Written by Ahmad Syauqy
Awalnya hanya karena sumpek di kamar terus, aku berangkat ke rental komputer tempat aku kerja 2 tahun yang lalu. Bukan untuk kepentingan pada komputer atau nge-print, tapi mau pinjam sepeda onthel kepada salah satu teman yang juga kerja di situ sekarang. Aku berencana untuk menuju ke pusat kota Jogja, di Nol kilometer, di mana Benteng Vredeburg, Bank Indonesia, dan Gedung bekas Istana Negara berdiri kokoh. Beberapa waktu lalu di sepanjang jalan dari Nol kilometer ini ke delapan penjuru arah mata angin, terpajang berbagai karya seni anak negeri dalam program untuk menghidupkan kembali Jogja sebagai kota budaya menjadikan rung publik sebagai pentas karya seni para seniman. Dan malam ini, malam minggu dan di antara keramaian perayaan Sekaten di alun-alun Keraton Jogja pastinya ramai dan macet. Tapi bukan untuk itu semua aku bersepeda ke arah Nol kilometer malam ini, tapi untuk menuju mesin ATM BNI yang menyediakan penarikan untuk pecahan Rp. 20.000. Bukan karena apa-apa, tapi saldo tabunganku hanya bisa dicairkan dari mesin ATM yang menyediakan pecahan dengan jumlah itu. Mengenaskan!
Setelah sepeda aku dapatkan, aku langsung saja melaju dengan santai sambil menghemat tenaga agar bisa sampai di tujuan, hanya sekitar 3 km dari kosku. Tapi bagi orang yang lama tidak bersepeda, itu jarak yang cukup melelahkan. Kucari jalan yang tidak banyak tanjakannya, menyusuri jalan-jalan pintas dari arah jalan Timoho. 10 menit bersepeda rupanya sudah cukup membuat nafas tersenggal. Tapi selanjutnya tidak lagi, semua menjadi biasa seperti saat aku bersepeda, kadang berjalan kaki, selama 3 tahun di sekolah tingkat menengah pertama. Berbagai pemandangan malam di jalan-jalan kota Jogja cukup meredam pegalnya kaki mengayuh sepeda.
Melewati satu, dua, dan tiga traffic light membuatku berpikir, betapa istimewa dan lebih luasnya kebebasan yang dimiliki pe-ngontel; tak perlu pakai helm, tak perlu STNK, SIM, di pemberhentian tiap traffic light-pun disediakan tempat paling depan. Selama tidak membahayakan jiwa—mungkin ini satu-satunya yang menjadi pertimbangan pngendara ontel— menerobos lampu merah tidak jadi persoalan yang akan membuatnya ditilang atau masuk persidangan, kecuali tindakan itu kemudian membuat pengendara lain celaka.
Seperti kata pedagang sate di depan Benteng Vredeburg, “Jogja itu gak pernah tidur, selalu ada aktifitas”. Begitupun malam ini. Disepanjang jalan aku temui anak-anak muda yang sedang berkreatifitas, mengecat tembok untuk kemudian dilukis dengan berbagai karya grafitis. Perilaku grafitis ini betul-betul membuat tembok-tembok di jalanan, di jembatan layang menjadi hidup. Keindahan pemandangan kota tidak selalu identik dengan gedung-gedung mewah atau pagar-pagar yang menjulang tinggi. Kreatifitas anak-anak muda dan seniman ini menjadi pembuktiannya. Tembok-tembok disulap menjadi hasil karya seni yang indah. Dan pemerintah daerah bisa memanfaatkan ini menjadi media sosialisasi. Hal ini juga didukung oleh penyikapan yang arif para pemerintah daerah dan masyarakat yang cerdas, sehingga ruang publik benar-benar menjadi ruang bersama, dibentuk dan dijaga bersama. Bukan malah dipasrahkan kepada Satpol PP untuk melakukan penggusuran atas nama tata kota dan keindahan.
Belum lagi dengan satu kejanggalan yang satu ini, aku melewati kerumunan berpasang-pasang pemuda di warung lesehan pinggir jalan, penuh sekali,sampai-sampai ada yang harus berdiri mengantri. Di sebelahnya, hanya dibatasi dinding, ada warung makan yang dibentuk dengan nuansa jawa yang khas, dari bangunannya, meja, tempat duduk, pagar, aksesoris dindingnya, juga menu makanan yang di sajikan sebagaimana terpampang di spanduk luar. Begitu paradoks kata akalku. Ternyata kemewahan bangunan dan fasilitas tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Atau dengan kata lain, tampang tidak menjamin kualitas. Rizki Tuhan benar-benar rahasia.
