koleganya, al-Jābirī, dalam rangka debat dengan sejumlah pemikir Muslim lain yang mengatasnamakan diri kaum Masyriq; dan Hiwār al-Ajyāl (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi terhadap sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, kita akan menyaksikan bagaimana komentar-komentar Hanafī tersebut merefleksikan dirinya dan pergumulan intelektual Arab-Islam kontemporer. Kita tidak mungkin mencabut Hanafi dari situasi sosio-politik dunia Arab, dan Mesir, khususnya, ketimbang dari konteks-konteks lain, seperti diskursus pemikiran Islam modern atau studi Al-Quran kontemporer. Mukhātab-nya tetaplah dunia Arab dengan segala pertarungan ideologisnya.
Gerakan pemikiran yang diusung Hanafi dimaksudkan sebagai usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama oleh kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologi-ideologi pembangunan yang berkembang di Mesir, seperti liberalisme Barat, sosialisme negara, Marxisme klasik, hingga ritualisme kesukuan/agama. Kritik Hanafi sangat mendasar, karena diarahkan pada substansi dan praktek pembangunan itu sekaligus. Secara teoretis, bentuk-bentuk ideologi tersebut sangat bias Barat, sama sekali “asing” bagi rakyat, atau mengabaikan tradisi, sehingga hilang dari kesadaran massa. Kalaupun ada ideologi pembangunan yang berbasis agama, alih-alih berfungsi sebagai kritik, justru menjadi alat kekuasaan yang juga mengabdi pada kepentingan sekular. Sementara, secara praktis, pembangunan di Mesir bukannya mendatangkan kemajuan yang sejati, tapi justru menyengsarakan rakyat, melebarkan kesenjangan, dan menyuburkan korupsi.
Tawaran Hanafi, dalam konteks ini, berbeda dengan ideologi yang mempromosikan pembangunan (developmentalism) yang lebih berkonotasi (growth, pertumbuhan), tapi kritik pembangunan dalam pengertian populisme “transformasi”. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi yang mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat. Pada titik inilah “Kiri Islam”, sebagaimana diakui dalam manifestonya—merefleksikan tahapan tertentu dalam perkembangan intelektual Hanafi sebagai transformasi dari “dominannya kesadaran individual (al-wa`yu al-fardī) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran sosial (al-wa`yu al-ijtima`ī) sejak dekade 1980-an. Sebagaimana digambarkan dalam salah satu bagian manifesto tersebut, Hassan Hanafi bermaksud menciptakan sebuah disiplin interpretasi dengan sensitivitas yang luarbiasa pada realitas dan kemanusiaan. Ia menginginkan agar Kiri Islam sanggup menghasilkan tafsir perseptif, yakni tafsir atas dasar kesadaran humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik.
Kiri Islam, hermeneutika pembebasan, dan tafsir revolusioner, kemudian masuk ke dalam suatu skema besar dari proyek paling ambisius, at-Turāts wa at-Tajdīd. Dalam proyek tersebut, metodologi tafsir (al-Manāhij) mengandaikan suatu eksposisi sistematis mengenai penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran, atau semacam pandangan dunia Al-Quran mengenai kehidupan.
Inilah yang dikatakan Hanafi mengenai dirinya. Implisit di dalamnya obsesi-obsesi besar mengenai pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Jika yang pertama mengandaikan kapasitas intelektual yang memadai atas tradisi dan modernitas, Islam dan Barat (al-istibhār fi at-turāts wa at-taqaddum al-gharbiyyah), yang kedua mengandaikan adanya concern kemanusiaan dan analisa sosial yang tajam, secara simultan pula.
Lantas, apa yang tidak dikatakan Hanafi mengenai dirinya, tapi kental dalam segenap usaha intelektualnya? Kita berhutang pada kritik wacana dari sejumlah kritikus Arab kontemporer guna memahami, antara lain, penyataan-pernyataan Hanafi dalam banyak kesempatan, “Saya telah memulai proyek ini, mengingat usia saya yang telah lanjut”. `Alī Harb, salah seorang kritikus pemikiran Arab kontemporer, menuding Hanafi, tidak lebih dari orang yang mengidap apa yang disebut “narsisisme intelektual” (narjisiyyah al-mutsaqqaf) yang menjadi ciri epistem Arab kontemporer. Sebagai anak zamannya, gejala semacam itu bukan khas milik Hanafi seorang. Ini semacam efek dari euforia pembaharuan di kalangan intelektual Arab. Mereka, termasuk Hanafi, selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap proses pembaharuan di dunia Islam. Padahal, menurut Harb, mereka hanya bekerja demi reputasi dan ego masing-masing.
Sementara itu, Abū Zayd, mempersoalkan prosedur ilmiah pemikiran hermeneutis Hanafi, terutama ketika menafsirkan tradisi pemikiran Islam. Hanafi dianggap memberi porsi yang berlebihan bagi penafsir dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri. Pola berpikir semacam ini memang begitu dominan dalam interaksi Hanafi dengan khazanah keilmuan Islam yang kaya. Seperti ditunjukkan lebih lanjut oleh Abū Zayd, Hanafi sering kali menerapkan eklektisisme terhadap teks-teks tradisional sepanjang mendukung proyek pemikirannya. Padahal, setiap konsep dalam tradisi tersebut senantiasa dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan konteksnya sendiri-sendiri yang bisa jadi kontradiktif dengan penafsiran yang dilakukan Hanafi.
Latar belakang di atas merupakan clues (isyārāt) mengenai orientasi paradigmatis dari hermeneutika pembebasan. Jauh dari ruang vakum, pemikiran Hanafi adalah produk nalar dalam ruang sosial-budaya yang di dalamnya berbagai kuasa beroperasi dan saling bertarung berebut posisi dan reputasi. Pertanyaannya, apakah itu mengurangi keistimewaan pemikiran hermeneutis Hanafi?
Posisi Metodologis
Hanafi, sebagaimana diberikan di atas, pada dasarnya, tidak berhadapan secara langsung dengan diskursus hermeneutika Al-Qur’an kontemporer. Namun demikian, ada satu common denominator di setiap negara Muslim mutakhir bahwa masing-masing menghadapi modernitas dan pembangunan. Tantangan demikian juga berlaku bagi pemikir-pemikir Muslim, terutama yang bermaksud mencari pendasarannya dalam Al-Qur’an. Masalahnya, mengutip bahasa Arkoun dan Rahman, kita sedang berhadapan dengan teks yang berasal dari 14 abad lalu di mana berbagai metode ilmiah dan gagasan baru dalam wacana penafsiran Al-Qur’an bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut “dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Qur’an”. Upaya yang terakhir ini, disinyalir sering kali bukan demi memahami makna Al-Qur’an, tapi justru untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani, bahkan yang paling `baik’ sekalipun, demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, para pemikir Muslim modern terbelah ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu, beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an. Kategori yang pertama terutama diwakili oleh Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Abū Zayd. Sedang dalam kategori terakhir dapat dimasukkan para pemikir progresif, seperti Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin.
Meminjam kerangka analitis Josef Bleicher, dua tipologi di atas dapat kita anggap masing–masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat teoretik (metodis) dan yang bercorak filosofis. Hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat metodis lebih banyak memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoretik di seputar penafsiran Al-Qur’an, yakni pada “bagaimana” menafsirkan teks Al-Qur’an secara benar dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang benar pula.[10] Fazlur Rahman beranggapan bahwa tugas penafsiran adalah memperoleh ratio legis atau ideal moral dari teks-teks Al-Qur’an dengan cara mempertimbangkan situasi objektif di mana teks lahir. Lebih ekstrim lagi, hermeneut seperti Mohammed Arkoun telah menyediakan sebuah skema komprehensif tentang syarat-syarat teoretis dalam penafsiran untuk sampai pada “kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Qur’an pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks”[11].
Belakangan, Abū Zayd dengan bertumpu pada logika validitas ala E.D. Hirsch Jr., mengusulkan bahwa hermeneutika harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna objektif teks (meaning, al-ma`nā) dan pengertian atau interpretasi baru (significance, al-maghzā) yang dapat ditarik dari makna objektif-orisinal tersebut. Makna objektif inilah yang pertama-tama harus diusahakan oleh interpreter dengan melakukan “pembacaan” pada struktur internal teks dan pada situasi historis yang pernah diresponnya. Baru setelah itu, dilakukan “penafsiran” yang memungkinkan diperolehnya jawaban spesifik bagi problem eksistensial hidup kekinian. Berdasarkan pertimbangan di atas, Arkoun, Rahman, dan Abū Zayd sangat mementingkan prosedur ilmiah yang dengannya objektivitas dapat dijaga.
Sementara itu, hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis berasumsi bahwa objektivitas semacam itu paling banter hanya bisa “diandaikan” secara teoretik, namun dalam kenyataannya, sangat sulit dipraktekkan. Ciri utama hermeneutika filosofis adalah pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham. Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Menurut perspektif yang antara lain diusung oleh Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin ini, penafsiran objektif dalam pengertian memperoleh kembali atau mereproduksi makna sejati teks sebagaimana maksud pemikiran pengarangnya dulu sama sekali tidak mungkin tercapai.
Dihadapkan pada dua kecenderungan teoretis di atas, hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dari Hassan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoretik hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis, maupun yang sifatnya metodis. Bahkan dalam kadar yang relatif minim, hermeneutika pembebasan dari Hanafi mencirikan pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis, varian lain dari mazhab pemikiran dalam hermeneutika.
Terhadap hermeneutika metodis, Hassan Hanafi menginginkan hermeneutika pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif, dan universal. Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, selain analisa linguistiknya,” sebuah pendirian yang mirip dengan analisa struktur internal menurut Abū Zayd.
Di lain pihak, hermeneutika pembebasan Al-Qur’an tersebut sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika Al-Qur’an yang besifat filosofis sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Apalagi dalam tulisan-tulisannya yang mutakhir, Hanafi memang menganggap “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu bersifat praktis dan menjadi bagian dari perjuangan sosial”. Dalam pengertian yang terakhir ini, ia menginginkan hermeneutika pembebasannya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir di hadapan teks sebelum persitiwa penafsiran dilakukan. Kecederungan ke arah praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutis Hanafi belakangan yang kemudian membedakannya dari rumusan hermeneutisnya pada tahap awal dan dari kecenderungan banyak hermeneutik kontemporer lainnya.
Dalam kaitannya dengan kritisisme hermenutis atau corak hermeneutika kritis (critical hermeneutics), pemikiran Hanafi memang jauh dari pengaruh mazhab Frankfrut yang kondang dengan teori kritik masyarakatnya. Akan tetapi, dengan menerapkan analisis Marxian yang senantiasa mencurigai tendensi kekuasan dan dominasi di balik teks dan penafsiran, tidak pelak lagi, Hanafi telah berada separuh jalan ke arah penafsiran kritis sebagaimana yang lazim dalam hermeneutika yang bercorak kritis.
Tiga pendekatan itulah yang kemudian diramu Hanafi bersama-sama dengan disiplin Ushūl al-Fiqh ke dalam kerangka hermeneutika pembebasan Al-Qur’an. Hal ini karena Hanafi melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum, di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini berusaha merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas ushūl al-fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.
Hassan Hanafi, dalam hal ini, mengajukan beragam problematika teoretis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushūl al-fiqh, seperti asbāb an-nuzūl, an-nāsikh wa al-mansūkh, dan mashlahah. Asbāb an-nuzūl dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nāsikh wa al-mansūkh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah. Adapun konsep mashlahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemasalahatan manusia. Dapat dipahami dari maksud praksis hermeneutika pembebasan Al-Qur’an Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu fiqih dan ushūl al-fiqh perlu diterima. Hanafi dan gerakan pemikiran Kiri Islam-nya lebih cocok dengan paradigma ushūl al-fiqh dari al-fiqh al-Mālikī yang berkembang dalam tradisi `Abdullah ibnu Mas`ud yang diderivasi dari Umar bin Khattab. Sebab paradigma Maliki lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum (mashlahah al-`āmm).
Keunikan model hermeneutika pembebasan Hanafi ini agaknya berangkat dari dasar-dasar metodologis pemikirannya yang bisa jadi tidak ia sadari. Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis. Eksperimentasi semacam ini memang harus diakui jenial mengingat ia harus mengatasi kontradiksi teoretis dalam pelbagai pemikiran yang ia pinjam dalam perumusan hermeneutika Al-Qur’annya. Namun, tidak urung, ia juga menyisakan segepok masalah yang harus diselesaikan.
