Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, dia juga akan menyalibmu.
Cinta akan menumbuhkanmu, Juga akan memangkasmu. (Kahlil Gibran)
Bismillah. Salam sejahtera. Semoga Allah Maha Cinta senantiasa melindungi hidupmu. Dan kutulis surat ini untukmu ketika malam demikian hening. Ketika ia berulangkali menegaskanmu disetiap gagasan dan semangat.
Ada hal yang dapat membuatku bahagia, dan itu menjadi cita-cita yang sederhana, yaitu menulis dengan jujur. Kali ini aku ingin menulis tentang ini: kemarin sore, ketika aku duduk sendiri, langit senja tampak mengambang lengang. Cuaca cukup redup. Tampak langit seakan menyimpan hujan yang tertahan. Terlihat seekor burung terbang menjauh ke arah utara dan sehelai daun kering jatuh disampingku. Beberapa meter dari tempatku duduk, kulihat lalu lalang orang di tepi jalan yang jauh seolah telah menempatkan waktu yang paling hening di dadaku. Setiap senja menjelang malam, aku ingin punya banyak waktu untuk duduk sendiri. Memang adakalanya bathinku harus belajar berkhianat pada kebisingan, hingar-bingar dan hura-hura, melepas setiap obrolan orang tentang nyinyirnya politik, persoalan hutang yang membelit, gosip, cucian yang menumpuk, prakiraan cuaca, zodiak, wacana liberal dan tetek bengek berita yang gila, konyol dan sedikit omong kosong.
Aku sejenak hanya ingin sendiri dengan mata yang terpejam dan berharap dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk mengenang seseorang. Mungkin aku akan mencatat kenangan itu dalam baris-baris puisi, catatan harian, sebuah cerita kecil atau bahkan mencoba melukis garis-garis wajahnya dipermukaan kertas atau kanvas. Dan kini, aku ingin menulis surat untukmu, sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening, sekedar menyampaikan sesuatu dengan sederhana dan terus terang. Lalu kelak malam mengendap senyap, dan aku akan menemukan ruang yang cukup mesra untuk menafsirmu lewat puisi. Lewat doa.
Seperti malam ini, pukul 23: 13 wib, ada suara televisi diluar kamar. Suara angin menjelang tengah malam, menyapu daun-daun dan menyelinap jendela menawarkan dingin. Lalu ketika tepat tengah malam, ada suara kawan yang rutin tidur mendengkur. Atau suara perut lapar kawanku yang lain. Juga aroma sisa hujan diluar jendela. Suara jengkrik, bunyi detik jam.
Malam begitu dingin, tetapi cukup menyenangkan. Kubungkus kepalaku dengan sorban. Kukenakan jaket. Lampu ruangan dipadamkan dan lampu meja dinyalakan; cahayanya kuning. Kuhela napas berulangkali. Aku tahu, ada banyak hal yang akan aku lakukan dalam suasana seperti malam ini, termasuk mengenangmu…
Mei tahun lalu, aku ingat, Mei tanpa hujan ketika pertama kali aku bertemu kamu.
Hampir setahun setelah berjumpa denganmu, kenangan itu kembali terdengar seperti suara gerimis di daun-daun, tanah dan atap rumah—serupa bunyi detik jam atau suara setiap hela menarik napas. Kamupun tahu, aku bertemu denganmu dalam sebuah kesempatan tak terduga ketika Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Women Studies Centre (WSC) mengadakan penerimaan anggota baru. Organisasi ini yang kelak mempertemukan aku dan kamu. Organisasi ini pula yang mengenal aku tentang wacana feminisme, kesetaraan gender dan sebagainya. Ketika itu aku menjadi peserta yang kemudian harus bekerja keras menumbuhkan dedikasi yang terbaik hanya karena tak membayar kontribusi. Tapi, aku yakin, aku masih bisa bertahan dalam organisasi itu hanya karena kau ada disitu. Padahal aku bukan tipikal orang dengan mental organisatoris yang cerdas, loyal dan ulet. Aku bukan contoh baik bagi orang yang rajin kuliah dan pandai berorganisasi. Hanya saja, aku orang yang begitu khawatir pada setiap mahasiswa yang kehilangan semangat berkarya. Aku selalu tertawa kecil mengingat semua itu.
Ketika Orientasi Penerimaan Anggota Baru (OPA tahun lalu itu, aku melihatmu menjadi seorang moderator seorang pembicara (calon sosiolog) yang kelak begitu mengerti dan setia mendengarkan aku bicara tentangmu. Aku tak pernah sepakat untuk mencatat ini kedalam sebuah kisah picisan. Aku juga tak pernah setuju bahwa aku pernah jatuh cinta dengan tergesa-gesa pada seseorang seperti anak kecil yang tiba-tiba jatuh cinta pada sebuah mainan di etalase toko tepi jalan. Setiap orang memang cenderung demikian tergesa-gesa menerima cinta sebagai sesuatu yang gampang dan sepenuhnya indah, tanpa luka. Padahal Gibran pernah bilang bahwa cinta adalah “mahkota sekaligus penyaliban.” Tapi kerapkali kita menolak satu sisi perih dari keping cinta bermata dua. Melulu enak, hura-hura dan pokoknya menyenangkan. Aku sempat mengatakan hal itu pada seorang kawan yang hampir setiap malam murung karena ditolak cinta dan trauma oleh cinta, apalagi ditambah sakit gigi plus punggung yang gatal-gatal. Ia mengeluh seolah bagian dari dirinya hancur. Harapannya remuk.
Ia lantas di pagi harinya—sudah menjadi sebuah “penyakit” tetapi lumayan kreatif—akan membacakan puisi di toilet keras-keras. Hingga antrian orang yang mau mandi terus mengerutu. Ketika melihat kondisi kawanku yang kadang dapat meresahkan masyarakat, gila dan anarkis, aku akan perlahan mendekatinya. Tetapi ia bicara padaku bahwa ia heran dengan perempuan, ia tengah mengutuk tubuhnya sendiri sekaligus mengutuk nasib. Akupun menyusuri warna nasibnya. Ingin membuatnya kembali ceria. Setidaknya malam ini, menjelang ia tidur. Bahwa kemudian pagi hari ia kumat lagi, itu soal lain. Kejadian seperti itu membuatku memikirkan sesuatu yang memang cukup meresahkan.
Tetapi jika prasangka kawanku benar, bahwa seolah-olah cinta (baca: asmara) berkiblat pada tubuh, maka akan ada beribu orang yang kehilangan hak dicintai dan mencintai. Kawanku selalu mengeluh tentang wajah dalam perjalanan cintanya, termasuk akupun pernah mengalami hal yang serupa: ketakpercayaan diri. “Wajahku jelek, dan perempuan itu cantik,” keluhnya. Ia tak percaya diri. Ia kehilangan. Atau bahkan ada pendam berontak seolah-olah ia ingin berteriak, seperi laiknya Gibran: aku dilahirkan dari keindahan cinta dan kasih sayang, maka aku berhak mencintai dan dicintai! “Tapi kenapa?” tanyanya pelan. Sambil berbaring, akupun ikut bertanya: “Apakah ini takdir mpunya firman? Atau jejaring nilai buah konstruksi sosial dan media yang begitu gaduh merekonstruksi mitos tubuh dan wajah pria dan wanita dalam iklan dan disetiap citra yang dibisikkan dalam gosip-gosip para perawan desa maupun gadis-gadis kota, yang gandrung majalah remaja?”
Persoalan tersebut akhirnya aku angkat dalam sebuah diskusi menjelang tengah malam. Dalam sebuah diskusi tengah malam tentang cinta yang pernah digelar di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), aku memang pernah dengan semangat dan yakin (mungkin juga dendam, depresi atau bahkan gila) berkata: “Wajah, dalam hal ini—disamping uang dan harta, pada dasarnya adalah alasan utama yang kerap menguasai logika perempuan (bahkan laki-laki), kenapa ia membuat yang lainnya berhenti dan terbuang dipintu gerbang asmara. Alasan itu berupa kata-kata yang tak keluar dari mulutnya. Ia mengendap di alam bawah sadar. Perempuan boleh membela diri bahwa krieria wajah atau fisik menempati urutan terbawah dari daftar kriteria tentang imajinasi pasangannnya. Bahkan ada yang membuangnya dari daftar kriteria.
Misal, mereka mengagungkan dan mengutamakan kriteria “lelaki baik hati” sebagai pilihan yang terpenting. Tetapi ketika datang seseorang yang mampu memenuhi kriteria tersebut, ia tetap menolak cintanya dengan alasan yang berbelit-belit: ingin sendiri, mau konsen kuliah, sudah punya pacar (padahal jomblo), belum waktunya, dilarang pacaran oleh ibu dan sebagainya dan sebagainya… Mereka kesulitan untuk jujur bahwa mereka memiliki obsesi yang tinggi akan wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan lainnya…” ucapku panjang lebar. Bahkan dengan jengkel, aku mengatakan bahwa hakikat cinta telah nyaris lenyap dari kesadaran masyarakat. Bahkan di dunia remaja, cinta mengalami reduksi. Ia menjadi sekedar birahi, phsycly dan fun. Atau “cinta” bahkan dipahami sekedar dunia remaja, hubungan asmara antara dua sejoli. Mereka lupa bahwa cinta itu universal. Cinta pada Tuhan, orang tua, sahabat atau bahkan cinta pada orang yang memusuhi kita bla…bla…bla…Diskusi, seperti biasa, akan melebar; dari mulai sharring, tukar pengalaman, debat, legitimasi ayat dan kutipan, persoalan teologi sampai membayangkan apa bunuh diri paling cantik bagi kami. (Hus, kita kan belum punya karya. Jangan dulu bunuh diri, patah hati saja.).
Disaat-saat patah hati, misalnya, seseorang memang harus menulis atau bicara banyak hal pada seseorang. Lalu kukatakan pada kawanku: “Setiap orang telah mengalami hal yang sama, Cuma soal waktu dan sikap apa yang seharusnya dilakukan. Kegagalan cinta itu hal yang wajar. Teruslah berjalan, kalau takut, duduklah! Tetapi itu berarti kau belum mengerti cinta. Ekspresikan saja luka-luka, tentu saja lewat hal-hal yang positif. Berpuisilah, atau melukislah, atau bernyanyilah, atau menulislah…atau...
Memang, cinta dapat membuat orang merdeka lewat karya-karyanya. Seperti semangat yang berkelindan dalam lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci, para filosof, sufi-sufi dan puisi atau karya sastra para sastrawan—karena cinta. Bahkan moralitas, keadilan dan kebenaran lahir dari agungnya cinta. Kita boleh luka oleh cinta, tetapi jangan pernah kalah olehnya ( Maksudnya, diperbudak). Bahwa kemudian kau tak merasa merdeka karena seseorang tak kunjung mau percaya padamu, itu soal lain. Jangan lari dari luka, tetapi dekaplah perihnya. “Kenikmatan hidup, kawan, dapat hadir dari himpitan rasa sakit…”kataku padanya yang terus murung. “Waspadalah, bukankah cinta juga bisa bikin orang gila—bahkan bunuh diri?” kawanku tertawa dengan mata yang berkaca-kaca. Iapun buru-buru berkata: “aku tidak gila!” “ok. Jangan berlebihan, jangan hanyut di arus perasaanmu sendiri. Sekarang yang penting masak nasi!”
Aku memang pernah mencatat dalam buku harian, tentang ini:
Setiap orang cenderung selalu ingin merasa utuh dihadapan sang Kekasih. Padahal ia demikian kecil, keinginan yang menggebu untuk menjadi kekasih yang utuh—sebuah obsesi pecinta khas manusia! Seutuh apapun ia, setiap orang memang tak pernah kunjung lengkap. Selalu, setiap orang ingin dilengkapi oleh yang lain, termasuk sang pecinta. (Jum`at, 24 Februari 2006. 23:16 wib)
Mungkin juga cinta hamba terhadap Tuhannya. Selalu, keinginan akan kehadiran sang Kekasih kian kekal. Begitupun cinta sesama manusia. Mencintaimu membuatku mau belajar pada setiap orang di tepi jalan, diruas-ruas buku dan kaki langit yang paling sepi—aku mau belajar pada semesta, pada hidup. Tapi bukankah kita juga dapat “mati” oleh cinta jika kita tak menerima cinta sebagai sebuah pelajaran untuk mencintai yang lainnya dalam keadaan paling buruk sekalipun. Perceraian dalam rumah tangga, misalnya, seringkali mengabaikan hal itu, kan? Tapi Nabi Muhammad ketika diludahi, malah mendoakan orang yang meludahinya. Mulia, kan? Mungkin itu bagian sikap dari cinta yang agung.
Tapi terus terang, malam ini, aku sebenarnya tak mengerti kenapa setiap ingatan tentang masa lalu selalu berharga untuk diungkapkan kembali, bahkan acapkali berharga untuk tetap dipertahankan. Mungkin ini semacam kerinduan. Aku memang selalu bahagia ketika memahami cinta dan kerinduan padamu sebagai sebuah gagasan dan semangat. Hingga aku cukup bahagia mempertahankannya. Karena aku merasa, setiap kali menerima kehadiran seseorang yang dicintai adalah menerima hidup yang maha tenang, nyaman dan giat berkarya plus merenung. Tetapi bisa juga berarti bermain dalam kecemasan. Bukankah kecemasan juga dapat melahirkan keindahan dan sebuah gairah berkarya?
Akupun memang harus belajar untuk hidup tegap dalam setiap keputusanku, meski setiap keputusan itu benar-benar tak nyaman—termasuk ketika aku membuat keputusan untuk tetap bertahan mencintaimu.
Aku pernah menulis catatan kecil di halaman pertama buku kawanku: “…sudah saatnya kita mempercayai ada banyak hal yang dapat membuat kita merdeka dalam hidup ini, meski dicari dengan cara yang paling tak nyaman sekalipun.” Aku hanya ingin membuktikan diriku dalam doa-doa yang dapat mengubah setiap kesepian menjadi kenangan; mengubah cinta menjadi karya—mengingatmu membuatku tak melakukan apapun yang konyol dan memalukan. Aku senantiasa tersentak dalam ingat dan bergumam: “ bukan begini, tetapi begitu. Bukan ini, tetapi ia.” Aku ingin belajar mengisi seluruh ruang ruang dengan segenapmu—hanya kamu.
Aku tahu, sempat kutulis pesan pendek untukmu, tentang ini:
Saya percaya, ada sesuatu yang tetap kita pertahankan dalam hidup sesingkat ini. Tapi ia sesuatu yang tak bisa disebut. Hanya jika cinta utuh dimengerti, dengan bathin yang bersih, dengan doa.
Aku ingat, SMS itu kamu balas dengan ini:
Aku simpati padamu, tapi itu tidak mungkin…karena terlalu banyak hati yang terluka disekeliling kita.
SMS itu adalah tolakan kedua untuk ungkapan cintaku… Aku memang merasa harus menulis tentang apapun. Setidaknya aku berharap dapat belajar mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi yang lain.
Malam ini, keheningan berjalan demikian perlahan. Kudengar diluar suara gitar dipetik dan seseorang telah bernyanyi. Meski kadang antara nada gitar dan nyanyian tak selaras. Ingin sekali aku menemani kawanku bernyanyi, tetapi lewat tengah malam adalah jadwalku untuk menulis. Toh bernyanyi ketika malam menjelang shubuh lumayan mengkhawatirkan, mengganggu orang tidur dan bermimpi indah. Aku pernah punya pengalaman ketika nyanyianku harus dibalas dengan lemparan sepatu atau baju kotor. Malam memang lebih cantik ketika seseorang memilih diam, tanpa suara, sekedar tafakur dan menulis. Atau sekedar mengukur beberapa kenangan.
Malam inipun, aku merasa setiap kenangan tentangmu begitu cepat merangkum huruf-huruf, menjadi puisi, catatan kecil dan sebuah inspirasi untuk sebuah cerita sederhana. (walau kadang, lewat tengah malam, inspirasi boleh saja menumpuk, tetapi perut amat keroncongan.) Mungkin ada banyak orang yang selalu tak punya alasan yang cukup untuk membuang setiap kenangan yang cantik, termasuk ketika kerapkali kita demikian gugup mencari alasan yang logis kenapa kita mencintai seseorang. Orang mungkin juga tahu, selalu tak hadir alasan yang layak dan dapat dipahami kenapa mereka mencintai seseorang.
Aku akui, matamu memang bening dan teduh. Senyummu cukup ramah. Garis alismu hitam. Wajahmu bersih dan bulat. Gigimu berbaris kecil-kecil. Dan suaramu jernih. Pakaianmu sederhana. Tapi, entahlah, itu semua bukan alasan yang tepat kenapa aku mencintaimu. Ah, aku hampir lupa, langkahmu memang terlihat sedikit tergesa-gesa dan cepat dibanding teman perempuan yang lain. Tapi sikapmu lebih tenang dari mereka, dan soal tertawa, lumayan keras kadang meledak. Tetapi, sekali lagi, itu bukan alasan yang tepat kenapa aku mencintaimu.
Aku sadar, orang bisa menceritakan, memikirkan dan menjelaskan segalanya tentang cinta—hanya sedikit. Selebihnya adalah entah. Karena, konon, cinta hadir diluar materi dan tidak bisa diukur dengan materi, bahkan ia sesuatu yang tidak bisa disebut. Ia hadir lebih lengkap diluar batas bahasa. Bukankah seringkali perasaan cinta terhadap apapun pada akhirnya tak punya bentuk yang utuh dalam bahasa, tak bernama? Atau memang ada banyak orang yang percaya bahwa pernyataan tentang cinta memang tak terlalu penting dihadirkan dalam kata-kata. Tak heran jika banyak orang yang mengungkapkan dan menjawab cinta dengan metafora, sikap dan isyarat-isyarat. Mereka ingin cinta tak diungkapkan secara verbal. Tapi bukan berarti mengungkapkan cinta dalam kata-kata adalah salah, tolol dan tak percaya diri.
Aku percaya bahwa kata-kata dan gambaran tentang cinta yang dapat hadir menjadi karya. Bahkan mengucapkan “aku cinta padamu” akan menjadi baris kalimat karya yang begitu tegas dalam gema kenangan, tak sekedar isyarat. Sebab isyarat sarat ambiguitas bahasa. Bukankah dengan mengamalkan cinta serta mengucapkannya sebuah persembahan akan menjadi kian lengkap?
Aku memang seringkali menemukanmu demikian utuh dalam diam daripada menemukanmu dalam sebuah obrolan panjang lebar tentangmu dengan seorang kawan. Atau aku telah menemukanmu begitu utuh pula dalam pikiran ketika aku duduk sendirian. Seperti sore tadi, kurasakan angin teduh, sesekali menggugurkan satu-dua daun dan membuatnya berserak dipermukaan tanah yang lembab. Dedaun itu sempat mengingatkan aku pada kenangan-kenangan yang berserak dalam puisi-puisi yang tak selesai atau lagu-lagu yang ingin aku nyanyikan untukmu, tapi tak pernah satupun yang kunjung selesai.
Aku memang cukup lama ringkih dan gugup mencatatmu dalam ingatanku. Tetapi selalu ada alasan yang cukup bagiku merasa bahagia menulis puisi dan catatan kecil tentangmu. Bahkan aku seringkali membayangkan kau membacakannya untukku disebuah tempat yang cukup teduh, sunyi dan sederhana. Aku selalu gembira membayangkan hal itu. Tapi jarak merentang demikian nganga dan kian panjang diantara kita. Kau hadir dibatas yang terjauh, ditebing harapan yang letih untuk kutempuh.
Hingga aku mencintaimu dalam diam. Seperti diam ketika dihadapkan pada kenyataan yang sangat rumit untuk diuraikan dipermukaan keinginan. Tetapi kadang cinta membuat kita untuk tetap siap berpikir. Dan aku telah menuliskan setiap cercah pikiran itu. Seperti ketika kita mencintai seseorang, dan ia yang kita cintai tak pernah sedikitpun mencintai kita. Maka kita hanyut dalam arus kegelisahan. Dalam itu, akupun berusaha melupakanmu dengan berbagai cara, tetapi selalu saja malam yang hening dan puisi yang sunyi berulangkali menegaskanmu. Tetapi aku percaya cinta menjadi agung jika kita mampu dan ikhlas mencintai seseorang yang ternyata tak mencintai kita (wah, apalagi kalau saling mencintai.)
Aku telah mencatat dalam buku harian, tentangmu:
Hidup ini sulit diterka: ia mungkin lahir sebagai hentakan yang lain. Aku ingin mencatatmu sebagai seseorang yang hadir dalam gegas, tetapi di saat yang sama kenangan bersilang seperti tikaman bayangan. Aku tak yakin telah mendapatkan perasaan yang lebih baik. Sebab segala sesuatu bergerak tak sederhana, termasuk ketika aku ingin melupakan jejak-jejak bathin, tetntangmu…tetapi selalu saja letih. (Kamis, 09 Februari 2006. 22:05 wib)
Namun, kapan kita mulai bicara bahwa cinta kita pada seseorang adalah titik jika akhirnya setiapkali kita berjumpa dengannya masih saja adalah titik yang pecah, dan itu berarti kita berulangkali berjumpa koma, koma dan koma—kita menjamah takdir yang meragukan. Tapi, orang bilang, cinta yang baik adalah koma dalam kalimat yang tertahan, kalimat yang dianggap selesai, dan ia sepenuhnya mulai meletih dan menolak keraguan disetiap tikungan jalan dan membangun kota kekasih dan kesetiaan diatasnya.
Pekerjaan seperti itu mungkin pernah kita bantah ketika kita merasa nurani adalah sabda paling lengkap dan ia kadang menunjukkan arah lain.
Demikian penempuhan ini, sabda membangun titik dikeseluruhanmu. Aku berharap ada iman yang dahaga dan demikian tetap menyala, menerangi jalan menujumu. Aku pikir, setiap orang punya alasan yang kokoh kenapa ia mesti mempertahankan keyakinannya atas cinta, meski terjal. Saya menemukan seorang pemikir Islam dalam sebuah buku yang usang. Ia seakan keluar dari huruf-huruf dan membentuk diri yang rendah hati duduk disampingku. Ia lalu berkata: “…jika cinta adalah lampu senter yang menerangi jalan seseorang, ia akan menunjukkan apa arti keadilan, kemuliaan kata, kemurahan hati dan ketaatan. Akupun jadi ingat ketika Hamlet, dalam lakon Shakespeare, mengatakan sesuatu pada Ophelia tentang kebenaran cinta: “Ragukan bahwa bintang-bintang itu api. Ragukan bahwa matahari itu bergerak. Ragukanlah bahwa kebenaran itu dusta. Tapi jangan ragukan cinta.” Seolah-olah Rumi pun membisikkan sebuah kalimat cantik ditelingaku: “Apakah cinta? Dahaga yang sempurna. Maka, biarkan aku berbicara tentang air kehidupan.” Mereka semua berputar, bermuara di segenap diriku.
Ah, cinta terbaik memang selalu memberikan alasan yang cukup untuk tetap kembali dan bertahan, menepis selaksa ragu, meski berawal dari rasa ragu yang sama, seperti cinta kita pada tanah kelahiran. Dulu, sempat kukirim pesan pendek padamu, tentang ini:
Bahwa demikian terasa indah dan sia-sia pencarian ini; tetapi berharga. Denganmu aku bermakna. Tertawa saja karenanya. Toh setiap hal mengira itu sebuah lelucon—kecuali hati yang mengerti.
Tapi, disana kerapkali kenyataan bicara lain bahwa setiap harapan ternyata begitu rumit dan remuk, dan kitapun gamang memilih: tetap “bekerja” membentuk harapan atau “bunuh diri” jika setiap penempuhan kadung dianggap tidak realistis, dan kita dipaksa mengamini ketidakmungkinan dan kekalahan diri? Apalagi jika orang-orang disekitar kita berprasangka buruk tentang cinta kita. Lantas, apa yang tersisa pada seseorang yang demikian mencintai segenap kenangan tentang cinta, mencintai sekujur penempuhan tentang cinta dan keseluruhan waktu yang berulangkali bermuara pada seseorang yang dicintainya? Bukankah kita dapat menghapus seseorang yang dicintai dalam kata, tetapi tidak dihati? Tetapi tentang aku, mereka bilang dengan penuh prasangka bahwa aku salah, disaat yang sama kau menutup pintu hatimu. Memang, telah kutulis tentang hal ini padamu:
Mereka berkata lagi: “kenapa harus cinta dipaksakan?” saya menunduk, diam. Tapi saya harus belajar bahagia dapat mencintai seseorang, sekalipun ia tak mencintaiku dan terasa jauh, menjauh.
Pada gilirannya, kelak perasaanku menjadi terdakwa. Aku terpenjara dilema. Aku memang pernah bimbang, cukup lama. Apalagi persoalan bersilang, menumpuk dan acak. Sehingga aku memilih “bunuh diri” dari rutinitas, menarik diri dari orang sekitas, darimu bahkan karyapun terhenti. Serba letih, aku letih menulis. Saat-saat kritis itulah hilangnya kepercayaan diri. Tetapi ada beberapa orang yang ternyata saat itu mampu membangkitkanku kembali, termasuk kamu, menghadapkanku kembali pada tanggung jawab organisasi dan produktivitas dan gairah menulis. Tapi, syukurlah, kemudian aku memang begitu lemah untuk sekedar membunuh apa yang telah aku anggap benar—termasuk ketika aku tak mampu berpaling dari setiap gagasan dan keindahan ingatan tentangmu. Jadi, seberapa pentingkah kejujuran? Hingga ketika mengucapkannya harus menerima resiko yang tak kecil: luka, keterasingan…Tetapi kadang aku tersenyum sinis pada kenyataan, mejadi batu-batu yang siap dilemparkan ke langit. Tetapi dalam kesempatan yang lain, aku demikian luruh dihadapanmu. Rikuh. Aku tak kunjung mengerti kenapa aku demikian gemetar dihadapanmu. Selalu, ada perasaan campur aduk menyadari hadirmu, dari mulai malu, kikuk, salah tingkah dan lain sebagainya. Benar, aku harus mulai belajar jadi lelaki konyol seperti itu. Bahkan aku heran, kenapa aku lebih mudah dan berani presentasi di depan kelas atau di forum debat berjam-jam lamanya daripada harus bicara padamu meski beberapa kata tentang rasa rindu, misalnya. Apakah setiap orang pernah mengalami hal serupa?
Aku ingat, disebuah malam yang tenang, seolah Syuhrawardi memberikan sebuah buku usang berjudul Hikayat-hikayat Mistik. Sebelum pergi ia berkata: “…segala sesuatu yang ada dimanapun akan mencari kesempurnaan. Kamu tidak akan pernah melihat seseorang yang tidak cenderung pada keindahan. Dengan demikian, setiap orang adalah pencari keindahan dan berusaha mendapatkannya.” Ucapnya dengan ramah.
Lantas ia melanjutkan kata-katanya: “Tetapi alangkah sulit mendapatkan keindahan, karena pertemuan dengannya harus melalui perantaraan cinta. Dan keindahan tidak tinggal disembarang tempat, dan tidak secara sembarangan menunjukkan wajahnya pada sembarang orang. Jika secara kebetulan menemukan seseorang yang pantas memperolehnya, keindahan mengirimkan kesedihan untuk membersihkan rumah orang itu. Kamu ingin cinta?” Syuhrawardi bertanya padaku. Aku mengangguk pasti lalu ia berkata: “Masukilah dulu kesedihan, jika ia telah membersihkan seluruh dirimu, keindahan akan serta merta memelukmu…” ucapnya. Ia lalu pergi dariku, meninggalkan sisa malam yang indah bersamaku, menulusup cuaca shubuh.
Setelah pertemuan dengan kata-kata agung itu, akupun lahir dalam puisi-puisi yang mengenangmu, meski—aku tahu—kau masih menjauh. Tapi aku masih bahagia. Bukankah keindahan hakikat tak pernah bisa disebut oleh sepasang mata kepala kita yang telanjang? Disini, aku mulai belajar mensyukuri apapun yang terjadi karenamu; menyimpan perlahan sekujur usia ketabahan disepanjang ladang hidup dan pencarian. Maka akupun tetap mencarimu, atau sekedar menunggu kau lewat dihadapanku. Menunggu. Sampai matahari pelan turun dan senja meninggalkan warna jingga di pelupuk mata yang berbinar.
Di sekretariat, ada sebuah tradisi hadir ketika baju hak milik menjadi baju milik umat, siap pakai oleh siapapun, terkecuali hal yang prinsipil termasuk soal cinta. Tetapi kami mencoba tegas untuk tak menerima hidup sebagai sesuatu yang rumit sekaligus membahayakan. Aku hidup dikampus, meski dengan makan yang siap tak teratur, tanpa gizi. Nyaris tak rajin cuci pakaian. Hingga baju bau apak, sampai setia dipakai berminggu-minggu tanpa dicuci. Tidur juga tak teratur, begadang terus.
Tapi kami berharap bahwa hidup mengajarkan sesuatu yang terbaik selain pakaian, penampilan dan wajah. Aku bilang, berkarya membuat hidup ini punya makna. Karya membuat kita berbeda dengan yang lain. Dan karya demikian bersahabat dengan cinta. Tapi disaat kawan-kawan jenuh, disaat yang sama aku siap bicara melantur dan tertawa (mungkin menertawakan hidup). Setiapkali mereka mengeluh, disaat yang sama yang lain menghibur, meski dengan setumpuk imajinasi yang berlebihan sampai diam-diam saling menghormati dan toleran terhadap harapan seorang kawan yang—dengan jajak pendapat—memang mustahil, absurd plus tak tahu diri. Tapi, aku tahu, kejenuhan lahir karena ada kelemahan dalam kreativitas. Misal, aku mencintaimu dan kau tak mencintaiku, bukankah pencarian itu akan menjenuhkan. Putus asa. Tetapi sebuah karya bisa membuat setiap langkah pencarian menjadi sesuatu yang baru. Aku namakan saja itu kreativitas, mudah-mudahan bukan masokisme.
Seperti hidup yang tak pernah mengajarkan aku untuk jenuh ketika duduk sendiri ditepi jalan kampus, memikirkan apapun yang mungkin menyenangkan, meski gamang. Kulihat lalu lalang orang, suara-suara percakapan orang. Seperti begitu menyenangkan pula ketika melihatmu berjalan lewat dan duduk beberapa meter dariku. Aku diam-diam akan melihatmu, karena khawatir kau mengetahui aku mencuri pandang—sebab itu berarti setiap bersitatap selalu bicara tentang sesuatu yang cemas, letih, berjarak bahkan siap merasa kalah—semacam horor rasis, tak ada kecocokan, mitos perbedaan, pongah dan sebagainya serta cerita penyatuan hati yang dianggap mustahil, setidaknya mungkin itu dalih orang yang tak mau mencintai sesamanya (?).
Namun, ketika kamu beranjak dari tempat dudukmu dan berlalu dari sana, tak lama kemudian aku akan duduk ditempat yang sama ketika kamu duduk. Aku berharap duduk ditempat yang sama adalah sesuatu yang menyenangkan, meski kamu telah beranjak pergi, meski—aku tahu—aku demikian gamang dan gemetar membayangkanmu, atau sekedar menghampiri dan menyapamu.
Sepertimu, akupun beranjak pergi dari sana. Sebelum pergi aku sejenak menatap tempat dimana kau sempat duduk dan menyimpan selembar puisi diatasnya, berharap esok hari kau duduk kembali ditempat yang sama dan menemukan puisi itu lalu membacanya. Tetapi bukankah setiap harapan tak selamanya adalah sebuah bentuk keinginan yang utuh? Begitupun puisi yang sempat aku simpan ditempat yang biasa kau duduk sejenak dan pergi. Esok hari aku mendapati puisiku masih tersimpan disana, dengan huruf-huruf yang luntur karena embun pagi yang dingin dan mengkristal jatuh diatasnya. Huruf-hurufnya tak lagi terbaca. Dan kau tak sempat menemukan dan membacanya.
Namun, ketika kita jatuh cinta, dan kita akan terus menanyakan seseorang yang dicintai sepanjang jalan pada setiap orang. Kita bahkan mencarinya. Tetapi, ketika sudah bertemu dan bertatap muka, kita tak bicara apa-apa. Bisanya hanya diam tak menentu. Memang aneh.
Hal tersebut kerapkali menghkhawatirkanku. Ingin sekali aku lebih tegap bertemu dan bicara denganmu. Hingga aku seringkali belajar pada setiap percakapan tentang pengalaman cinta orang lain. Aku sering mendengarkan obrolan kawa-kawan yang panjang tentang seseorang yang mereka taksir. Atau perilaku mereka ketika jatuh cinta Mereka tak jarang memanggil seseorang dalam gumam sendirian dan senyum-senyum sendiri, bernyanyi sendiri, bahkan diantara kawanku ada yang mendzikirkan nama seseorang yang dicintainya seusai shalat. Konyol, memang.
Aku jadi ingat sebuah pepatah Arab, Man ahabba syai`an aktsara min dzikrihii, barangsiapa mencintai sesuatu, tentu banyak menyebutkannya. Akupun seringkali keceplosan memanggil teman perempuanku dengan namamu. Sebuah kesimpulan populer pun dalam pergaulan remaja kadung muncul: mereka curiga aku menyukaimu. Dan saya yakin, mereka tidak berburuk sangka dan menyebar fitnah. Akupun pernah bicara tentang cinta dengan seorang dosenku diteras masjid, sekedar dapat pencerahan. Kami bicara panjang lebar dari selidik info beasiswa, masalah kuliah, tentang pornografi, agama sampai cinta. Ia telah memberikan pelajaran yang berharga padaku tentang cinta. Aku bahagia.