Kini aku sampai di jalan Taman Pintar yang penuh sesak. Di tengah kemacetan seperti di Nol kilometer sekalipun, aku tetap leluasa untuk bisa menembus jalanan yang penuh sesak dengan ontel ini. Melintasi Taman Pintar, kemacetan mulai memadat, maka aku turun dari ontel, aku belok ke trotoar dan berjalan kaki bersama pejalan yang lain. Sampai kemudian di antara gedung Bank Indonesia dan Benteng Vredeburg kutemukan sedikit celah yang bisa kulalui dengan bersepeda, aku turun dari trotoar dan bersepeda kembali. Tujuan seudah terlihat.
Sampai di perempatan Nol kilometer, kesibukan polisi mengatur lalu lintas pun tak menjadi halangan bagiku melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, selama itu tidak mengganggu dn mencelakai yang lain, no problem. Beberapa menit kemudian sampailah aku di tempat tujuan. Di perkiran, kebebasan itupun aku temui lagi, sepeda ontel tidak kena biaya parkir, cukup berbekal kesadaran untuk parkir dengan rapi dan tidak mengganggu lalu lintas di parkiran atau keindahannya. Masuk ke ATM, antri sekitar 5 menit, baru kemudian baru bisa aku ambil sisa tabungan yang hanya bisa diambil sejumlah Rp.20.000. Lagi-lagi, mengenaskan!
***
Agenda selesai, dalam perjalanan pulang aku kayuh sepeda lebih santai sambil sebentar-sebentar berhenti menikmati kelap-kelip lampu, atraksi anak-anak muda dengan sepedanya, seribu pasa sejoli yang menikmati indahnya malam minggu di Nol kilometer, rombongan yang keluar masuk dari alun-alun keraton. Melewati Benteng Vredeburg ke arah timur, Taman Pintar, aku berbelok ke kiri, melewati Toko Buku Shopping, terus ke utara melewati Gedung Taman Budaya yang selalu ramai dengan berbagai pertunjukan. Kemudian aku berjalan, berbelok lagi ke kanan menuju jalan Paris, kekiri ke arah timur, berhenti sebentar menikmati sebentar aliran Kali Code dari atas Jembatan Sayyidan. Aku jadi ingat pada sosok Romo Mangun yang telah membangun masyarakat sepanjang Kali Code ini, aku ingat anak-anak muda kreatif yang dikenal dengan ShaggyDog. Aku juga ingat sahabat-sahabat yang dulu pernah mengajakku jalan kaki dari kos ke alun-alun utara dan berhenti di atas jembatan ini. Tapi sekarang mereka semua sedang sibuk, dengan tugas masing-masing.
Kukayuh kembali sepedaku, terus ke timur. Sampai di Taman Makam Pahlawan, aku belokkan sepeda ke kiri, melewati gedung Kantor Wilayah Kementrian Agama DIY, tempat yang setahun lalu menjadi sasaran demo temen-temen Ushuluddin menolak perubahan gelar kesarjanaan baru yang, ah...siapapun akan bilang begitu, gak keren, gak marketable. Dari mahasiswa sampai Rektor pun menolak kebijakan itu. Gedung ini tidak banyak berubah, hanya tulisan di tembok luar yang berubah dari Kanwil Departemen Agama menjadi Kanwil Kementrian Agama. Entah substansi dari lembaga ini, entah orang-orang yang bekerja di dalamnya, sudah berubah atau tidak, ‘mereka’ belum bilang.
Melewati Stadion Mandala Krida, aku terus mengayuh sepeda. Kali ini keringat mulai terasa menetes di punggung. Tiba-tiba “Priiit...priitt, hey stop ... saya POLISI,, Anda saya tangkap karena melanggar peraturan berikut; udah gak sms, bikin kangen, bikin gak doyan makan, bikin gak bisa tidur, bikin kepikiran terus, bikin rindu berat, bikin booring juga. So, kalo gak pengen ditilang, maka SMS dunkzzz”. Aku tersenyum sendiri membaca SMS darinya. Aku bilang dalam hati “Maaf Sayang, belum ada pulsa.” Mengenaskan! Lagi-lagi dan lagi ...
Tanpa lebih banyak lagi memberi perhatian pada sekitar aku kayuh terus sepeda sampai di tempat aku berangkat tadi. Baru kemudian aku taruh sepeda, aku ajak temanku ke angkringan untuk makan bareng dan ngobrol sambil lalu menghilangkan pegal di kaki.*** []
0 komentar:
Posting Komentar