Hermeneutika Pembebasan Hanafi Serta Sikap Ia Terhadap Tradisi Barat
Jika tidak dianggap berlebihan, Hanafi dapat disebut sebagai salah seorang yang pertama mempromosikan hermeneutika dalam mempelajarai bahasa agama. Selain menulis dan mempublikasikan disertasi doktoralnya yang sarat eksperimentasi hermeneutika, Lés Metodes d`Exégese, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, `ilm Ushūl al-Fiqh (1965), ia juga telah meletakkan dasar-dasar apa yang ia sebut sebagai “Hermeneutics as Axiomatics” (1977). Pada perumusan awal tersebut, Hanafi masih berbicara dalam kerangka objektivisme dan berusaha sekomprehensif mungkin. Ia, antara lain, merekomendasikan perlunya hermeneutika menjadi sebuah aksiomatika, suatu pendasaran ilmiah yang dengannya teologi dan iman tidak dapat dibantah. Di samping itu, hermeneutika ia maksudkan untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang objektif, rigorus, dan universal. Seperti halnya fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl, pendekatan ini memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apodiktis, yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun.[12]
Belakangan, Hassan Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan bahwa “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu merupakan “hermeneutika terapan” yang merupakan bagian dari perjuangan sosial”. Bagi Hanafi, pluralitas penafsiran itu sendiri merupakan mencerminkan konstruksi masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, Hanafi tidak lagi berbicara tentang hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tapi lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia dibangun.[13]
Hermeneutika yang cenderung bersifat historis dalam gagasan Hanafi tersebut hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dalam diskursus pemikiran Barat. Dalam hermeneutika jenis ini, utamanya yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu, bagi Gadamer, sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh “prapaham” tertentu yang mencerminkan historisitas yang melingkupi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian makna objektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu penafsiran merupakan “kegiatan produktif” dan bukanlah proses “reproduksi” makna untuk menghadirkan makna asali dalam kehidupan kekinian.[14]
Pandangan semacam ini diterima sepenuhnya oleh Hanafi. Menurutnya, suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. “Setiap teks berangkat dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks”. Penafsiran adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri.[15]
Rekognisi atas hubungan interpretasi dengan realitas memang demikian signifikan dalam hermeneutika pembebasan Al-Qur’an, meskipun tidak pada hermeneutika sebagai aksiomatika. Hanafi senantiasa mengaitkan hermenutika pada “praksis”. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh Marxisme dalam pikirannya. Hanafi, misalnya, dapat melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika “progresif” dan “konservatif”.[16]
Melalui Marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju pada praksis. Hanafi mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan “fenomenologi dinamis” yang dibedakan dari fenomenologi statis. Hanafi berharap dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi ke modernisasi. Menurut Hanafi, inilah metode transformasi sebagai tindakan “regresif-progresif”. Pada saat yang sama, penggunaan Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.[17]
Hassan Hanafi mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qur’annya berada pada tiga domain analisis: {kritik sejarah, eidetik, dan praksis}. Kritik historis berfungsi menjamin keaslian teks dalam sejarah, kritik eidetik menggambarkan kerja teori penafsiran, dan kritik praksis adalah penerapan hasil interpretasi tersebut dalam bentuk formulasi pemikiran tentang aksi: rencana, pembuatan hukum, penyusunan sistem, dan sebagainya.[18]
Pada tahap kritik sejarah, hermeneutika pembebasan dalam pengertian kegiatan interpretasi belum dilakukan kecuali sebagai sarana membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks. Interpretasi baru dimulai pada tahap eidetik di mana Hanafi merumuskan banyak teori penafsiran yang terangkum dalam apa yang lazim sebut sebagai “metode tafsir tematik”. Sejauh menyangkut kegiatan interpretasi teks, Hanafi menawarkan di dalamnya metode analisa pengalaman (manhaj tahlīl al-khubrāt) dan metode interpretasi teks yang berhubungan secara kronologis dan dialektis sekaligus. Pertama-tama, penafsir menganalisa pengalamannya, yakni apa yang dipresentasikan oleh realitas sebagaimana yang dipahami oleh kesadaran penafsir. Fungsinya adalah untuk memastikan kebutuhan, problematika, kepentingan dan orientasi penafsir terhadap teks. Setelah itu penafsir baru beranjak pada interpretasi teks sebagaimana yang dituntut oleh kepentingan dan kebutuhannya. Proses ganda inilah yang dapat kita sebut sebagai kritik eidetik.[19]
Proses selanjutnya adalah interpretasi teks. Tahap ini, sejauh menelusuri pemikiran Hanafi, dilakukan melalui dua aspek tekstualitasnya, yakni bahasa dan konteks sejarahnya. Yang pertama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan, sedang yang kedua melalui penelitian dan pemahaman yang memadai atas asbāb an-nuzūl. Setelah makna-makna linguistik dan keadaan sejarah ditentukan, selanjutnya penafsiran dilakukan melalui generalisasi makna dari situasi saat dan situasi sejarah agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan interpretasi untuk menyikapi kasus-kasus tertentu dalam masyarakat kontemporer.[20]
Generalisasi yang merupakan langkah kedua dari kegiatan interpretasi pada akhirnya membuka peluang bagi munculnya kritik praksis. Sebagaimana disebutkan tadi, makna baru dapat diperoleh dari interpretasi dan berfungsi untuk memformulasi sikap seorang penafsir terhadap problem atau realitas tertentu. Secara teoretik, praksis dilakukan dengan membandingkan antara struktur ideal yang terefleksi dalam formulasi makna baru dari kegiatan interpretasi dan struktur sosial yang diperoleh dari analisa situasi faktual. Sekali kesenjangan ditemukan, hermeneutika pembebasan Al-Quran lantas bertugas model-model aksi yang dapat menfasilitasi transformasi Logos menuju teori, dan teori ke praksis.[21]
Ruang terbatas ini tidak memungkinkan kita menyajikan metode sistematis, dalam pengertian teknik-teknik penafsiran dari hermeneutika Al-Quran Hanafi. Kita dapat melihatnya, paling tidak, dalam Methode of Thematic Interpretation dan Manāhij at-Tafsīr wa Mashāliĥ al-`Ummah, dan lebih baik kita memberi beberapa catatan ringkas berikut.
Ada yang menarik dalam Hermeneutika Pembebasan Hanafi, salah satunya adalah ia menarik dari kesimpulan mengenai orang Islam mengkaji barat, mengenai ini Hanafi mulai membuat proyek besar, yakni mengenai Oksidentalisme, yang diperkenalkan oleh intelektual Mesir, Hassan Hanafi. Kebalikan dari Orientalisme, Oksidentalisme adalah kesadaran tentang perlunya menjadikan barat sebagai kajian.
Saya akan mengenalkan buku Muqaddimah Fi ’Ilm Al-Istighrãb karya Hassan Hanafi dengan terjemahan-nya ”Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat” terbitan Paramadina Jakarta, bahwa buku Oksidentalisme karya Hassan Hanafi ini, ada beberapa gagasan besarnya yang dapat diringkas dalam 3 (tiga) poin. Pertama, kritik terhadap Barat; bahwa kita perlu melakukan kritik terhadap Barat, karena ia tidak lepas dari dominasi budaya dan peradabannya terhadap dunia Timur yang tentu tidak terhindar dari aspek superioritas dan imperialismenya; aspek kekurangan dan kekeliruannya; mengkerdilkan Timur. kedua, menjadikan Barat sebagai obyek kajian (mempelajari Barat), karena selama ini hanya Timurlah yang menjadi obyek kajian. Ketiga, mengajari Barat, bahwa Timur bisa menunjukkan Barat kepada relnya, bagaimana menempatkan dirinya di tengah-tengah dunia global.[22]
Oksidentalisme merupakan satu bagian terpenting dari realisasi tiga agenda besar dari proyek Hassan Hanafi, al-turāts wa tajdīd (tradisi dan pembaruan). Ketiga agenda ini: pertama, sikap kita terhadap tradisi lama; kedua, kritisisme terhadap peradaban Barat; dan ketiga, sikap kita terhadap realitas.[23]
Bagi Hanafi, ketiga agenda di atas ini merupakan dinamika dan produk proses dialektika antara ‘ego’ (al-anā) dan ‘the other’ (al-ākhar) Dalam ketiga agendanya ini, ia mengembangkan teori dan paradigma interpretasi.[24]
Ia mengakui bahwa Barat yang dalam buku edisi berbahasa Arabnya, dibahasakan dengan istilah al-akhar (“the other”) adalah pendatang utama dan juga sumber pengetahuan ilmiah dalam kesadaran kita. Sebagai pendatang utama dan juga sumber pengetahuan, Barat menduduki posisi sangat penting. Kedudukan yang demikian pentingnya ini, menurut Hanafi, tidak pernah dikritisi secara serius oleh kalangan intelektual Islam. Memang selama ini ada kritik, namun kritik yang dilakukan masih dalam batas-batas yang amat sempit. Salah satu kelemahan kritik dunia Islam terhadap Barat terletak pada gaya dan metodenya yang sangat bersifat retorik dan dialektik. “Seharusnya kritik melibatkan pendekatan kritis dan memakai logika demonstratif serta empiris-induktif,” saran Hanafi.
Penutup
Membahas gagasan monumental dari seseorang pemikir muslim kontemporer, pencetus pemikiran ”Kiri Islam” (al-yasâr al-Islâmi), dan teolog Islam pembebasan, mengenai seperangkat metodologi penafsiran atau hermeneutika Al-Qur’an yang concern pada masalah-masalah kritis dalam kehidupan manusia, seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan. Tawarannya tidak saja menggugat mandulnya teori tafsir Al-Qur’an klasik, tetapi juga tendensi objektivistik dan bebas-nilainya hermeneutika Al-Qur’an dari sebagian pemikir muslim kontemporer. Alih-alih membela kaum tertindas, Hanafi mencurigai model-model hermeneutis semacam itu yang justru turut melanggengkan ketidakadilan dan kemelaratan kaum muslim hingga kini.
Oleh karena itu, Hanafi menganggap diperlukan cara baru bagi Al-Qur’an yang transformatif terhadap kehidupan umat dan solutif terhadap berbagai masalah sosial sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme yang menyertai proses pembangunan di dunia Islam.
Di sinilah letak urgensi hermeneutika Al-Qur’an untuk pembebasan yang di angkat Hassan Hanafi. Mengenai Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi. Ada satu point yang perlu diingat kembali bahwasnya dalam Hermeneutika Pembebasan itu Hassan Hanafi mencoba mengkritisi, menguliti Barat dengan ciptaannya sendiri. Yaitu Oksidentalisme.
Secara ideologis, Oksidentalisme versi Hassan Hanafi ini diciptakan dengan maksud sebagai alat untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita.[25] Meskipun begitu, dengan sikap rendah hati, Hanafi menyatakan bahwa Oksidentalisme sesungguhnya bukan lawan Orientalisme melainkan sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat (yakni, Westernisme) atas dunia Timur (orang Timur, dan terutama dalam hal ini adalah masyarakat Islam).

Daftar pustaka;
& Hanafi, Hassan. 2000, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina.
& Hanafi, Hassan. 2003, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama; Buku Pertama: Pengantar Teoritis Menata Bangun Kembali Ilmu-ilmu Klasik Islam untuk Transformasi Sosial, Jakarta: Paramadina.
& Panggabean, Samsu Rizal. 2001, Dîn, Dunyâ, dan Daulah: Pemikiran Hassan Hanafi, Ensiklopedia Dunia Tematis Islam, jilid 6, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
& Saenong, Ilham B. 2002, Hermenutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Teraju.


[1] Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Teraju, 2002. h. 69
[2] Ibid., h. 71
[3] Ibid., h. 72-73
[4] Hassan Hanafi. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama; Buku Pertama: Pengantar Teoritis Menata Bangun Kembali Ilmu-ilmu Klasik Islam untuk Transformasi Sosial, Jakarta: Paramadina 2003, h. xv
[5] Ilham B. Saenong. 2002, Op. Cit., h. 74
[6] Hassan Hanafi. 2003, Op. Cit., h. xiii
[7] Ilham B. Saenong. 2002, Op. Cit., h. xxiii
[8] Samsu Rizal Panggabean. Dîn, Dunyâ, dan Daulah: Pemikiran Hassan Hanafi, Ensiklopedia Dunia Tematis Islam, jilid 6, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. h. 48-49
[9] Ilham B. Saenong. 2002, Op. Cit., h. 48-49
[10] Ibid., h. 34
[11] Ibid., h. 6
[12] Ibid., h. 108
[13] Ibid., h. 109-110
[14] Ibid., h. 110
[15] Ibid., h. 110-111
[16]Ibid., h. 111-112
[17] Ibid., h. 112
[18] Ibid., h. 112-114
[19] Ibid., h. 115-118
[20] Ibid., h. 120
[21] Ibid., h. 123
[22] Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina. 2000., h. 1-8
[23] Ibid., h. 3
[24] Ibid., h. 5
[25] Ibid., h. xix

From: http://danyhidayatapjautama.blogspot.com/2008/06/heurmeneutika-pembebasan-hassan-hanafi.html

0 komentar: