Written by My Lecturer
Novian Widiadharma
Mahasiswa S3
Department of Philosophy Faculty of Arts
University of Delhi
2010
I.
Hari itu aku berada di toko buku langgananku di Bungalow Road Jawahar Nagar, sekitar Kamla Nagar yang lokasinya tidak jauh dari kampusku di University of Delhi. Aku berniat untuk mencari tambahan materi bagi projek penelitianku. Ada cerita mengapa aku sering ke sana. Toko buku itu sebenarnya juga merupakan kantor penerbit yang mengkhususkan diri pada buku-buku tentang Indologi, ilmu kajian tentang India, namanya Motilal Banarsidass (MBD). Sebenarnya sejak di UGM aku sudah memakai buku-buku MBD sebagai referensi utamaku, baik untuk skripsi maupun tesis. Buku-buku ini ada di perpustakaan UGM hasil sumbangan dari Kedutaan Besar India Jakarta pada sekitar tahun 1950-60an. Ini salah satu alasan mengapa aku memilih studi di India karena merasa terkesan pada buku-buku sumbangan pemerintah India tersebut.
Setelah puas dengan buku-buku di MBD, aku keluar dari toko buku dan berniat untuk berjalan ke Kamla Nagar tempat teman-teman Indonesia tinggal. Karena masih di lingkungan kampus DU, di sepanjang Bungalow Road banyak toko buku yang menyediakan bahan-bahan perkuliahan untuk para mahasiswa. Walaupun tidak selengkap Nai Sarak di Old Delhi maupun Sunday Market di sepanjang Darya Ganj, Delhi dalam menyediakan buku-buku bacaan, kawasan ini cukup ramai dan sering dijadikan rujukan untuk mendapatkan buku-buku teks kuliah.
Sepanjang jalan banyak orang melakukan aktivitas ekonomi dengan menawarkan berbagai barang jasa. Kawasan Kamla Nagar merupakan salah satu pusat perekonomian di kota Delhi bagian utara. Banyak orang yang berjualan buku, pakaian, makanan, cinderamata, dan lain sebagainya.
Di Delhi ada bisnis jasa yang belum lazim di Indonesia yakni bisnis timbang badan. Jadi dengan membayar satu atau dua rupee kita bisa mengetahui berat badan kita. Hanya dengan bermodalkan timbangan badan seseorang bisa memulai usaha ini. Ini tidak mahal serta mudah. Suatu usaha yang bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan oleh orang yang sudah sangat tua atau anak-anak sekalipun.
Entah mengapa, sore itu pandanganku tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang duduk di hadapan timbangan dengan tangan sedang tertunduk sepertinya sedang melakukan sesuatu, di depan sebuah toko yang menjual buku-buku kuliah di Bungalow Road, Kamla Nagar.
Aku penasaran sedang apa dia? Ternyata ia sedang menyalin sesuatu dari buku teks ke dalam buku tulisnya. Aku amati anak ini sekian lama apa sesungguhnya yang ia lakukan dan mengabadikannya dalam beberapa kilatan kamera. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, jadi sambil menunggu orang yang berniat memakai jasanya untuk menimbang badan, ia gunakan waktu yang ada untuk belajar atau mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah.
Aku sesungguhnya sangat prihatin, kemiskinan telah memaksa anak-anak ini untuk bekerja mencari nafkah dan kehilangan kesempatan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak. Walaupun secara legal mempekerjakan anak dilarang, namun kenyataannya hal ini sudah menjadi pemandangan umum di India. Namun demikian aku salut atas semangat anak-anak dalam belajar. Ditengah-tengah keterbatasan yang dihadapi mereka tetap berusaha belajar dengan tekun dan keras. Melihat hal ini terus terang aku malu pada diriku sendiri. Betapa selama ini aku telah mendapatkan lebih banyak nikmat dibandingkan dengan mereka. Aku harus lebih bersyukur atas keadaanku sekarang. Mereka menyadarkan aku untuk lebih bisa mempertanggungjawabkan berbagai kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan padaku.
Ini adalah contoh terekstrim betapa kerasnya orang-orang India dalam belajar atau menuntut ilmu. Sebelumnya banyak kutemui orang-orang India menghabiskan waktunya untuk membaca di manapun mereka berada. Jika kita menggunakan Metro tidak sedikit dari mereka yang mengisi waktunya dengan membaca. Kadang aku penasaran, apa sih yang mereka baca? Ternyata mereka membaca bacaan ‘serius’, entah itu novel, buku teks kuliah dan sebagainya, bukan sebangsa koran gosip atau komik.
Aku belum tiga bulan di Delhi, tapi aku bisa melihat bahwa secara umum orang India lebih gemar membaca daripada orang Indonesia. Mungkin bacaan anak-anak SMA di India lebih baik secara kualitas dan kuantitas daripada bacaan anak-anak mahasiswa Indonesia. Aku melihat teman-teman mahasiswa Indonesia di India harus bekerja ekstra keras untuk mengimbangi teman-teman India mereka. Ini bukan karena orang India lebih pintar tapi disebabkan karena orang India lebih banyak membaca daripada teman-teman mahasiswa Indonesia. Terus terang aku salut atas perjuangan teman-teman mahasiswa Indonesia di India yang bekerja lebih keras daripada teman-teman mereka di tanah air.
II.
Sampai di rumah aku lalu berpikir apa yang membuat orang India demikian keras dalam belajar? Apa yang menjadi dasar dari hal yang menurutku sangat luar biasa tersebut? Mengapa mereka sedemikian terobsesi dengan belajar dan pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, aku melakukan perenungan untuk memahami dasar dari pandangan hidup mereka. Jika dilacak sampai jauh ribuan tahun ke belakang, maka ‘pengetahuan’ merupakan kata kunci dari peradaban India kuno, yang tetap terlembagakan dalam agama dan filsafat yang mereka anut hingga saat ini. Pengetahuan bisa dikatakan adalah segalanya bagi mereka. Menurut mereka, bila orang ingin selamat ia memerlukan pengetahuan; bila ingin bahagia ia membutuhkan pengetahuan, semuanya bergantung pada pengetahuan. Oleh karena itu dalam Bhagawatgita mereka mengenal adanya jalan pengetahuan atau ‘jnana marga’ sebagai salah satu dari tiga jalan dalam menjalani hidup.
Kita tentu mengenal stratifikasi masyarakat India atau yang lebih dikenal sistem kasta dalam Hinduisme. Kita mengenal bahwa kasta Brahmana adalah kasta tertinggi dibandingkan ketiga kasta yang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankan kekuasaan ada di tangan kasta ksatria? Atau kekayaan ada di kasta Waisya? Walaupun kekuasaan ada di tangan kasta ksatria dan kekayaan ada di tangan kasta Waisya namun pengetahuan ada di tangan kaum Brahmana. Ini menunjukkan superiotas pengetahuan di atas kekuasaan dan kekayaan. Biar bagaimanapun kekuasaan membutuhkan pengetahuan, bagaimana mungkin seseorang berkuasa atau memerintah tanpa dibimbing oleh suatu pengetahuan?; demikian pula halnya dengan hubungan antara kekayaan dan pengetahuan.
Jika dalam Hinduisme begitu lalu bagaimana dengan tradisi Buddhis yang juga berasal dari India? Inti ajaran Buddha memandang bahwa penderitaan adalah suatu yang eksistensial dalam hidup. Oleh karena itu ia ingin membantu manusia melenyapkan penderitaan. Apa yang menjadi akar dari segala penderitaan? Buddhisme menjawab ‘kebodohan’. Bagaimana mengatasi hal ini? Tentu saja pertama-tama diawali dengan ‘pengetahuan yang benar’, kemudian diikuti dengan hal-hal yang lain. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki tempat yang pertama dan utama.
Kedua hal tersebut belum memuaskanku. Aku mencoba melacak lebih jauh kali ini dengan menggunakan penyelidikan pada bahasa. Bahasa bisa dikatakan merupakan suatu konstruksi bagaimana suatu bangsa memandang dunianya. Dalam hal ini aku ingin melihat seberapa pentingnya kata ‘pengetahuan’ itu? Di sini aku memakai ‘A Dictionary English and Sanskrit’ dari M. Monier Williams. Aku ingin tahu berapa padanan kata untuk kata kerja ‘to know’ dan kata benda ‘knowledge’ dalam bahasa Sanskrta? Hasilnya cukup mengejutkan. Untuk verba ‘to know’ (mengetahui) ditemukan 28 padanan kata. Sedangkan untuk nomina ‘knowledge’ (pengetahuan) terdapat 81 padanan kata. Ini menandakan mereka begitu rigid dan terperinci dalam menjabarkan dan memaknai kata ‘pengetahuan’. Sekali lagi memperlihatkan bahwa pengetahuan adalah kunci dari peradaban mereka. Tidak itu saja, hal tersebut mereka wariskan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun.
![]() |
Learning Spirit............ |
Thanks for permitted
1 komentar:
Meskipun tulisan ini masih kental dengan logika generalisasi, tetep, salut dg semangat Anak2 india. Smga bisa dicontoh...Makasih Slam FILSAFAT!
Posting Komentar