Disela-sela obrolan dengannya, ia saat itu berkata amat cantik dengan pribahasa Arab, Man mahhadhaka mawaddatahuu faqad khawwalaka muhjatahuu, barangsiapa yang benar-benar ikhlas dalam mencintaimu, maka ia telah memberikan jiwanya padamu. Juga, kakakku pernah menulis untukku tentang semangat dan cinta: jika cintamu adalah rahim bagi karya-karyamu. Maka rayakanlah cinta itu…meski berliku disetiap jalannya; meski perih disetiap langkahnya…Aku ingat, ibuku juga pernah bicara tentang cinta padaku setelah ia menemukan fhotomu di sela bukuku, setelah aku jujur. Lantas ia berkata dengan bahasa Sunda—aku terjemahkan saja: “Temui ia, jika ia dapat merubah hidupmu lebih baik,” demikian ucapnya, cukup cantik.
Aku pikir, ibuku benar, bahkan aku merasakannya. Memang, setiap senyum dan sapaan dari seseorang yang dicintai ibarat vitamin. Ia dapat membuat gairah, semangat dan gembira. Sebaliknya, beberapa hari atau bahkan jam tak senyum dan menyapaku, aku merasa lemah. Memang hal itu terkesan berlebihan. Tetapi aku merasakannya, denganmu.
Tahukah kau, kerinduanku akan kian akrabnya hadirmu dalam waktuku, mengingatkanku akan harumnya cita-cita menjadi pelukis, penulis dan fotografer—agungnya keseluruhan diri. Keheningan malam kadang memaksa aku untuk mencoba menangkap wajahmu dalam sebuah lukisan. Maaf, aku juga tak jarang memotretmu diam-diam. Ssst, aku mengoleksi fotomu juga. (Tapi, aku berjanji akan memberikannya padamu). Dan bila malam beranjak sunyi, aku berlama-lama menatap beberapa lembar fotomu yang kusimpan diruas buku tebal yang kerap aku jadikan bantal untuk tidur di sekretariat. Dari geriak tatapan itu, aku menemukan setiap kelebat waktu menghimpunmu menjadi semacam bentuk kenangan. Dan aku menulisnya. Membuatnya kekal. Semua itu aku lakukan bukan bermaksud buruk, sekedar mensyukuri kenangan dan rasa yang kerap sepi.
Maka, aku telah belajar banyak hal dari penempuhan ini. Cinta telah mengajarkan aku untuk ikhlas mendoakanmu. Cinta yang tidak membangkitkan adalah cinta yang mati. Bukankah manusia harus siap mencintai yang lainnya untuk sepenuhnya percaya bahwa disaat yang sama ia telah mencintai seganap hidup? Di sebuah malam, Rumi pernah membisikan sesuatu ditelingaku: “Hidup adalah sekolah cinta. Dan cinta adalah satu-satunya pelajaran yang harus dipelajari dalam hidup.” Hingga sering aku percaya, bahwa seseorang dapat menjadi baru karena cinta. Ia dapat berputar, menari menempuh batas arti pengetahuan dan pemahaman. Aku, entahlah, mendadak berangsur tenang. Aku ingin menjadi baru. Hingga akupun telah menyampaikan hal ini padamu:
Saya bersyukur, tentang kekuatan cinta: merubah segalanya jadi hal yang terbaik; besarkan hati, beri kekuatan…
Hingga aku masih berdiri, disini, menatap batas langit—mungkin juga batasmu. Ketika berjalan sendiri, hidupku demikian cukup. Saya ingin percaya bahwa langit telah teduh dan bumi bukan lagi riuh. Aku sendiri ketika manusia terdengar seperti gelas pecah dan kunang-kunang yang saling menjauh keluar dari dadanya. Aku telah sendiri ketika manusia pecah dan menjauh, ketika yang satu tak lagi siap menghargai yang lainnya, ketika yang satu tak lagi siap mencintai yang lainnya. Aku berjalan sendiri dan perlahan menghimpun keheningan dan kenangan disudut kecil yang—aku yakin—kebanyakan orang tak suka melewatinya. Menyendiri.
Aku tahu, kamu sudah punya pacar (mungkin juga tunangan, entahlah). Berita itu aku dengar dari kawan perempuanku. Katanya, pacarmu sudah sarjana—suatu gelar yang “menggiurkan”; setahap lagi mencari kerja, mapan dan bisa saja tiba-tiba melamarmu, dan mungkin saja kamu siap menikah. Selesai. Bukankah itu kisah yang singkat dan tak terlalu rumit plus membahagiakan? Ketika itu perasaanku kacau, tak menentu. Mungkin cemburu. Awalnya aku sakit hati. Tapi, pada gilirannya, aku mencoba berpikir bahwa menjerit dalam sakit bisa berarti kalah, berarti tak cinta. Kita boleh luka, tapi jangan kalah dalam luka. Lantas, kawanku itu berkata lagi bahwa jika aku menginginkanmu, aku harus soleh dan rajin ibadah. Aku tersenyum pelan mendengarnya. Kulihat saat itu langit meredup, sore akan hujan.
Tetapi, aku memang tetap akan mencarimu. Sebab aku cinta padamu. Kamu berhak sepenuhnya tak bicara sedikitpun untuk menjawab tentang itu. Sebab keseluruhan dirimu telah mengajarkan aku untuk percaya bahwa cinta bisa diajukan bukan sebagai suatu pertanyaan, tetapi sesuatu yang dapat menjadi pelajaran untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi yang lainnya, mampu bersikap memberi tanpa menuntut untuk selalu ingin menerima.
Penempuhanku yang absurd menujumu adalah karya terbaikku. Aku ingin menemukan setiap kerinduan untukmu sebagai sebuah gagasan dan semangat.
Aku tahu, umur akan terus bertambah disepanjang perjalanan, dalam jeram-jeram harapan akan cinta. Disana, seseorang tak sekedar menikmati cinta, tetapi juga memikirkannya. Bukankah hati juga punya logikanya sendiri? Aku ingin terus mengukur dan mensyukuri umur dengan karya. Berharap—dalam keberanian berkarya—cinta dapat masuk kedalamnya, lewat batas-batas pengertian yang sederhana sekaligus agung. Hingga harapan kelak, karya dapat mendewasakan cinta dan seseorang demikian bahagia menemukan cinta yang mendewasakan sepanjang hidupnya.
Ada beberapa persembahanku untukmu yang mungkin masih sederhana, tetapi aku selalu merasa akan berharga, setidaknya bagiku. Aku punya nazar: kudekati kamu dengan beberapa persembahan sebenarnya: telah kusampaikan lewat isyarat-isyarat (tentu saja, isyarat itu ambigu). Telah buat karya. Telah kulahirkan puisi dan cacatatan-catatan kecil (sebagian ada yang hilang—aku memang pelupa) Kini, telah kutulis surat—semua telah bermuara padamu.
Apalagi ketika kamu pernah mengirim pesan pendek padaku:
Teruskan karyamu kalau membuat kamu senang dan bahagia. Jika kata-kataku tadi membuatmu terluka, maafkanlah aku. Aku hanya tak mau membuatmu tersiksa. Tapi kalau dengan begini kamu bahagia, teruskan…
Aku sempat bahagia membaca pesan pendek itu. Namun kemudian ada jalinan kalimat yang paradoks. Aku terganggu dengan kata teruskan-kalau-bahagia-hanya-tersiksa-tapi…apakah aku memang benar-benar seorang masokis? Dan kau memandangku dari kejauhan dengan rasa iba pada sejengkal sisa harapanku. Aku sebenarnya memang telah hancur dihadapanmu, di ruang ini. Cuma, masih ada karya yang niscaya lahir walau hanya karena kamu hadir. Aku khawatir Ada-ku adalah bayangan, samar, semu, ketergantungan dan sebagainya. Tapi aku berharap ini salah paham. Mungkin kelak aku harus belajar bicara langsung tentang sesuatu yang sebenarnya ingin aku sampaikan padamu. Mudah-mudahan aku tak menjadi horor, tak membuat kamu takut. Mungkin suatu saat tiba-tiba aku akan berjalan menikung dan meletih dalam hidup, maka aku dapat belajar banyak hal dari kenangan tentang arti melangkah. Belajar tentang arti kehilangan, kecemasan, keindahan, ketabahan, kerinduan dan arti cinta, doa, arti berharap…
…Hingga tiba sebuah hidup yang demikian sederhana ketika aku terluka karena kau luka. Aku bahagia karena kau bahagia…
Kau boleh bilang surat ini sekumpulan kalimat gombal. Tapi tak ada alasan yang tepat untuk menuduh seseorang gombal dan dusta, karena kita sulit menerka hati satu sama lain. Aku hanya ingin jujur. Sebab, ketika berdusta, seseorang telah menempatkan diri jadi pengkhianat bagi dirinya sendiri. Berdusta berarti tak merdeka. Konon, dusta itu tak bersahabat dengan cinta. Disisi lain, cinta berarti kenyataan. Kenyataan sepahit apapun, jika ia adalah cinta, maka terima dan hadirkan. Aku memang berani menghadirkan kenyataan yang nekad untuk mencintaimu…mengungkapkan cinta padamu. Tapi, bukankah kejujuran itu baik, meski tak disukai, kerap memunculkan banyak hal yang nyeri, tak menyenangkan? Begitulah aku: ditertawakan, dianggap tak tahu diri—hanya karena ingin mencintaimu. Mungkin tak ada waktu yang tepat karena aku bertemu denganmu dalam waktu yang tak tepat juga. Bayangkan jika dulu aku bertemu denganmu di bis, wartel, disebuah seminar, di Semarang, di Garut, di Tasikmalaya, diperpustakaan atau bahkan di toilet? Atau bayangkan jika kita dulu bertemu sementara kau laki-laki dan aku perempuan? Atau bayangkan kau perempuan pengemis yang kelaparan dan aku pemilik restoran? Atau bayangkan aku adalah Setia dan ia adalah aku? Apakah kenyataan akan berubah? Atau tetap saja, rumit.
Jika malam menjelang, keluarlah dan lihat langit malam. Ada banyak bahasa yang akan berbicara padamu. Sungguh, kita tak sanggup menerka beberapa menit ke depan ataupun hari esok penuh rahasia. Tapi, malam ini, kulihat warna langit malam menyimpan apa yang tersisa dari apa yang tak sempat aku tulis dengan selesai tentang dirimu.
Mungkin benar kata mereka, aku tak tahu diri. Benar katamu, harapan bersamamu memang tak mungkin. Benar kataku, aku hanya patut diam saja. Meski aku tetap mencintaimu. Harapan bersamamu memang mustahil, tetapi cukup berharga untuk dijadikan kenangan disepanjang semangatku untuk berkarya dan belajar memahami hidup dan orang lain. Tetapi, seberapapun banyaknya pengertian dan ketabahan yang kutulis dalam surat ini, aku tak kunjung henti merasa sepi. Sepi. Angin malam menelusup dinding kamar. Dingin. Aku membalutkan sorban ke kepalaku Diluar jendela yang jauh, suara ayam berkokok. Kubuka buku harianku. Kutatap fotomu lebih lama dekat jendela yang sedikit terbuka. Jarum jam terdengar dalam ruang yang hening ini. Sementara malam kian menjelang shubuh…seolah-olah bayanganmu berkelebat di pelupuk mataku, diruang ingatanku…
Terima kasih buat segalanya, buat inspirasinya. Maaf selama ini aku mengganggumu. Aku doakan semoga kamu tetap sehat lahir dan bathin. Jaga kesehatan. Allah melindungimu. Allah mencintaimu. Amin.
Kampus, Di suatu hari dan jam yang telah lewat berserakan.
W a l `a s h r i, Aku mencintaimu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
DFSDAFSDA
bagus kang kunjungi juga www.podoluhur.blogspot.com
Posting Komentar