The Freedom To Be The Really You Wanna Be


Written by Mursidi Ali Rysad Arrasyd (08510012)


Truly, I don't know what liberals’ is?. I use “liberals’—with added ‘s’ because this term more liberals to. It’s different between term ‘liberals’ and ‘liberal’.[1] Some literature made me so confuse. But, when I watch 'Camp Rock', a musical drama of American youth, I felt this is the time to write this note. About the freedom of will--actually music--as a model of thinking. This film talks about the freedom of music, to manage, combine, createand the other similiar wordand become yourself, not the other. And this is the point. Wietgeistein said that everything that unaplicateble in the reality are meaningless. In this note, I’ll try to Apply the term in the Praxis area. Expecially about liberals in Film.
Hmm, nggaya pakai bahasa Inggris. Karena film ini memakai bahasa Inggris dan, tidak ada terjemahannya. Dengan modal bahasa Inggris yang lumayan pas-pasan, saya coba untuk memahami isi film ini secara utuh, meski tentunya banyak miss-understanding di sana-sini. Di sini saya tidak ingin membahas term liberals baik yang mendapat imbuhan -isasi maupun -isme. Saya yakin 95 % rekan-rekan lain akan membahasnya. Tetapi, saya akan mencoba lebih ‘liberals’ dengan menafsir-khayalkan kembali kata yang misterius ini pada tingkatan yang paling praktis. Dalam hal ini saya menggunakan film sebagai objek analisa subyektif. Free, freedom dalam term Inggris ternyata agak berbeda dengan liberalism kontemporer. Bebas, merdeka, besar (silakan anda cek dalam Oxford English Dictionary yang menerangkan lebih lanjut tentang '‘liberals’'). Dan saya merasa cukup dengan batasan definisi sederhana Oxford.
Sebelum menafsir-bebaskan kembali film Camp Rock (CR), saya terlebih dahulu ingin kembali mempertegas term ‘liberals’ di sini. Ketika saya menyebut kata ‘liberals’, saya coba mmengarahkannya pada kata-kata 'merdeka, bebas, dan tentunya 'perubahan'.
Oke, mari bermain bersama imaginasi sutradara ketika menggarap sebuah film. Mungkin akan lebih mudah jika kita 'membunuh sang sutradara' dan menafsirkan sendiri film tersebut dalam konteks kita saat inikita pakai logika hermeneutis filosofis, seperti kata pak Faiz. Film ini berkisah tentang liburan musim panas mahasiswa yang coba digarap dengan konsep kemah musikal. "Its all about music", said Mitchie Torres, pemeran utama cewek dalam film ini. Film ini terhitung lawas karena dirilis tahun 2008. Memang tidak se-booming film Spiderman atau Harry Potter yang langsung menjadi terkenal dan dikenang lama.
Tentang sisi-sisi ‘liberals’ dalam Film ini, saya menemukan banyak tokoh yang berhasil mendapatkan apa yang saya sebut sebagai the Truly Freedom. Mitchie (yang diperankan oleh Demi Lovato, bintang muda yang sedang bersinar di Amerika) adalah seorang yang pemalu, suka demam panggung—bahkan dia merasa malu jika teman-temannya tahu kalau dia hanyalah seorang anak tukang katering di CR. Ia rela menjadi backing vocal-nya Tess Taylor (Meaghan JM) bersama Ella (Anna maria) dan Peggy (Jasmine Richard), teman sekamarnya. Ketika rahasianya terbongkar, semua orang menjadi benci kepadanya, termasuk Shane Gray (Joe Jonas), gebetan Mitchie. Tetapi justru ketika berbagai rasa kekesalan, kecewa, benci, dsb, memuncak, saat itulah Mitchie menemukan siapakah dirinya sebenarnya. Tanpa perlu ditutup-tutupi lagi—toh sudah ketahuan bahwa ia hanyalah seorang anak tukang ketering. Mitchie menemukan dirinya yang tenggelam dalam Pamor Tess taylor. Mitchie merdeka. Ia bebas.
Giliran peggy, teman Mitchie yang selalu menjadi kambing hitam Tess Taylor. Sebenarnya peggy sangat berbakat menyanyi sambil main gitar. Tapi lagi-lagi ia harus nurut pada kata-kata Tess untuk hanya menjadi suara pelengkap. Ketika rasa kesalnya memuncak—akibat tekanan terus-menerus dari Tess—peggy memutuskan untuk berpisah dari kelompok Tess. Ia sadar siapa dirinya, saat akhir-akhir pertunjukkan Final Jam. Tapi itu belum terlambat untuk menampilkan karya terbaiknya dalam bermusik. Dia berhasil. Dia merdeka dari tekanan siapapun. Dan dia juga dinobatkan menjadi pemenang Final jam. Ella pun mengikuti jejak Peggy dan bernyanyi bebas bersama teman-temannya yang lain. Ya, mungkin itu lebih baik daripada sekedar menjadi pengganjal suara dibelakang. Yups, mereka semua akhirnya menjadi diri mereka sendiri. The Freedom To Be The Really You Wanna Be, seperti dalam judul di atas.
Tentang “kebebasan”
Saat ini--27 Oktber 2010--sedang berlangsung pameran karya teman-teman ‘Sanggar Nuun’ di Gd. Multipurpose sayap timur. Dari common sense saja sudah akan terlihat bagaimana karya-karya dalam pameran ini dibuat. Kebebasan untuk berekspresi, kata mereka tentunya. Dalam ruangan yang relatif sempit itu, mereka mencoba merdeka dengan mengembangkan ide dalam karya. Makna kebebasan bagi mereka sangat kentara dengan realisasi—praktek—yang mereka tampilkan. Lebih jauh, silakan datang dan menikmatinya dengan kebebasan Anda sendiri.
Setiap sesuatu butuh kebebasan, tak terkecuali. Itu tesis awal saya—meski terasa Ge eR Sekali karena merasa yang paling pertama mencetuskan hal ini. Manusia layak dimintai pertanggungjawaban oleh tuhan karena manusia adalah agent of liberality. Manusia butuh bebas untuk menjadi bebas. Tanpa kekangan, tanpa paksaan, bahkan dalam hal keberagamaan sekalipun. Muhammad tentu saja merdeka untuk memilih susu atau anggur ketika ia ditawari jibril. Dan ia memilih susu. Ali tentu saja bebas untuk tidur di ranjang nabi--ketika dalam pengepungan kaum qurays kafir--atau memilih untuk ikut serta dalam rombongan ke madinah. Dan ia memilih tidur di ranjang itu dengan taruhan nyawanya, tapi ia merdeka menjadi dirinya sendiri, tanpa paksaan dari abu bakar atau muhammad. Saya, tentu saja juga bebas untuk memilih gaya menulis. Dan saya suka dan merdeka dengan gaya ini.
Ada satu teori menarik dalam ilmu fisika dasar--ini pelajaran fisika sma saya dulu. Ketika udara terperangkap atau diperangkap dalam ruang tertutup akan ada reaksi di sana. Ada tekanan dari dalam (karena udara yang ingin kembali bebas), volume (isi udara dalam ruangan tertutup itu), dan suhu (karena tekanan dan volumenya)--mungkin variable lain saya kesampingkan dulu. Dalam percobaan sederhana, ketika tekanan diperbesar, volume akan semakin kecil dengan kerapatan isi yang semakin besar, dan tentu saja suhu akan ikut naik. Ketika tekanan, kerapatan, dan suhu semakin besar dan terus bertambah besar tanpa ada usaha pelepasan isi, maka akan terjadi ledakan. Ledakan inilah yang kemudian akan menciptakan keseimbangan baru yang sama dengan kondisi ruangan (baca-alam).
Teori sederhana ini saya rasa cukup ampuh juga untuk membaca kondisi sosiologis masyarakat dunia secara luas. Di abad vii, di jazirah arab, ketika tingkat kebudayaan mencapai titik puncaknya--dengan mengabaikan kondisi moral-religi sebagai counter terhadap budaya, ledakan revolusi muhammad memperoleh momentumnya. Dan tercipta peradaban baru. Abad xiv-an, ketika eropa dalam titik klimaks terendahnya--terlelap dalam tidur panjang dogmatisnya--muncul ledakan di mana-mana. Di Inggris ada enlightenment. Di Prancis ada aufklarung. Di Jerman ada renaisance (kalau tidak salah). Ketika indonesia di puncak ketertindasannya, muncul gerakan pembaharuan, proklamasi, sebagai tonggak baru mengganti sistem lama (kolonialism) yang tidak mengenakkan.
Pertanyaan sederhana dan mendasar saya kemudian mengapa diharuskan selalu ada ‘tekanan’ dalam setiap perubahan? Peradaban seakan-akan diharuskan juga untuk berada dilevel nadzirnya. Tidak bisakah sebuah perubahan radikal itu berjalan pada proses ‘tanpa kebodohan dan tekanan’ misalnya. Tak bisakah kita langsung dari awal menjadi orang yang memilih secara bebas untuk menjadi ‘jujur’? tapi pertanyaan-pertanyaan itu saya kembalikan lagi pada sistem pemikiran saya. Bagaimana mau berubah jika memang dari awal sudah baik. Apa yang musti dirubah lagi jika sistem sudah berada pada titik keseimbangannya?. Hmm, menjadi pertanyaan penjawab kerisauan saya akhirnya. Kalau anda berpendapat lain, silakan! Karena siapapun bebas untuk berbicara atau memilih diam. Are You fell the freedom today?


[1]Open English Dictionary, whatever You have and find the term ‘liberals’ and ‘liberal’!

0 komentar: