SI BUYA IN MEMORIAM

Pernahkah anda datang ke sebuah desa dengan pemandangannya yang masih asri? Bayangkan di sana anda berjalan menyusuri pematang sawah dan melihat sang petani bergelut dengan lumpur. Di samping pak tani ada kerbau yang dirakit dengan pembajak. Lalu anda bertanya pada pak tani, “Berapa besar manfaat kerbau bagi Pak Tani?”

Menurut hemat anda, jawaban seperti apa yang akan diberikan pak tani? Apakah Pak Tani kemudian akan memaki-maki kerbaunya karena kerjanya lambat? Atau Pak Tani akan memukul kerbaunya karena setiap hari dia memberi makan sedangkan sang kerbau hanya duduk santai di dalam kandang? Apapun jawaban anda, simpan saja dalam memori terdalam di hati Anda.

Ternyata Pak tani justru mengusap-usap kerbaunya seraya berkata,”Saya bangga dengan kerbau saya. Walaupun kerjanya lambat, tapi kami saling memahami. Saya membantunya mencari makan, dan dia membantu saya mencari makan dengan membajak sawah ini.”

Saya kira, pun seperti di Solo, anda akan menemukan Kiai Slamet, seekor kerbau yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Bahkan bagian yang kita anggap paling menjijikkan—tahi kerbau dan air seninya—menjadi rebutan. Alangkah sakralnya si Kerbau.

Namun, ternyata SBY tidak melihat kerbau seperti yang saya lihat—mungkin karena cara pandang kami yang berbeda. Kerbau yang dibawa oleh para pendemo beberapa bulan lalu dianggap sebagai simbol negatif yang ditujukan pada dirinya. Mungkin menurut SBY Simbol negatif kerbau itu adalah karena sifat dasar kerbau yang pemalas, berbadan besar (tidak tanggap), dungu, dan mau enaknya sendiri. Kemudian sebuah pertanyaan menggelitik dalam benak saya, “Apakah SBY memang melihat dirinya seperti kerbau? Ya, itu sebuah perspektif tersendiri dan setiap orang boleh tidak sependapat.

Bukannya saya memaksakan cara pandang saya pada SBY. Tetapi jika kita mau melihat hakikat dari segala sesuatu, ada baiknya kita menyandingkan kebaikan dan keburukan dalam wadahnya masing-masing tanpa menegasikan satu sama lain. Bukankah akan selalu ada malaikat dan iblis yang bersama kita. Kalau kita selalu menyerupakan diri kita dengan iblis, maka bisa jadi lama-kelamaan –sifat dan polah tingkah—kita akan seperti iblis.

Hmm, barangkali SBY juga bisa sambil tertawa menanggapi Si BuYa. Atau mungkin akan lebih berwibawa ketika ia dengan lantang berkata,”Saya memang seperti kerbau. Badan saya besar. Kurang tanggap dalam menyelesaikan masalah. Tetapi yang harus anda sekalian ingat, bahwa saya bersungguh-sungguh dengan segala kemampuan saya, mensejahterakan petani Indonesia, sehingga kita tidak perlu mengimpor beras lagi,,,”

Yogyakarta, 11 Mei 2010

0 komentar: