Bisnis Kaum Santri


 
Bisnis Kaum Santri:
Studi tentang Kegiatan Bisnis Komunitas Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Pekalongan

Muhammad Shulthoni
Misbakhudin
Nalim
Dewi Puspitasari

m.shulthoni@gmail.com

Abstract : To obtain a comprehensive study, I will see the Sufi order’s wisdoms implemented by the adherents of Qadiriyyah Naqshbandiyyah order of Pekalongan – by using Weber’s theory the spirit of capitalism – in order to achieve their economic activities. In addition, how the Islamic teachings (tarekat ethics) are transforming their business. In an attempt to bring to the surface of the ethics in economic activities, this study will examine the order’s teachings practiced by the adherents of Qadiriyyah Naqshbandiyyah order of Pekalongan in one period of field research from June to October 2010. This is done by means of a process – as objective as possible – of description and interpretation. As I study my primary resources (from the books, magazines, websites, and interviews), my attention is focused on the treatment of the subject, how the order’s ethics are articulated, and the way in which they function to observe the religious teachings in their business activities. This paper will explain social and historical background of Qadiriyyah Naqshbandiyyah order of Pekalongan, decribe the teachings and practices which are implemented by the adherents, and finally clarify the influence of its teachings into the business activities of the adherents.

Pendahuluan
            Tulisan-tulisan awal karangan tokoh Muslim Indonesia sarat dengan muatan tasawuf, dan seperti seringkali dikemukakan orang, karena tasawuf inilah orang Indonesia memeluk Islam (Bruinessen, 1996:15). Dengan kata lain, Islam yang tersebar untuk pertama kalinya di Indonesia adalah bercorak sufistik. A.H. Johns (dalam Koentjaraningrat, 1984: 53), seorang filologi asal Australia, menyatakan bahwa agama ini menyebar berkat usaha para penyiar ajaran tasawuf yang telah menjadi anggota suatu ordo tarekat; mereka adalah pendatang-penda­tang dari Baghdad setelah kota tersebut diserang tentara Mongol pada tahun 1258 M.
            Seiring dengan Islamisasi tersebut, sejarah Indonesia pun telah mencatat begitu banyak sumbangsih yang telah diberikan oleh kaum tarekat terutama berupa saham budaya dalam proses panjang difusi Islam di tanah air. Demikian pesatnya pengaruh tarekat, bahkan pada akhir abad ke-19 para penganutnya telah mengambil peran politik yang sangat penting dalam gerakan-gerakan rakyat, khususnya di Pulau Jawa. Kiprah dan sumbangsih kaum sufi hingga kini masih berlangsung, tidak hanya terbatas pada dunia politik saja, tetapi juga merambah pada sektor ekonomi. Hal tersebut dapat dipahami bahwa sebuah ajaran agama akan dipraktikan para penganutnya sesuai situasi materil, politik, ekonomi, dan budaya yang mereka hadapi.
Di tengah kebisingan dunia seperti itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai profetik (kenabian), nilai-nilai yang dapat menuntun manusia kembali kepada fitrahnya. Karena itu, manusia mulai tertarik untuk mempelajari tasawuf-tarekat dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan ekonomi mereka. Hal ini, setidaknya, terlihat pada santri pengusaha pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) di Pekalongan yang telah lama menggeluti dunia bisnis dan aktif mengikuti pengajian tarekat dengan segala amalan dzikir-dzikirnya.
Para penganut tarekat, khususnya TQN, yang berada di Pekalongan, menjalankan perekonomian sehari-hari dalam rangka memenuhi nafkah keluarga. Berbagai macam bisnis telah lama mereka tekuni, mulai dari pembuatan kain tenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), batik tulis, konveksi celana jins, dan lain sebagainya. Pasang dan surut dunia usaha seringkali mereka alami, namun konsistensi mereka di dunia bisnis tetap bertahan hingga sekarang. Berbagai krisis yang pernah terjadi, misalnya ketika industri batik tulis mengalami pasang surut di tahun 1960-an, kemudian digantikan dengan produk alat tenun bukan mesin (ATBM). Ketika produk industri ATBM pada tahun 1970-an harus tergusur oleh munculnya batik printing yang diproduksi secara masal, muncullah usaha bordir yang dapat menyemarakkan kegiatan industri pertekstilan. Selanjutnya muncul batik-batik sutera yang sangat digemari oleh kalangan menengah ke atas. Krisis mereka respon dengan inovasi dan diversifikasi. Mereka yang mampu bertahan pada masa krisis adalah santri pengusaha yang mampu melihat peluang pasar, dalam arti yang dapat memprediksikan barang apa yang akan laku dijual di pasaran, atau bahkan mencari pasaran di luar negeri (Pramodhawardani dan Rucianawati, 2002:v236).
Kegiatan bisnis yang berlangsung di kalangan santri pengusaha pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut di atas sangat menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan diajukan, bagaimana ajaran-ajaran TQN yang diamalkan murid tarekat ini di Pekalongan? Bagaimana pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan santri pengusaha pengikut TQN di Pekalongan?

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan mengedepankan data primer yang bersumber dari kajian lapangan; dan menggunakan data sekunder sebagai sumber pendukung. Pemakaian metode deskriptif-kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan konstruksi bisnis, yang dipengaruhi baik oleh agama maupun budaya, dalam aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh santri pengusaha pengikut TQN. Dalam pembahasannya, peneliti bermaksud menggunakan teori spirit of capitalism untuk memotret kegiatan bisnis pengusaha pengikut TQN Pekalongan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat secara objektif fenomena yang terjadi dengan menggunakan metode pemaparan dan interpretasi. Pengalaman tarekat bagi pengusaha pengikut TQN tidak sepenuhnya bisa dipisahkan dengan pikiran dan tindakan ekonomi yang mereka lakukan sehari-hari. Keberhasilan dan kegagalan mereka dalam melakukan tindakan ekonomi selalu dikaitkan dengan pandangan dunia (world view) mereka sebagai seorang pengikut tarekat yang meletakkan dimensi transendental (Tuhan) sebagai sumber utama pemaknaan.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Pekalongan. Lokasi ini dikenal sebagai daerah santri, meskipun saat ini tidak banyak pondok pesantren yang berdiri di sana. Di Pekalongan terdapat Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang mursyid-nya merupakan salah satu tokoh di wilayah ini. Penelitian sosiologis-antropologis ini telah dilakukan dalam satu periode, antara bulan Juni 2010 hingga bulan Oktober 2010.
            Pengumpulan data dilaksanakan melalui observasi, yakni mengamati dinamika sosial, ekonomi, dan kehidupan keagamaan pengikut TQN. Setelah informasi yang berhubungan dengan subjek dan objek penelitian dianggap cukup, maka wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan dengan para pengusaha pengikut TQN dan subjek-subjek yang terkait dengan penelitian. Teknik snowballing dilakukan untuk mendapatkan informan yang relevan, terutama bagi penganut tarekat. Meskipun snowballing dilakukan, namun peneliti juga berusaha untuk melakukan cross check kepada tokoh atau informan lain yang mengerti masalah yang menjadi fokus penelitian. Hal ini dilakukan untuk untuk menjaga akurasi informasi yang didapat dari lapangan.

Hasil penelitian
Gambaran Umum Kota Pekalongan
Sejak lama masyarakat Pekalongan bergelut dalam bidang pertekstilan dan pertenunan. Kegiatan ini mengalami pergeseran dan pasang surut seiring dengan perkembangan zaman. Pada mulanya usaha yang berkembang di daerah ini industri pembuatan stagen. Komoditi ekspor menyumbang pemasukan yang cukup tinggi bagi Kota Pekalongan. Hal ini tidak lepas dari kegiatan ekspor setiap tahunnya. Pada 2001, nilai ekspornya mencapai 4,9 juta dollar AS dan pada tahun 2007 mencapai 9,92 juta dollar AS (Kota Pekalongan dalam Angka: 233). Sebagian besar (64%) berasal dari komoditas tekstil seperti sarung palekat, garmen, batik cap atau tulis, dan sarung batik. Komoditas unggulan ini diminati di Singapura, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Malaysia, dan Saudi Arabia. Produk ekspor lainnya adalah hasil perikanan seperti ikan kakap merah, tuna, malabar, mahi-mahi yang didistribusikan ke mancanegara seperti Jepang, Srilangka, Eropa, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Industri batik di Kota Pekalongan memang mengalami pasang surut dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan zaman. Namun Batik Pekalongan masih mampu bertahan karena kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Para pengusahanya cukup jeli untuk memperhitungkan peluang pasar. Selain dari pengalaman, hal ini juga merupakan bakat alam yang dimiliki oleh para pengusaha di Kota Pekalongan (Kompas 12 Mei 1996).
Dengan data di atas, dapat dipahami bahwa dalam memilih pekerjaan, orang-orang Pekalongan tidak tertarik pada jenis pekerjaan kantoran, tetapi lebih tertarik pada bidang wiraswasta dan perdagangan. Seandainya menjadi guru, mereka lebih memilih menjadi guru di sekolah swasta, sambil berdagang atau berwiraswasta. Namun Kecenderungan untuk berwiraswasta orang Pekalongan semakin berkurang seiring dengan krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia sejak 1997 lalu..

Keberadaan TQN di Pekalongan
Keberadaan TQN di Pekalongan tidak bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan tarekat ini di Indonesia. TQN merupakan sebuah tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh syaikh Ahmad Khatib al-Sambasy (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis Kitab Fath al-‘Arifin. Menurut Naquib al-‘Attas (dalam Sri Mulyati, et.al., 2004: 253), Ahmad Khatib adalah seorang syaikh dari dua tarekat, tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Karena itu, TQN muncul sebagai sebuah tarekat gabungan antara keduanya. Menurut catatan sejarah, syaikh Sambas tidak mengajarkan kedua tarekat tersebut secara terpisah, tetapi mengajarkan dua jenis dzikir (khafi dan jahr), sehingga dapat terlihat sebagai sebuah tarekat yang baru, berbeda dari kedua tarekat asalnya.
Sebagian besar informasi yang sampai hingga sekarang menyatakan bahwa ajaran tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang dikenal di Asia Tenggara bermula dari Kitab Fath al-‘Arifin. Syaikh Abd al-Karim al-Bantany (1840-) sebagai murid utama syaikh Sambas tampaknya tidak mengajarkan TQN secara luas, namun generasi sesudahnya terutama di pusat perkembangan TQN di Jawa, tarekat ini relatif maju dan berkembang dengan sangat pesat. Syaikh Abd al-Karim dikenal sebagai Kiai Agung, yang memberi semangat jihad (perang melawan Belanda) tahun 1888. Ia kemudian meninggalkan Banten untuk pergi ke Mekkah dan meneruskan kepemimpinan syaik Ahmad Khatib al-Sambasy (Sri Mulyati, et.al., 2004:180).
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982: 90), tugas pertama yang diemban Syaikh Abd al-Karim dari sahabatnya syaikh Sambas adalah menyebarkan tarekat ini di Singapura selama beberapa tahun. Pada tahun 1872, ia pulang ke kampungnya, Lampuyang, dan menetap di sana selama kurang lebih tiga tahun. Baru pada tahun 1876, ia dipanggil ke Mekkah untuk menjadi khalifah dari Syaikh Sambas sebagai pimpinan tertinggi TQN. Pada tahun tujuh puluhan, empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu: Rejoso, Jombang di bawah pimpinan Kiai Tamim; Mranggen dipimpin oleh Kiai Muslih; Suryalaya, Tasikmalaya di bawah pimpinan K.H. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom); dan Pagentongan, Bogor dipimpin oleh Kiai Thohir Falak. Silsilah Rejoso didapat dari jalur Ahmad Hasbullah, Suryalaya dari jalur Kiai Tolhah. Cirebon dan wilayah lainnya dari jalur syaikh Abd al-Karim al-Bantany dan khalifah-khalifahnya.
Adapun keberadaan TQN di Kota Pekalongan ini tidak dapat dilepaskan dari nama Kiai Tolhah di Cirebon. Khalifah yang paling penting dari Kiai Tolhah yaitu Abdullah Mubarok (Abah Sepuh w. 1956), yang juga berbaiat kepada syaikh Abd al-Karim. Abah Sepuh inilah yang kemudian pada tahun 1905 mendirikan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, yang kemudian diteruskan oleh putranya Abah Anom hingga sekarang (Sri Mulyati, et.al., 2004: 263). Sumber lain (Pijper dalam Martin van Bruinessen, 1996: 95) menyatakan bahwa pada awal abad kedua puluh di daerah Cirebon terdapat cabang TQN yang lain di samping cabang yang dipimpin Kiai Tolhah. Pijper, yang menulis pada tahun 1934, menyebut Kiai Muhammad Isma’il dari Kracak, Desa Cipeujeuh, Sindanglaut, yang berpengaruh dan telah memperkenalkan tarekat ini di sana dua puluh lima tahun sebelumnya. Menurut Pijper (1934: 118-119), Muhammad Isma’il telah berbaiat masuk TQN sewaktu ia mukim di Mekkah selama sepuluh tahun, diikuti selama beberapa tahun ia bermukim di Bagdad. Dalam tahun-tahun tigapuluhan, murid-murid yang belajar kepadanya tidak sedikit, berdatangan dari Banten, Priangan, Brebes, Tegal, Pekalongan, Purwakarta, dan bahkan ada juga yang datang dari Madura. Tiga kali setahun ia mengadakan pertemuan besar di pesantrennya. Pertemuan yang dihadiri ribuan orang itu diisi dengan acara dzikir bersama, dan para tamu dijamu makan-minum. Kiai ini tidak hanya dikunjungi oleh mereka yang bermaksud belajar tarekat, tetapi juga, dan barangkali yang terutama, oleh mereka yang memohon kesembuhan dari penyakit yang dideritanya serta mereka yang ingin dapat kelancaran dalam usahanya.
Jika dilihat dari silsilah yang tertuang dalam syahadah anggota tarekat, keberadaan TQN di Pekalongan dibawa oleh syaikh Kiai Agus. Ia belajar kepada gurunya syaikh Yahya dan sekaligus memperoleh ijazah atau syahadah darinya. Ijazah atau syahadah ini merupakan legitimasi bahwa seseorang resmi menjadi pengikut atau anggota sekaligus murid dalam tarekat. Dengan demikian, silsilah tarekat yang dianut Kiai Agus adalah sebagai berikut: Syaikh Kiai Agus menerima dari syaikh Yahya; menerima dari syaikh Hisamuddin; menerima dari syaikh Waliyuddin; menerima dari syaikh Nuruddin; menerima dari syaikh Syarafuddin; menerima dari syaik Syamsuddin; menerima dari syaikh Muhammad al-Hattak; menerima dari syaikh Abd al-Aziz; menerima dari syaikh Abd al-Qadir al-Jilani; menerima dari syaikh Abu Sa’id al-Mubarak al-Makh­zumi; menerima dari syaikh Abu Hasan Ali al-Hakary; menerima dari syaikh Al-Farj al-Thartusi; menerima dari syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi; menerima dari syaikh Abu Bakar al-Syibly; menerima dari syaikh Abu al-Qasim Junady al-Bagdadi; menerima dari syaikh Sura al-Siqty; menerima dari syaikh Ma’ruf al-Karakhi; menerima dari syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Musa al-Ridha; menerima dari syaikh Musa al-Kadzim; menerima dari Imam Ja’far al-Shadiq; menerima dari syaikh Muhammad al-Baqir; menerima dari Imam Zaen al-‘Abidin; menerima dari Husain bin Fatimah al-Zahra; menerima dari ‘Ali bin Abi Thalib; menerima langsung dari Rasulullah saw yang menerima dari malaikat Jibril atas perintah Allah swt.

Ajaran TQN Pekalongan
            Secara garis besar ada empat ajaran pokok tarekat Qadiriyah wa Naqsyaban­diyah, yaitu ajaran tentang kesempurnaan suluk, adab para murid, dzikir, dan muraqabah. Keempat ajaran tersebut membentuk identitas diri yang membedakan antara pengikut tarekat ini dengan tarekat yang lain. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat dari keempat ajaran tersebut.
1.      Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah), adalah jika berada dalam 3 (tiga) dimensi keimanan, yaitu: Islam, Iman, dan Ihsan. Menurut Aboebakar Atjeh (1988: 121-122), ketiga terma tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan (sistem) yang sangat terkenal dengan istilah syariat, tarekat, dan hakikat. Dengan kata lain, suluk adalah upaya atau proses untuk mendapatkan ma‘rifat Allah swt dan mendekatkan diri kepada-Nya yang dilakukan dalam sebuah sistem yang ditetapkan oleh Allah melalui Rasul-Nya. Sistem yang dimaksud adalah melaksanakan syari‘at, melaksanakan tarekat, dan menghayati hakikat. Syari‘at adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam berisi ketentuan yang ditetapkan oleh Allah melalui Rasulullah Muhammad saw, baik berupa perintah maupun larangan. Tarekat merupakan dimensi pengamalan syari‘at tersebut. Sedangkan hakikat adalah dimensi penghayatan atas pengamalan syari‘at itu, sehingga seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan ma‘rifat.
2.      Adab Murid
Pada bagian ini akan dijelaskan adab-adab yang harus dipenuhi oleh murid, yaitu adab terhadap Allah, terhadap mursyid, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap ikhwan-ikhwannya.
Kitab yang tidak asing bagi kalangan santri dan menjadi rujukan bagi sebagian besar tarekat, termasuk TQN, adalah Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalah ‘Allam al-Guyub karya Muhammad Amin al-Kurdi, dan al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah karya seorang sufi terkenal, Syaikh ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani, di samping kitab karya pendiri tarekat Qadiriyah sendiri, Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, yang berjudul al-Gunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq. Di dalam ketiga kitab tersebut, diuraikan panjang lebar tentang adab bagi para murid. Secara garis besar dikemukakan bahwa seorang murid harus menjaga empat adab, yaitu: adab kepada Allah, adab kepada syaikh (mursyid: guru), adab kepada ikhwan, dan adab kepada diri sendiri.
Seorang murid harus senantiasa menjaga adab lahir dan batin dengan sebaik-baiknya. Demikian juga adabnya kepada Allah. Sebagaimana diungkapkan Sa’id bin al-Musayyib, “Barang siapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah swt atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti ia tidak mempunyai akses menuju adab”. Dan, di antara adab seorang murid kepada Allah swt adalah mensyukuri semua karunia dan pemberian Allah atas dirinya dalam setiap waktu dan kesempatan, serta senantiasa menjaga kesabaran untuk bersyukur dan tidak melupakannya. Pada suatu kesempatan, Ibnu Sirin ditanya, “Adab bagaimana yang akan menjadikan orang lebih dekat kepada Allah?” Dia menjawab, “Memilki pengetahuan langsung mengenani Ketuhanan-Nya, berbuat karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan yang dianugerahkan, dan bersabar dalam menjalani penderitaan.” (al-Qusyairy, 1994: 305-307)
Tarekat memiliki konsep kepemimpinan yang disebut sebagai Mursyid (guru atau pemimpin orde tarekat). Mursyid adalah orang yang telah memperoleh legalitas untuk memimpin, membimbing dan mengatur berbagai pelaksanaan upacara ketarekatan yang terstruktur, misalnya tawajjuhan, baiat, uzlah, talqin, nariyahan dan lain sebagainya. Ia adalah pemimpin spiritual yang dapat menghubungkan antara murid dan Tuhan secara vertikal berdasarkan hirarki kemursyidan yang berlaku (Nur Syam, 2005: 168).
Adab kepada mursyid (syaikh) merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam tarekat. Adab atau etika murid dengan mursyidnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi Muhammad saw. Hal ini diyakini karena mu’asyarah (pergaulan) antara murid dengan mursyid melestarikan sunnah (tradisi) yang dilakukan pada masa Nabi (Schimmel, 1986: 104 dan 242). Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan mursyid menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran). Seorang murid harus menghormati syaikhnya lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan dengan melalui tangan syaikh, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh syaikhnya.
Dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah, seorang penganut tarekat tidak akan dapat mengamalkan ajaran tarekat kalau belum dapat pengabsahan (baiat) dari mursyid yang telah memperoleh wewenang untuk melegalkan penganut baru. Pembaiatan merupakan pintu masuk bagi penganut tarekat. Orang yang belum memasuki pintu pembaiatan tentu tidak boleh melakukan, atau bahkan mengkaji ajaran tarekat. Inilah hakekat kerahasiaan ajaran tarekat (Nur Syam: 168).
Pada tahap awal, seorang murid harus melakukan taubah, yaitu mengingat segala dosa yang pernah diperbuatnya di masa lampau, memohon pengampunan dan bertekad untuk tidak melakukan lagi dosa-dosa tersebut. Pada sebuah upacara inisiasi, seorang murid menyatakan kesetiaannya kepada syaikh mursyidnya, dan setelah itu akan menerima talqin yang merupakan pelajaran esoterik pertama di dalam ajaran tarekat. Rangkaian pembaiatan tersebut merupakan langkah awal seorang anggota tarekat untuk dapat mengikut berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam tarekat (Bruinessen, 1996: 87).
Dari tahapan ini, seseorang dapat secara bertahap mengikuti bimbingan guru mursyidnya melalui serangkaian kegiatan tawajuhan, khalwat dan uzlah. Dan jika ada kemajuan pada dirinya, maka guru mursyid dapat memberikan sebuah ijazah yang memberinya wewenang untuk menjadi wakil syaikh mursyid dan berhak menyebarkan ajaran tarekat ke tempat lain. Hanya saja, mereka yang telah mendapatkan ijazah ini tidak serta merta dapat membaiat anggota baru, sebab wewenang untuk membaiat tetap ada pada syaikh mursyid terdahulu. Dengan demikian, meskipun secara relatif ia telah mandiri, namun ia tetap memperlihatkan kepatuhannya kepada guru mursyidnya dan di Indonesia mereka ini disebut badal (Ibid).
Upacara inisiasi adalah simbol dari transmisi spiritual seorang guru kepada muridnya dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang murid. Guru-Mursyid adalah pembimbing dalam kehidupan murid dalam hal pengalaman keagamaan. Dengan demikian, tugas utama seorang mursyid terhadap seorang murid adalah menjadi pembimbing kehidupan spiritualnya maupun kehidupan duniawi lainnya. Sementara hak dan wewenang badal adalah membimbing dan mengarahkan perjalanan bagi tersebarnya tarekat, akan tetapi tidak berhak membaiat atau memberikan petunjuk tentang perjalanan menuju maqam (stage) yang lebih tinggi (menjadi tugas mursyid) (Nur Syam: 169-170). Karena itu, seorang mursyid atau mursyidah tidak dapat diangkat secara mudah dan sembarangan, akan tetapi melalui proses dan rentang waktu yang cukup panjang.
Prinsip-prinsip ajaran etika (adab) antara sesama ikhwan ini di antaranya disebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub. Dalam kitab ini disebutkan prinsip-prinsip adab yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Prinsip-prinsip adab itu menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (t.th:460) terwujud pada penggambaran bentuk persahabatan yang diajarkannya sebagaimana dalam dua hadits berikut ini: “Perumpamaan dua orang yang bersaudara adalah seperti dua tangan: saling membersihkan antara satu dengan yang lainnya.” (H.R. Abu Na‘im). Selanjutnya menurut al-Kurdi (t.th: 462-466) adab antara sesama ikhwan itu sebagai berikut: menyenangkan mereka; mengucapkan salam, mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan, dan bermanis kata; bergaul dengan akhlak yang baik; merendahkan diri kepada mereka; diharapkan keridloannya dengan menganggap mereka lebih baik dari dirinya. Tolong-menolonglah dengan mereka dalam kebaktian, takwa, dan cinta kepada Allah. Jika kamu lebih tua, bimbinglah mereka kepada kebajikan. Dan jika kamu lebih muda, maka mintalah bimbingan kepada mereka; berlemah-lembut dalam nasehati; baik sangka; mengabulkan permohonan mereka; mendamaikan jika terdapat perselisihan antar mereka; mendoakan mereka; memberi tempat dalam suatu majlis; tidak mengabaikan mereka dengan memberi dukungan moral; dan tidak menyalahi janji.
3. Dzikir
            Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam tarekat. Yang dimaksud dzikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (batin) sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh mursyid (Abu Bakar Atjeh, 1988: 276). Menurut Naguib al-Attas (1963: 33), Syaikh Sambas merupakan seorang Syaikh dari dua tarekat yang berbeda, tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Karena ia sebenarnya tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah, akan tetapi mengkombinasikan kedua ajaran tarekat tersebut sehingga dikenali sebagai aliran tarekat baru yang berbeda baik dengan Qadiriyah maupun Naqsyabandiyah. Dalam prosedur dzikir, Syaikh Sambas (pendiri TQN) mengenalkan dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Itsbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyah.
Selain itu, Syaikh Sambas juga melakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyah pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsyabandiyah tentang lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsyabandiyah dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabithah, baik sebelum maupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika dzikir dalam tarekat Naqsyabandiyah biasanya dipraktekkan secara samar dan dalam Qadiriyah diucapkan dengan suara yang keras, maka Syaikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara dzikir ini. Demikianlah Khatib Sambas menggabungkan dua tarekat yang berbeda sehingga akhirnya Qadiriyah dan Naqsyabandiyah pun mengambil tehnik spiritual utama dari dua aliran tarekat, Qadariyah dan Naqsyabandiyah.
Dua jenis dzikir yang telah disebutkan di atas, yakni: (1) Dzikir nafi isbat, yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “lailahaillallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yatsrib (Madinah) (lihat Jalaludin, 1987, Jilid I: 200). Selanjutnya, dzikir ini ditalqinkan ‘Ali ibn Abi Thalib kepada puteranya, yaitu: Sayyidina Husain. Kemudian Husain ibn ‘Ali men-talqin-kan dzikir ini kepada puteranya, yaitu ‘Ali Zain al-‘Abidin. Dan seterusnya dzikir ini di-talqin-kan secara sambung menyambung hingga sampai kepada Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Setelah metode dzikir ini diamalkan oleh Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, orang-orang sesudahnya, para muridnya, menyebutnya dengan tarekat Qadiriyah atau dzikir Qadiriyah (Abah Anom, 1975: 45); (2) Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Dzikir ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya (Jalaluddin, ibid: 60-73). Selanjutnya, dzikr ism dzat ini ditalqinkan kepada Salman al-Farisi, kemudian ia men-talqin-kan kepada Qasim ibn Abu Bakr. Kemudian, diterima oleh Imam Ja‘far al-Shadiq dan terus berlanjut sampai kemudian diterima oleh Syekh Baha’u al-Din al-Naqsyabandi. Setelah itu, dzikir ini diamalkan oleh syaikh tersebut, para muridnya kemudian menyebutnya dengan tarekat Naqsyabandiyah atau tarekat dzikir Naqsyabandiyah.
 Dalam TQN, diajarkan dzikir nafy al-itsbat dan dzikir ism al-dzat secara bersama-sama, karena keduanya memiliki keistimewaan yang besar. Di samping itu, kedua dzikir tersebut bersifat saling melengkapi terutama dalam kaitannya dengan metode pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs). Di antara keistimewaan kedua dzikir tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut ini: ”Barangsiapa banyak dzikirnya kepada Allah, maka ia terbebas dari penyakit nifaq”(HR. al-Baihaqi) (Tamim, t.th: 36). “Kalimat yang paling utama yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah la ilaha illa Allah” (HR. Ahmad ibn Hanbal) (Ibnu Hanbal: t.th: 142). Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling bahagia menerima syafa‘atmu?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang mengucap la ilaha illa Allah dengan ikhlas dari dalam jiwanya’ (HR. al-Bukhari) (Zakiyuddin, t.th: 412). “Hari kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini sampai tidak ada lagi orang yang mengucap ‘Allah, Allah’.” (HR. Muslim) (Ibid: 73).
4. Muraqabah
Al-Qusyairi menyatakan, “Orang yang belum mengukuhkan rasa takutnya kepada Allah dan mawas dirinya terhadap-Nya, tidak akan mencapai kasyf (terbuka tabir antara si hamba dengan Allah) dan syahadah (menyaksikan Allah)” (al-Qusyairy, 1994: 155). Muraqabah dalam tarekat dilaksanakan sebagai ajaran pokok karena Allah senantiasa memperhatikan hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya: ”Sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan kamu semua” (Q.S. al-Nisa 4:1); “Dan Allah Maha Menga­wasi segala sesuatu” (Q.S. Al Ahzab 33:52); “Adakah Zat yang Maha Menjaga tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya” (Q.S. Ar Ra’d 13:33); “Apakah Manusia tidak mengerti bahwa Allah itu Maha Melihat?” (Q.S. Al Alaq 96:14); “Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya” (Q.S Bayyinah 98:8). Juga sabda Rasulullah saw: “Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikalau engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia itu melihat engkau” (H.R. Muslim).
Dalam ajaran TQN, muraqabah merupakan asal semua kebaikan, kebahagiaan, dan keberhasilan. Seorang hamba tidak akan sampai kepada muraqabah kecuali setelah mampu berintrospeksi (muhasabah al-nafs). Muraqabah adalah suatu karunia yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang selalu beribadah kepada-Nya, selalu mengekalkan dzikir di mana saja dia berada, dan terus menerus menjaga hatinya agar tidak dikotori dengan sifat-sifat tercela (al-Qusyairy, 1994: 154-156). Lebih dari itu, muraqabah bersifat teknis dan seorang hamba akan selalu bisa merasakan keinginan Tuhan. Ungkapan, “Tidak wara’ kalau tidak menunggu” seringkali diucapkan para Mursyid tarekat kepada murid-muridnya.
            Dengan demikian, tetapnya seorang hamba dalam kesadaran merupakan bentuk muraqabahnya terhadap Tuhan-Nya, dan ini adalah sumber kebaikan bagi dirinya. Seorang hamba hanya akan sampai kepada keadaan mawas diri setelah ia sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap berpegang teguh di jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan sepenuh hati, menjaga setiap saat agar tidak pernah lupa kepada Allah swt, dan patuh kepa-Nya dalam semua keadaan.

Pengaruh Ajaran TQN Terhadap Kegiatan Bisnis Para Santri Pengikutnya
Ajaran Islam sesungguhnya tidak mempunyai masalah serius dengan fenomena globalisasi. Bukan saja karena Islam memiliki watak yang kosmopolitan, tetapi juga ajaran-ajarannya mengandung nilai-nilai yang universal. Lebih dari itu, Islam mengajak pada kemajuan, prestasi, kompetisi yang sehat, dan memberikan manfaat yang besar kepada orang lain dan lingkungan sekitar. Terdapat doa dalam Al-Qur’an yang menekankan pencapaian kesejahteraan dan kebaikan di dunia dan akherat (QS. Al-Baqarah [2]: 20). Kesejahteraan di akherat sudah banyak dikupas oleh ulama-ulama klasik dan kontemporer, yang secara umum dapat dicapai melalui kesalehan sosial dan individu. Sementara kesejahteraan dunia berkaitan erat dengan kualitas hidup, yang di dalamnya meliputi pula kesejahteraan harta. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, tidak dapat disebut sebagai kesejahteraan dunia, oleh karenanya tidak mendapatkan tempat di dalam ajaran Islam (Azizi, 2004: 24). Tidak satu pun ajaran Islam yang menganjurkan umatnya menjadi peminta-minta. Sebaliknya, umat Islam harus menjadi umat yang memberi, bukan yang meminta; yang membayar zakat, bukan yang menerima zakat; yang memberikan infaq dan shadaqah, bukan yang menerima infaq dan shadaqah. Dan untuk dapat menjadi orang yang demikian, tidak ada cara lain kecuali harus kuat secara ekonomi.
Ayat Al-Qur’an lainnya yang secara tegas menekankan peningkatan kualitas ekonomi adalah Surat Al-Qashash [28]: 77:
“Carilah pada apa yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan jangan lah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”.

Ayat tersebut menekankan keseimbangan dalam menggapai kesejahteraan dunia dan akherat, sekaligus memberikan tuntunan etis tentang tata cara memperoleh harta kekayaan, yaitu dengan tetap memelihara hak-hak orang lain, tidak serakah, tidak merampas hak milik orang lain, tidak zalim, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi. Ajaran fundamental Islam memberikan penekanan pada keakheratan di dalam setiap aktivitas keduniawian. Dalam konteks pencarian rezeki, hal itu berarti bahwa untuk mencapai kemakmuran jasmani, seseorang tidak perlu meninggalkan nilai-nilai moral (Rahardjo, 1990: 23).
Al-Qur’an pada dasarnya tidak melarang umat Islam untuk mengejar kenikmatan jasmani. Hanya saja melarang sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas yang membawa kepada kekikiran, demi menumpuk kekayaan pribadi. Adalah wajar jika kemudian Weber berasumsi bahwa Islam tidak dapat memunculkan semangat kapitalisme karena justru menciptakan budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kapitalisme (Turner, 1982). Sebagai gantinya, Islam menerapkan konsep ahsanu ‘amala (perbuatan terbaik), sebagaimana disebut dalam Surat Al-Mulk [67]: 2: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu ‘amala). Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Konsep ahsanu ‘amala, menurut Qadri Azizi (2004: 43-46), dapat dimaknai sebagai implementasi dari konsep sabar, kerja keras, qana’ah, tawakkal, zuhud, amanah, kooperatif, menepati janji, ulet, pandai membaca peluang, kreatif dan kompetitif, yang dipraktikkan secara benar. Hajjah Husnul, seorang pengusaha batik di Pekalongan mengatakan:
“Setiap orang yang ingin sukses dalam usaha ya harus bekerja keras. Di samping kerja keras itu syarat untuk menuju kesuksesan, juga kewajiban agama. Masalah apakah nanti hasilnya sesuai dengan harapan kita atau tidak, itu urusan Allah. Kalau kita sudah berusaha maksimal tinggal bertawakkal saja” (Wawancara, 31-10-2010).

Dalam pernyataan Hajjah Husnul terselip kata tawakkal yang merupakan salah satu doktrin inti dalam tarekat. Di dalam konsep tawakkal ini terdapat keyakinan bahwa takdir seseorang telah ditetapkan Allah sesuai dengan ikhtiar dan usahanya masing-masing. Setelah terinternalisasi dalam diri Hajjah Husnul melalui proses taushiyah oleh mursyid secara berulang-ulang, doktrin tawakkal dipahami olehnya sebagai usaha keras yang dilanjutkan dengan penyerahan hasilnya kepada Allah, namun tetap menjaga sikap optimis atau husnudzhan kepada-Nya. Bahkan untuk meyakinkan pandangannya itu, Hajjah Husnul mendasari pernyataannya dengan ayat Al-Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10.

     Pernyataan serupa diungkapkan oleh Haji Sutikno, pengusaha garmen yang mengaku aktif mengikuti ceramah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Menurutnya:
“Setelah saya berusaha sekuat tenaga, saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Kalau sudah begitu rasanya pikiran saya lega. Tidak ada beban yang memberatkan. Pekerjaan ini saya lakukan secara lahir dan batin, tidak lupa pula selalu berdoa. Bekerja tanpa disertai doa kok rasanya kita sombong dengan kemampuan kita yang terbatas ini. Sedangkan kalau hanya berdoa saja tanpa berusaha keras, ya hasilnya tidak mungkin maksimal” (Wawancara, 31-10-2010).

Penyataan kedua pengikut tarekat di atas menunjukkan bahwa keuletan dan kesabaran mereka terpupuk dari ritual keagamaan yang mereka ikuti dalam majelis tarekat. Terdapat korelasi positif antara kemauan mendengarkan taushiyah atau nasihat-nasihat mursyid dengan pembentukan karakter kerja keras dalam berbisnis. Apakah kecenderungan ini bertolak belakang dengan doktrin zuhud yang menjadi inti ajaran tarekat? Dalam tradisi sufi, zuhud tidak berarti anti kekayaan dan meninggalkan harta benda. Tidak sedikit sufi pada periode awal Islam yang kaya, termasuk Imam Al-Ghazali. Menurut Qadri Azizi (2004: 43-46), zuhud seharusnya tidak dimaknai sebagai anti kekayaan, tetapi anti-keserakahan. Maka, selama seseorang meraih harta kekayaan dengan cara-cara yang benar dan etis, dan digunakan untuk kebaikan, ia berada dalam kategori zuhud.
Pernyataan yang lebih detil tentang kepasrahan setelah bekerja keras diutarakan oleh Haji Fathul, pengusaha batik yang tinggal di Krapyak Kidul, yang mengaku mendapat nasihat langsung dari mursyid dalam banyak kesempatan:
“Mursyid tarekat saya sering mengatakan, yang terpenting dari hasil kerja itu berkahnya, meskipun jumlahnya tidak seberapa. Kalau hasilnya banyak tapi tidak berkah ya untuk apa, karena tidak banyak memberikan manfaat untuk keluarga dan orang lain. Beda halnya jika uang yang diperoleh itu berkah, meskipun sedikit tapi memberikan banyak manfaat. Kalau digunakan untuk membiayai anak sekolah ilmunya bermanfaat; kalau dipakai untuk biaya haji, hajinya babrur; kalau dipakai untuk membeli pakaian untuk shalat, shalatnya diterima Allah; dan kalau dibelikan makanan bisa mendatangkan kesehatan, tidak cuma kenyang. Meskipun begitu, tidak berarti kita tidak bekerja keras. Tetap harus bekerja keras sambil berusaha mendapatkan berkah dari Allah. Syukur-syukur yang didapat itu jumlahnya banyak dan mengandung berkah” (Wawancara, 24-10-2010).

Perilaku dagang Haji Fathul tersebut, dalam tradisi sufi dapat disebut juga dengan sabar. Konsep sabar sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, adalah meninggalkan segala macam yang berasal dari syahwat, dengan tetap berpegang pada ajaran agama yang bertentangan dengan hawa nafsu. Para penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah selalu diajak untuk bersabar di setiap saat dan waktu; tetap sabar dalam keadaan senang dan susah, hingga menjadi kebiasaan sehari-hari. Seseorang dapat dikatakan bersabar apabila telah berhasil menekan hawa nafsu dengan membangkitkan kesungguhan dalam beragama. Ciri-cirinya adalah jika ia mampu mengurangi kecenderungannya kepada kenikmatan duniawi dan menjauhi sebab-sebabnya (Atjeh, 1988: 79-82).
Sementara itu, Djati Sutomo mengaitkan sabar di dalam dunia bisnis dan perdagangan dengan komitmen yang kuat, karena hasil dari usaha itu baru dapat dirasakan dalam jangka waktu yang cukup lama, yang didahului dengan biaya, tenaga, dan pikiran yang besar. Terdapat ungkapan yang cukup terkenal yang menggambarkan komitmen seseorang dalam berbisnis, yaitu “Sleep and dream with my business” (tidur dan mimpi bersama bisnis) (Sutomo, 2007: 8). Dengan demikian, tidak ada konotasi negatif di dalam konsep sabar, seperti lamban, nrimo, terbelakang, atau santai. Justru sabar memiliki makna teguh dan tabah menghadapi dunia bisnis dan perdagangan yang nyatanya tidak mudah, serta kuat menghadapi cobaan dan segala tantangannya. Dengan kata lain, sabar merupakan perilaku ulet, sungguh-sungguh, disiplin, dan tidak cepat putus asa dalam berusaha. Karena itulah, kesabaran dalam meraih kesuksesan menjadi syarat yang sangat penting dalam persaingan bisnis yang sangat kompetitif seperti sekarang ini.
Pengalaman mengelola kesabaran dirasakan oleh Hajjah Husnul, bahwa dirinya merasakan perubahan positif setelah aktif dalam kegiatan dzikir di majelis tarekat. Menurutnya:
“Mengikuti ritual-ritual tarekat itu rasanya. Saya merasakan ketenangan dan kesabaran setelah beberapa tahun ini aktif mengikuti ritual-ritual dalam majelis tarekat. Menurut Al-Qur’an bahwa dzikir itu dapat menenangkan hati, memang benar adanya. Dulu saya gelisah kalau pasar sepi, dan seharian berjualan hanya mendapatkan uang sedikit. Tapi setelah ikut tarekat, perasaan itu tidak ada lagi. Justru rasa syukur saya semakin bertambah karena masih diberikan rezeki oleh Allah” (Wawancara, 31-10-2010).

Boleh jadi, seorang pelaku bisnis yang tidak memiliki latar belakang ideologi keagamaan akan menilai Hajjah Husnul sebagai orang yang fatalis. Sebabnya adalah bahwa ideologi agama yang ia yakini seolah-olah membawanya pada sikap pasrah dan pesimis terhadap keadaan. Sebuah sikap yang bertolak belakang dengan asumsi dasar ekonomi Barat modern, bahwa rasionalitas merupakan dasar utama di dalam bisnis yang mendatangkan keuntungan. Tanpa rasionalitas, maka corak usaha lebih bersifat spekulatif dan penuh risiko. Tesis ini berawal dari asumsi Weber yang menurut Taufik Abdullah (1982:7) tidak pernah melakukan penelitian yang mendalam terhadap Islam.
Memang untuk masuk ke dalam kompetisi perdagangan dewasa ini diperlukan keberanian menanggung risiko, dengan mengandalkan kemampuan berinovasi. Ajaran tasawuf yang dapat dijadikan pedoman dalam masalah inovasi adalah doktrin ihsan, yang secara sufistik berarti perasaan bahwa diri dan segala tingkah laku seseorang selalu diawasi oleh Tuhan. Tradisi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mengasah perasaan ihsan melalui ritual muraqabah, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Perasaan diawasi Tuhan menimbulkan motivasi yang sangat kuat untuk selalu berbuat sesuatu yang baru yang memberikan manfaat kepada manusia dan lingkungannya secara terus menerus.
Islam mewajibkan harta yang dikelola dalam bidang bisnis, laba yang diperoleh, disisihkan sebagiannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Islam pun menjamin harta yang dizakatkan atau diinfakkan tidak hilang, melainkan menjadi tabungan yang akan dilipatgandakan oleh Tuhan di dunia dan di akherat. Oleh karena itu, penanaman niat dalam aktivitas perdagangan musti dilakukan sejak awal agar praktik-praktiknya tidak bertolak belakang dengan prinsip ajaran Islam. Yang juga penting untuk diperhatikan adalah interpretasi yang lebih produktif dari konsep amal jariyah, yang dapat membangkitkan daya inovasi di kalangan pedagang umat Islam. Niat dan amal jariyah merupakan ekspresi dari konsep ihsan atau muraqabah yang menjadi bagian integral dalam ritual-ritual tarekat Naqsyabandiyah.   
Kalau makna ihsan tersebut dikaitkan dengan surat Al-Baqarah [2]: ayat 148, “Tiap-tiap orang itu memiliki tujuan yang ingin ia capai, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan”, maka ayat ini merupakan sumber motivasi ke arah persaingan dalam inovasi secara sehat. Sebenarnya, istilah fastabiqul khairaat atau berlomba-lomba dalam kebaikan ini sering dipergunakan secara lebih luas dalam kaitannya dengan koeksistensi di antara usaha-usaha yang tidak bisa disatukan , tetapi masing-masing mempunyai tujuan yang baik yang diakui bersama. Kompetisi tidak hanya terjadi antara umat Islam dengan umat lain, antara pengikut tarekat dengan non-pengikut tarekat, tetapi juga terjadi antarpengikut tarekat. Hanya saja konsep kompetisi di dalam Islam menuju pada satu tujuan bersama, yaitu kebaikan untuk umat manusia. Ajaran dasar Islam yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya mengarahkan untuk menjadi pemenang dalam kompetisi itu. Al-Qur’an menyebut umat Muhammad sebagai umat yang terbaik, manakala menggunakan dan memenangkan kompetisi keduniaan untuk meraih keakhiratan.   

Simpulan
Di kalangan sarjana Barat pernah muncul pendapat yang mengaitkan antara keterbelakangan perkembangan ekonomi Indonesia dengan pengaruh mistisisme dalam masyarakat, tetapi tidak memperlihatkan secara jelas apa hubungan itu. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta yang sebaliknya setelah menelusuri ide dan pikiran para pelaku bisnis Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Pekalongan dan sekitarnya, yang muncul dari penghayatan mereka terhadap agama. Terdapat korelasi positif antara penghayatan dan pemikiran keagamaan dengan perilaku ekonomi. Dengan kata lain, antara doktrin agama, ide dan dorongan mencari materi untuk kesejahteraan duniawi terdapat hubungan yang saling memperkuat. Perilaku ekonomi para pengikut tarekat tersebut menunjukkan bahwa agama dapat berfungsi sebagai, pertama landasan ideologis untuk melegitimasi tindakan ekonomi yang beriorentasi pada keduniawian dan keakhiratan. Kedua, sebagai kontrol terhadap pola pikir dan tindakan ekonomi supaya tetap berada pada ketentuan hukum-hukum Tuhan. Hal ini membangun pemikiran positif, kerja keras, dan harapan yang tak pernah putus akan keberpihakan (ridho) Tuhan terhadap usaha mereka. Dan ketiga, sebagai motivasi yang mendorong peningkatan kualitas kerja melalui pemaknaan doktrin agama seperti sabar, tawakkal, jujur, qanaah dan lain-lain, secara positif. Ditegaskan oleh Rashid Ridha, pembaharu asal Mesir pada pertengahan abad 20, bahwa prinsip utama dari Islam adalah usaha yang positif. Implementasinya telah dipaparkan Geertz dalam ulasannya yang rinci tentang kegiatan bisnis santri di Mojokuto yang lebih hemat, tekun, dan berperhitungan ketimbang komunitas abangan dan priyayi. Meskipun, menurutnya, etika tersebut tidak didukung oleh organisasi yang baik.

Daftar Pustaka
Aboe Bakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik. Solo: Ramadhani, 1988.
Abd al-Karim ibnu Hawazin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qusyayri. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
Ajat Sudrajat. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Bryan S. Turner. Sosiologi Islam Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber. Jakarta: Rajawali Press, 1984.
_____________. Weber and Islam: A Critic Study. London and Boston: Routlegde &        Keagen Paul, 1974.
Dudung Abdurrahman. “Sufi dan Penguasa: Perilaku Politik Kaum Tarekat di Priangan Abad 19-20” dalam Al-Jami’ah. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1994.
Faedhullah al-Husni al-Maqdisi. Fathu al-Rahman Li Thalibi Ayat al-Qur’an. Surabaya: Maktabah Dahlan, t.th.
‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani, al-Tabaqat al-Kubra al-Musammat bi al-Lawaqih al-Anwar Fi Tabaqat al-Akhyar (al-Qahirah: Math’ba’ah Mustafa al-Bab al-Halabi, t.th.).
Irwan Abdullah. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Central Java Town. Amsterdam: University of Amsterdam, 1994.
Jaleswari Pramodhawardani dan Rucianawati. Usaha Batik Pekalongan Pada Masa Krisis. Hasil Penelitian tahun 2002.
Ja’far Shodiq. Pertemuan Antara Tarekat dan NU. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Kuntowidjojo. “Industrialisasi dan Dampak Sosialnya” dalam Prisma 9, September 1983.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Abah Anom, Uqudul Juman (Jakarta: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1975).
Lance Castles. Religion, Politics, and Economic Behaviour in Java: The Kudus Cigarette Industry. Yale: Yale University Southeast Asia Studies, 1967.
Martin van Bruinessen. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.
Marzani Anwar, et.al. Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2007.
Mohammad Sobary. Kesalehan dan Tingkahlaku Ekonomi. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Maxime Rodinson. Islam and Capitalism. Harmondsworth: Penguin Books, 1974.
Max Weber. The Religion of China: Confucianism and Taoism. Glenco, Ill: The Free Press,1951.
__________.The Sociology of Religion. Boston: Beacon Press,1993.
__________. The Protestant Ethic and the Spririt of Capitalism. New York & London: Scribner, 1998.
M. Solihin. Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Osman bin Bakar, “Tasawuf di Dunia Melayu-Indonesia” dalam Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan. Bisnis Kaum Sufi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
R. J. Holton. The Transition from Feudalism to Capiitalism. London: Macmillan Education Ltd., 1988.
Sri Mulyati, et.al. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004.
Sri Mulyati. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Termuka. Kencana Prenada Media Group, 2006.
Sayyid Husein Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Jakarta Pustaka Firdaus, 1985.
Syed Nawab Haider Naqvi. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami. Bandung: Mizan, 1985.
Syed Hussein Alatas. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1988.
Taufik Abdullah (ed.). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982.
Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (eds). Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Category: 3 komentar

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Pewnepinsapep Ed Reed Jersey
Ben Tate Jersey
Kareem Jackson Jersey
Heiniacletany

Anonim mengatakan...

We're cheering for you (Note: I'm not talking about his favorite toys that you leave in his crate It is the natural tendency for all to move to the next level of awareness and to better themselves Make sure you compare your strengths and weaknesses with the day-to-day tasks of running the business
For best results, use photo paper in the photo printer6Avoid using the wash cloth inside the printer

[url=http://www.broncosnflprostore.com/]Von Miller Elite Jersey[/url]
[url=http://www.frankgorejersey.net/]Frank Gore Red Jersey[/url]

To reduce the chance of fire damage or theft, tapes should be stored in a fireproof safe If his eyes remain red or he's squinting long after he's dry, he needs a vet's attention Comply with the federal Fair Credit Reporting Act (FCRA) This is why the very wealthy can sometimes feel impoverished, and the very poor can sometimes feel wealthy

[url=http://www.freeshippingcheapjerseys.com/]Cheap Jerseys Free Shipping[/url]

Anonim mengatakan...

wQhi cheap ghd
fOdb cheap ugg boots
vGxd michael kors purses
9iEpu GHD Australia
3lNvk burberry purses
6tBcf ugg pas cher
7sZwl ghd nz sale
5cUly louis vuitton sale
1fCkr michael kors outlet
1cCat ghd uk
5qTyr ugg boots sale
6pVyp nike nfl jerseys
7hAey michael kors outlet
5xGzc ghd france
4fKim cheap ugg boots