Sekularis(me), Dunia Barat dan Islam


Oleh: Mursidi Ali Rysad Arrasyd
(08510012)

Rasanya ngeri juga ketika saya diwajibkan untuk menempati salah satu posisi antara menjadi seorang Sekuler atau integralist. Dalam terminologinya sendiri-sendiri, ‘orang-orang pintar’ melakukan klaim pendapatnya masing-masing. Sembari menelisik lebih jauh tentang What is secularism? di dunia buku, saya menyempatkan membuka kembali katakata-sisa.blogspot.com dan beberapa jaringan lain untuk menambah wacana—karena tidak diperkenankan copy paste, saya hanya melirik-lirik saja sambil mencari point yang dianggap penting untuk dikutip sebagai bahan diskusi.

Meski sudah sering mendengar term ini dalam berbagai diskusi, sampai saat ini terus terang makna sekularisme bagi saya masih cukup membingungkan. Mengapa? Karena ternyata masing-masing golongan punya definisi dan komentar yang sangat berbeda tentang sekularisme. Sebut saja JIL[1] yang boleh dibilang Pro-Sekuler. Tentu akan sangat berbeda dengan wacana Hizbuttahrir dan kawan-kawannya yang getol menyuarakan khilafah. Saya kemudian beralih ke Blog Itsme231019. Dia mengatakan bahwa sekularisasi itu disukai sekaligus dibenci. Disukai karena mengajari kita berpikir lebih rasional dan melepas superstisi dan taklid buta yang selama ini dipraktekkan kaum agamawan—fundamentalis. Dibenci karena berusaha memilah-milah antara yang dunia dan akhirat, sedangkan urusan kita di dunia tidak bisa dilepaskan dari akhirat—kata penolak sekuler.

Saya kemudian beralih pada etimologi kata Securalism. Secara etimologi seculerism berasal dari bahasa latin saeculum yang berarti age, era. Secara bahasa artinya :
  1. A position that religious belief should not influence public and governmental decisions
  2. The related political belief in the separation of church and state[2]
Nah, dari segi bahasa, yang kemudian menarik adalah system pemaknaan kata “sekularisme” itu sendiri. Dalam terminlogi awalnya, sebagaimana dua definisi di atas mengindikasikan bahwa pada masanya—awal abad pertengahan—ketika eropa sedang dalam kemelut peradaban, dominasi gereja terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat sangat kuat. Saking kuatnya, doktrin gereja menjadi satu-satunya alat legitimasi kekuasaan negara yang pada waktu itu sangat anti terhadap segala macam ilmu pengetahuan selain agama—eks. Sains. Agama kemudian di anggap sebagai belenggu paling kuat yang harus dipendarkan.

Dalam banyak kasus memang, tradisi gereja ortodoks seakan membungkus peradaban eropa dalam tradisi teosentris yang mati. Sebut saja filsafat st. Agustinus yang justru membawa eropa semakin tenggelam ke dasar peradaban. Karena dalam tradisi gereja, tidak ada peluang bagi ilmu pengetahuan untuk tumbuh dan mengembangkan diri.

Baru pada awal abad Pencerahan—renaissance, enlightenment, Aufklarung, dan lain-lainnya—Eropa baru benar-benar bangun. Tentunya setelah menumbangkan paham teokrasi dan berganti dengan sekulerisme. Di Prancis ini ngetrend dengan istilah Laisisme. Di Amerika

Hal ini kalau kemudian saya benturkan dengan tradisi Islam tentu akan sangat bertentangan. Ketika barat menganut ideology integralistik (Negara Agama) justru mereka berada pada titik nadirnya, sedangkan ketika Islam menganut ideology yang sama (Negara Islam) justru ilmu pengetahuan berada pada titik puncaknya—dan menjadi mercusuar dunia. Dalam sejarah peradaban Islam, agama tidak pernah di-nomordua-kan. Sendi-sendi keberagamaan begitu kuat pengaruhnya dalam tata pemerintahan.

Muncul juga pertanyaan, Ada apa dengan doktrin Agama di barat (Kristen) dan Islam? Apakah memang, Islam jaya karena ideology teokrasinya? Apakah juga barat mengalami kemunduran hanya karena teokrasi ortodoksnya? Sembari kembali membuka-buka ‘Islam: Agama Kemanusiaan’-nya Cak Nur, dan ‘Republik’-nya Plato, saya berharap bisa menemukan titik terang. Meskipun sampai saat ini masih berada di wilayah Grey Area.



[1] Ketika saya membaca tulisannya Zuraihi Misrawi (ZM) yang berjudul Negara Syariat atawa Negara Sekuler? Pembacaan iklim politik Indonesia saat ini semakin mempertajam isu sebenarnya Indonesia mau dibawa kemana, sekuler atawa syariat? ZM menuturkan bahwa Negara Sekuler atawa Syariat, jika hanya dijadikan alat politik-praktis dan mengesampingkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan dan semacamnya itu, maka dua-duanya hanya omong kosong. Tapi yang juga menarik perhatian saya adalah bahwa ZM ikut memposisikan diri mendukung Demokrasi. Ya, mungkin karena dia menulis dikolom JIL. Kalau saja dia menulis untuk FPI mungkin akan lain. pikir saya.
[2]  Dari Go-blognya Rudyrahadian: Sekuler_kenapa_gakkenapa_juga_iya.htm/multiply

0 komentar: