Mbah MAridjan |
Written By Syah Sabur
Mbah Maridjan memang sudah lama mengenal Gunung Merapi karena dia lahir dan besar di situ. Secara formal, dia menjadi Wakil Juru Kunci tahun 1970 dan "berkuasa penuh" di posisi tersebut tahun 1982. Karena itu, tak mengherankan bahwa ia paham gelagat alam: saat Merapi batuk, saat monyet turun, dan kapan wedhus gembel datang.
Meskipun demikian, ia tetaplah seorang juru kunci, bukan ahli vulkanologi, bidang ilmu yang memang tak pernah dipelajarinya. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, dia menegaskan, dirinya bukan "orang sekolahan".
Menjadi juru kunci adalah bagian dari proses transenden dalam memahami Sang Pencipta melalui keberadaan Merapi. Ini tugas personal di jalan sunyi yang tak mudah dipahami orang luar. Sebagai juru kunci, ia berpedoman pada tanda-tanda alam, suara hati, suara batin sekaligus suara-suara yang didapatnya dari leluhur lewat laku tirakat, semedi dan mimpi.
Menolak jadi panutan
Karena tugasnya "merawat", ia tahu diri untuk tidak menempatkan diri sebagai tokoh atau panutan. Kepada reporter Media Indonesia, dua jam sebelum wedhus gembel membawanya pergi, si Mbah menolak untuk memberi pesan kepada masyarakat. "La ngopo wenehi pesen wong aku ra kenal. Mengko malah kleru. (Buat apa memberikan pesan kepada orang yang tidak saya kenal? Nanti malah keliru)," ungkapnya.
Sebagai juru kunci, ia tak tertarik untuk gagah-gagahan memberi petuah atau pesan kepada orang-orang yang mungkin sulit dipahaminya (sekaligus sulit memahaminya) karena berasal dari latar belakang yang jauh berbeda. Ia memang sebuah pribadi yang jujur, tulus, dan lurus pada keyakinannya. Bahkan, perannya sebagai bintang iklan produk minuman suplemen, yang mengantarnya menjadi selebriti, tidak mengubah kepolosannya. Ia tetap bersarung dan berpeci serta bicara ceplas-ceplos.
Dalam perspektif seperti itu, terasa berlebihan ketika ada sekelompok masyarakat yang menyalahkan Mbah Maridjan. Dia dinilai salah karena ngotot tidak meninggalkan Merapi yang sudah berstatus "awas". Kesalahannya dianggap berlipat karena sikap ngototnya itu mengakibatkan sejumlah orang mengikuti jejaknya; menyongsong maut di lereng Merapi.
Tentu saja menyalahkan si Mbah tidaklah masuk akal karena bukan tugasnya untuk mengevakuasi warga. Dalam sejarah beberapa kali letusan Merapi, si Mbah memang teguh untuk menjaga Merapi dan di saat yang sama meminta warga untuk turun, tidak mengikuti jejaknya. Tentu ia tidak kuasa dan tidak memiliki kewenangan untuk memaksa turun sebagian pengikutnya.
Melaksanakan Titah
Menjaga Merapi bukan sembarang tugas karena hal itu merupakan "titah" langsung dari Sultan HB IX. Dalam tradisi keraton Yogyakarta, Merapi adalah wilayah milik keraton yang menjadi bagian dari poros "Merapi - Keraton - Parangtritis" di Pantai Selatan Yogya, yang diyakini sebagai tempat bersemayam Nyi Roro Kidul. Karena itu, menjaga Merapi bukan hanya pekerjaannya melainkan kehidupannya sekaligus. Bisa jadi, baginya, mati dalam pelukan Merapi adalah puncak dari kehidupan dan pengabdian sebagai juru kunci.
Sebagai juru kunci, seperti juga para ahli vulkanologi yang melihat Merapi dari kacamata ilmiah, tentu saja si Mbah bisa salah. Dengan demikian, kita tak berhak menyalahkannya jika hingga saat-saat terakhir dia masih yakin bahwa Merapi tidak akan murka. Jangan-jangan selama ini kitalah yang salah karena telah menempatkan si Mbah pada posisi bukan sebagai juru kunci dan memintanya lebih dari itu.
Sebagai juru kunci, tidaklah fair ketika kita meminta si Mbah berperan mengambil alih tugas pemerintah daerah untuk meyakinkan warga bahwa mengungsi adalah keniscayaan ketika para ahli vulkanologi sudah memberi status “awas” untuk Merapi. Pasti ada sesuatu yang salah jika warga tidak mematuhi anjuran atau ajakan pemerintah dan lebih percaya si Mbah.
Membaca Tanda-tanda
Menyalahkan si Mbah yang ngotot tidak mengungsi dan membiarkan sejumlah pengikut untuk tetap bersamanya, sama dengan menyalahkan para petugas vulkanologi yang tidak bisa mengajak warga untuk mengungsi. Tugas si Mbah dan ahli vulkanologi, dengan cara masing-masing, adalah membaca tanda-tanda yang diperlihatkan Merapi untuk memprediksi kapan Sang Merapi murka.
Sedangkan tugas mengajak warga untuk mengungsi adalah tugas aparat desa, kecamatan atau kabupaten. Maka, pantaskah kita menyalahkan vulkanolog atau si Mbah jika ada warga yang tidak mengungsi? Jika suatu tugas tidak ditunaikan dengan baik. Kita hanya pantas meminta tanggung jawab kepada si pelaksana tugas, bukan yang lain.
Dalam kondisi darurat, dan untuk kepentingan umum, pemerintah bisa saja melakukan "evakuasi paksa", bukan saja terhadap warga tapi juga Mbah Maridjan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari tindakan seperti itu jika resikonya adalah "wedus gembel" yang akan mengambil nyawa warga. Dan itu tidak dilakukan pemerintah.
Dengan demikian marilah kita kenang Mbah Maridjan sebagai juru kunci yang telah melaksanakan tugas dengan jujur, teguh, dan penuh kesetiaan, bahkan ketika nyawa menjadi taruhannya. Jangan pernah menyalahkan mengapa si mbah tidak mengungsi dan membiarkan sejumlah orang mengikuti sikapnya. Sebagai juru kunci, dia sudah menumpahkan segenap kemampuannya, bahkan jiwa dan raganya. Mungkin di saat itulah, Tuhan "menugaskan" Merapi untuk menjemput sang Juru Kunci lewat "utusan khusus" si wedhus gembel. Maka, ia pun bersujud menyambut sang utusan. Itulah puncak pengabdiannya sebagai juru kunci, sebagai abdi dalem, sebagai manusia. Baginya, itu lebih dari sekadar gelar pahlawan.
Tangerang, 29 Oktober 2010
0 komentar:
Posting Komentar