Tampilkan postingan dengan label GUSMUS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label GUSMUS. Tampilkan semua postingan

Mata Air

Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya saja.

Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak, kebanyakan sekadar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digelar dalam kemasan yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih permanen dari Rabi'ul Awal ke Rabi'ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela derasnya banjir "pengajian lain" yang lebih menggiurkan yang secara rutin dan tertib melanda rumah-rumah.

Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita, Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman di mana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang telanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, "Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak seperti para sahabat Nabi."

Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan mata airnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masih anduk kesemerbakan uswah hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat sahabat Abu Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan; kasih sayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat sahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi Amirulmukminien ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat sahabat Utman Ibn 'Affan, masih dapat dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat mengenal sahabat 'Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi Babul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya, seperti Tholhah Ibn 'Ubaidillah; Zubeir Ibn 'Awwam; 'Abdurrahman Ibn 'Auf; Sa'd Ibn Abi Waqqash; Sa'id Ibn Zaid; Abu 'Ubaidah Ibn Jarrah, dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf -radhiaLlahu 'anhum ajmaien- yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasih sayang. Rahmatan lil 'aalamien! Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii; imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir Jailani; dan lain sebagainya. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari .hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. RahimahumuLlhu ajma'ien. Setiap bulan Rabi'ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja mendatangi tempat di mana "percik-percik" kebeningan mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita. Namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri sungai sudah melanda kita. Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah! Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan air bersih? 
 
written by KH. A. Mustofa Bisri
Category: 2 komentar

Kiai, Lurah Pondok, dan Gus

Ada tiga tokoh yang paling berperan di umumnya pesantren. Pertama, tentu saja kiainya. Pesantren tanpa kiai ya seperti asrama atau penginapan saja. Kedua, lurah pondok. Inilah kepanjangan tangan kiai yang biasanya berurusan langsung dengan para santri dan menjadi mediator atau penghubung antara santri dan kiai. Lazimnya lurah pondok dijabat oleh santri yang sudah "berlakab" qare', sudah (dapat) membaca kitab.

Balah-balah, mata pelajaran-mata pelajaran, yang relatif sederhana dan kecil, galibnya dipegang oleh lurah pondok ini. Dia ini, dibantu para pengurus pondok, juga bertanggungjawab atas segala urusan pondok yang non-pengajian, seperti membuat dan menjaga peraturan pondok dengan bimbingan kiai. Seorang lurah pondok yang bijak, tidak hanya semakin dipercaya oleh kiai, tapi juga sekaligus disegani oleh para santri. Dan salah-salah malah diambil menantu oleh sang kiai.

Tokoh ketiga adalah anak kiai yang biasa dipanggil gus. Konon panggilan ini merupakan kependekan dari kata bagus yang dimaksud sebagai penghormatan kepada putera kiai. Adalah sudah menjadi 'aqidah' santri bahwa penghormatan terhadap kiainya adalah termasuk menghormati keluarga dan anak-anaknya. Bahkan ada yang lebih dari itu; tidak hanya keluarga dan anak-anak kiai, tapi juga hewan-hewan peliharaannya. Atau mungkin panggilan itu dimaksudkan sebagai semacam harapan atau doa agar si anak kiai kelak juga bagus seperti ayahnya. Sebab anak kiai itu bagaikan pangeran. Seperti umumnya anak tokoh yang dihormati banyak orang, pangeran itu mudah tergoda untuk berlaku jumawa. Gampang besar kepalanya. Soalnya, dengan hanya nunut mukti orangtuanya, pangeran tanpa harus berbuat apa-apa, sudah mendapatkan penghormatan yang tinggi. Karena setiap hari dihormati dan disanjung-sanjung, banyak gus -terutama yang mentalnya tidak begitu kuat-menjadi kehilangan keseimbangan. Lalu berlaku nakal dan aneh-aneh. Meskipun tidak sedikit pula gus yang justru menjadikan penghormatan dan sanjungan itu sebagai semacam dorongan mental untuk memacu diri, agar menjadi benar-benar bagus, patut dihormati dan disanjung.

Anak kiai yang mondok bukan di pesantren ayahnya, biasanya relatif lebih 'alim' dan tidak begitu menyusahkan lurah pondok. Yang merepotkan bila anak kiai 'mondok'-nya di pesantren ayahnya sendiri dan kebetulan nakal. Lurah pondok yang paling pusing. Apabila seorang gus melanggar aturan pondok pesantren, misalnya, lurah pondok akan dihadapkan kepada dilema antara menegakkan aturan pondok dan menghormati putera kiainya. Bila si lurah pondok tidak menghukum seorang gus yang melanggar aturan, dia akan dikecam sebagai lurah yang tidak adil dan bisa-bisa akan membuat aturan pondok menjadi tidak berwibawa lagi. (Dalam lingkup yang lebih luas, kita melihat ketidakadilanlah terutama yang menyebabkan hukum dilecehkan). Sebaliknya, apabila dia berani menghukum si gus, dia berpeluang untuk dimusuhinya. (Apalagi biasanya gus mempunyai 'gang' yang lazimnya terdiri dari santri-santri yang dipilihnya sendiri untuk menjadi anak buahnya). Bagaimana rasanya menjadi pembantu kiai sekaligus dimusuhi puteranya dkk, Anda bisa membayangkan sendiri.

Kadang-kadang ada juga gus yang nakal sekaligus pintar. Yang pertama-pertama ia dekati justru lurah pondok. Dengan mendekati lurah pondok, ada beberapa keuntungan yang dapat diperolehnya. Dia bisa bisa mendapat pembelaan dari si lurah pondok menghadapi pertanyaan-pertanyaan kiai dan legimitasi atas segala tindakannya di hadapan para santri. Memang lurah pondok yang bijak dan taat kepada kiai, yang tahu bagaimana menjaga martabat kiai dan kewajiban menegakkan aturan pondok, agak sulit "didekati" oleh gus. Biasanya lurah yang begini bersikap saklek dan lugas terhadap gus, sehingga si gus pun belum-belum sudah sungkan. Namun ada saja lurah pondok yang amat 'lugu', yang kurang paham mengenai kaitan dan batas antara penghormatan kepada kiai dan keharusan menegakkan aturan termasuk untuk putera kiai. Lurah pondok yang seperti ini, biasanya menjadi 'makanan empuk' bagi gus yang nakal dan sekaligus pintar.

Waba'du; saya tidak tahu mengapa tiba-tiba menulis begini -tentang kiai, lurah pondok dan gus-ini. Mungkin mengamati kehidupan warga kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, tiba-tiba membuat saya teringat ke alam pesantren. Entah apa, seperti apa, dan siapa seperti siapa? 


Written by GUSMUS
Category: 0 komentar

Renungan Maulid yang Tertunda

Aku merindukanmu oh... Muhammadku
Sepanjang jalan ku lihat wajah-wajah yang kalah
Menatap mataku yang tak berdaya
Sementara tangan-tangan perkasa terus mempermainkan kelemahan
Air mataku pun mengalir mengikuti panjang  jalan
Mencari-cari tangan lembut wibawamu

Dari dada-dada tipis papan
Terus ku dengar suara serutan derita mengiris berkepanjangan
Dan kepongkahan tingkah meningkah
Telingaku pun ku telengkan
Berharap sesekali mendengar merdu menghibur suaramu
Aku merindukanmu oh... Muhammadku

Ribuan tangan gurita keserakahan
Menjulur-julur kesana kemari
Mencari mangsa memakan korban
Melilit bumi meretas harapan

Akupun dengan sisa-sisa suaraku
Mecoba memanggil-manggilmu
Oh muhammadku oh.. Muhammadku

Dimana-mana sesama saudara saling cakar
Berebut benar
Sambil terus berbuat kesalahan
Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan masing-masing mereka yang berkepentingan
Akupun meninggalkan mereka
 mencoba mencarimu dalam sepi rinduku

Aku merindukanmu oh... Muhammadku

Sekian banyak abu jahal abu lahab
Menitis ke sekian banyak umatmu
Oh muhammadku... Shalawat dan salam bagimu
Bagaimana melawan gelombang kebodohan dan kecongkakan
Yang telah terkayakan?
Bagaimana memerangi umat sendiri?

Oh Muhammadku........ Aku merindukanmu
Oh Muhammadku........ Aku sungguh merindukanmu
Category: 0 komentar

GUS JAKFAR

My Grand Teacher................Mustofa Bisri
Kata kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri, “cerita Kang Solihin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. Saya sendir tidak tahu apa maksudnya”

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bias melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu dating melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.

"Mungkin sa ja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."

***

MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa keseganan, was-was, dan rasa takut.

Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Us tadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian
melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya me ncoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak
hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok.

Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum
penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang- orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan tangan."

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepa da wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang- orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai
di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katan ya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang
mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk.

Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang ber upa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap- sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit, 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

***
Rembang, Mei 2002

Wanita Cantik Sekali di Multazam

GUS MUS, REMBANG
Di tengah-tengah himpitan daging-daging doa di pelataran rumah-Mu yg agung 
Aku mengalirkan diri dan ratapku hingga terantuk pada dinding mustajabMu
Menumpahkan luap pinta di dadaku 

Kubaca segala yang bs kubaca dalam berbagai bahasa runduk hamba 
Dari tahlil ke tasbih dari tasbih ke tahmid dari tahmid ke takbir
Dari takbir ke istighfar dari istighfar ke syukur dari syukur ke khof dari khouf ke roja’
Dari roja’ ke khouf roja’ khouf 
khouf Roja’ roja’ khouf 
Khouf raja’
Sampai tawakkal

Tiba-tiba sebelum benar-benar fana
Melela dari arah multazam seorang wanita cantik sekali

Masya Allah Tabaroka-Llah 
Allah….apa amalku jika kurnia
Apa dosaku jika coba

Allah…putih kulitnya dalam putih kerudungnya
Indah sekali alisnya indah sekali matanya
Indah sekali hidungnya indah sekali bibirnya, dalam indah Wajah-Mu

Allahku…kunikmati keindahan dalam keindahan diatas keindahan
Di bawah keindahan di kanan kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali

Allahku...inilah kerapuhanku
Tak kutanyakan kenapa, Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku? 

Ampunilah aku
Tanyalah jua yang kupunya ini
Allah…mukallaf-kah aku dalam keindahanMu ?
 
Masjidil Haram 1979
 

KAU INI BAGAIMANA ATAWA AKU HARUS BAGAIMANA

Kau ini Bagaimana atawa Aku Harus Bagaimana
 
 Ahmad Mustofa Bisri, REMBANG

 
Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana….?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana….?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana…?
aku kau suruh maju, aku mau maju kau srimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana…?
Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana…?
aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana…? 
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana…?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana…?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana…?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu a’lam bis Shawab

Kau ini bagaimana..?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana…?
aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana…?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana…?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana..?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana…?
Atawa aku harus bagaimana…?