“Seandainya seorang mencari kayu bakar memikul kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, maka itu lebih baik daripada ia meminta-minta.”
Hadist Bukhari dan Muslim.
Ingat hukum fisika dasar tentang Hukum Aksi-Reaksi? Bahwa sebuah Aksi akan menciptakan reaksi. Teori dasar inilah yang pula mengilhami saya tentang hukum alam, hukum karma, dan tentunya dengan tema kapitalism yang sedang kita perbincangkan. Berilah yang terbaik, maka anda akan mendapatkan yang lebih baik daripada yang telah anda berikan! Perilaku buruk Anda pasti akan menghantui setiap langkah. Kata Tuhan dalam Qur’an لها ماكسبت وعليها مااكتسبت Reaksi energi kebaikan dan keburukan tergantung pada energi apa yang kita tuangkan. Inilah hukum kekekalan energi, bahwa energi tidak dapat dimusnahkan, ia hanya berubah bentuk.
Lantas apa hubungannya dengan Kapitalism? Tentu sangat berkaitan, paling tidak dalam kacamata saya. Saya ingin tetap mengandaikan bahwa Kapital itu adalah alat (alat produksi, alat kemapanan, alat kekuasaan, alat kejahatan bahkan bisa juga sebagai alat kita untuk menyejahterakan orang banyak tergantung Aksi yang ingin kita lakukan). Alat tentu tidak bisa bergerak sendiri, harus ada yang menggerakkan. Siapa lagi kalau bukan kita sebagai penguasa kapital (Kapitalis). Ketika Kapital dibawa dalam ranah sitem ekonomi liberal, seperti yang berkembang hampir di seluruh belahan dunia, maka yang terjadi adalah self-interest tanpa mempunyai kepedulian terhadap self-respect manusia. Ini juga yang dikecam keras oleh penganut Marx maupun non-marx.
George Richard dalam bukunya berjudul Business ethics menyebutkan paling tidak ada tiga hal pokok kritik kaum Marx terhadap praktek Kapitalism di dunia barat terutama Amerika sebagai basis Ekonomi dunia saat ini. Pertama, Sistem kapitalisme mengeksploitasi buruh, karena buruh (tenaga kerja) dibayar dengan murah, jauh dari nilai produksi yang dihasilkan. Hal ini tidak bermoral, karena hanya memeras tenaga orang lain untuk memperkaya diri sendiri, karenanya kapitalisme harus diganti dengan sosialisme, yang pada akhirnya nanti menjadi komunisme penuh[1]. Logika Marxian yang cenderung mengharapkan vis a vis Kapitalis (pemodal) dan buruh ini pun tidak selalu terjadi. Lebih jauh lagi, Marx belum sampai pada tesis lanjutan yang perlu juga digarap tentang adanya masyarakat kelas menengah dari golongan buruh. Kiranya kritik pertama ini perlu kita kritisi ulang untuk tetap relevan.
Kedua, adanya proses alienasi manusia. Sistem kapitalisme membuat orang terasing dari proses sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan produk yang mereka buat, dari proses produksi yang utuh dan lain sebagainya. Bahkan mereka tidak perlu mengatahui tujuan dari produk yang dikerjakan. Manusia hanyalah bagian kecil dari sebuah sistem[2]. Di kawasan industri di Tanggerang misalnya, Anda akan menjumpai perusahaan-perusahaan asing multinasional yang mempekerjakan buruh murah Indonesia. Di dalam pabrik, setiap orang hanya mengerjakan satu bagian dari satu proses produksi. Dalam proses pembuatan sepatu, proses itu dibagi menjadi beberapa bagian, ada yang hanya menata alas sepatu, menjahit, menata tali, dsb. Tentu seorang pekerja tidak akan tahu bagaimana proses produksi sebuah sepatu secara utuh dari awal hingga akhir. Inilah yang disebut oleh kaum Marxis sebagai pengasingan diri manusia. Hm, patut kita pikirkan juga.
Nah, bagian ketiga dari kritik itu adalah Dalam sistem kapitalisme, ekonomi dan politik negara hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat orang-orang tertentu, yakni para kapitalis/vested interest.[3] Inilah yang menyebabkan kesenjangan sosial itu semakin kentara. Jika seorang Pemodal (Kapitalis) bisa memperoleh seratus juta setiap bulannya, pekerja (buruh) mungkin hanya bisa dapat dua juta atau mungkin hanya satu juta saja. Dalam lagunya Roma Irama, Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan negara sangat menjamin keberlangsungan sistem seperti ini. Tak heran jika Keluarga Bakrie selalu menjadi jajaran keluarga konglomerat yang belum tergoyahkan.
Bagaimana dengan dunia Islam? Apakah ia juga ikut-ikutan mengecam Kapitalisme? Atau justru mendukung terciptanya masyarakat kapitalis? Kemungkinan jawabannya tentu hanya ada dua, menolak kapitalisme atau menerimanya. Dalam sebuah diskusi publik di Utan Kayu Jakarta 25 Maret 2009, kemarin, yang membahas tentang tema “Respon Islam terhadap Kapitalisme” , Dawam Rahardjo secara tegas mengatakan bahwa etika ekonomi Islam itu selaras dengan Norma ekonomi Kapitalisme. Ia mencontohkan pada masa kejayaan Islam, etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan pelbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa itu membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam. Anda tentu akan sangat bangga dengan menyebut Granada, Cordoba, Bagdad, Damaskus yang menjadi pusat kapitalisme dunia pada masanya.
Yang perlu juga kita catat adalah, meskipun Islam lahir dalam konteks Kapitalisme, namun hubungan ada bukanlah hubungan yang diam, statis, tetapi hubungan timbal balik. Disamping menerima sistem kapitalism, Islam juga memberikan kritik dan masukan terhadapnya. Islam, kata Dawam, memberikan dua modal ekonomi yang utama, manusia dan finansial. Berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Mengutip teori pertumbuhannya Harold Domar, bahwa ada dua modal dalam ekonomi: modal finansial atau fisik dan modal tenaga kerja manusia. Dua-duanya tidak bisa ditumpang-tindihkan satu sama lain.
Lantas bagaimana Islam memberi Solusi? Prinsip kejujuran, keadilan, kehalalan dan tanggungjawab yang bertumpu pada nilai-nilai tauhid, itulah etika bisnis Islam yang diteorikan banyak pakar ekonomi Islam. Memang layak kita jadikan rujukan ketika berbicara tentang Kapitalism yang sudah barang tentu berkait-erat dengan dunia bisnis. Sebagaimana di bagian paling awal, saya mengutip sebuah hadist yang terkenal yang pada intinya, Islam sangat menghargai semangat bekerja dan menghasilkan modal.
Sebagai sebuah alat, kapitalism bisa menjadi baik, bisa menjadi buruk. Meminjam istilahnya HOS Cokroamninoto, kapitalisme itu ada dua, good capitalism and sinful capitalism (Kapitalisme baik dan kapitalisme buruk). Good kapitalisme jika dapat membawa kemaslahatan bersama, sinful capitalisme jika merugikan sistem sosial secara luas. Dalam Quran sendiri memang secara spesifik tidak bicara tentang sistem ekonomi tertentu. Tetapi ada banyak ayat yang mengindikasikan pembicaraan mengenai ekonomi: transaksi jual beli (QS. 2:282), kontrak hutang (QS. 2:282), bunga (QS. 2:275), pinjaman (QS. 2:282), dan pajak (QS. 9:103). Prinsip property right yang menjadi dasar kapitalisme tampak nyata dalam fakta bahwa al-Quran tidak pernah melarang kaum Muslim untuk memiliki harta. Kaum Muslim justru dianjurkan untuk giat berusaha mengumpulkan harta (QS. 62:10 dan 73:20).[pembahasan ini saya singkat saja karena kalau berkepanjangan, tulisan ini tidak selesai-selesai]
Atas dasar inilah kemudian, kita dapat berpikir kembali tentang bagaimana kapitalisme itu musti disikapi. Justifikasi apriori kita [kalau a posteriori pun masih parsial] sebaiknya dikaji lebih dalam, lebih tajam. Lebih jauh lagi, ini juga menuntut sikap santai dan bijak kita terhadap ‘gaya pemikiran barat’ yang cenderung sekuler yang kita pandang sebelah mata. Jadi bukan masalah Islam yang beretika atau barat yang kurang beretika, tetapi lebih pada solusi positif apa yang dapat kita berikan pada masyarakat secara luas. Bukan hanya menjadi penonton yang siap mengkritik tanpa ada solusi. Nah, bagaimana sikap anda terhadap kapitalisme?
Yogyakarta, 27 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar