Beberapa Tanggapan tentang Filsafat Islam



1.      Menurut Oliver leaman, Filsafat Islam… masih tetap  kaitannya dengan gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir yang bekerja dan berkarya dalam konteks budaya Islam. Saya sependapat dengan Oliver, bahkan saya cenderung berpendapat lebih ekstrim, yaitu Filsafat Islam merupakan Original para pemikir Muslim. Memang dasar pijakan berasal dari Yunani, tapi dalam perkembangan keilmuannya, Filsafat Islam mempunyai warnanya tersendiri. Beberapa sumbangan Filsafat Islam ke dalam khazanah Filsafat yunani antara lain, banyaknya tema-tema baru yang tersebar, disamping tema-tema “tradisional” yang sudah ada, sumbangan dalam hal Epistemologi dan otology filsafat.
Di bagian yang lain, Seyyed Hossein Nasr (SHN) pun mengatakan hal yang hampir sama, walaupun di pendahuluannya ia mengatakan bahwa, “dari sudut pandang tradisi intelektual barat, Filsafat Islam kelihatan hanya sekedar Filsafat Yunani-Alexandrian dalam baju Arab, yang peran satu-satunya adalah menyalurkan unsure penting tertentu warisan zaman kuno barat abad pertengahan. Ia tampaknya sependapat bahwa Filsafat Islam berkembang dalam kerangkanya sendiri. Dalam perspektifnya sendiri—kata SHN—dan jika dinilai berdasarkan keutuhan tradisinya, Filsafat Islam menjadi khas Islam bukan hanya karena dikembangkan oleh orang-orang Islam, tetapi juga karena prinsip-prinsip yang digunakan dalam penjabaran Sumber-sumber wahyu. Dalam Filsafat Islam, Qur’an, Sunnah, dan akal adalah tiga hal yang tidak bisa terpisah satu sama lain. Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber dan landasan, sedangkan akal (al-‘aql) menjadi jembatan terhadap alasan rasionalnya.
Jadi, inkorporasi—penyejajaran—ajaran-ajaran Islam dengan Prosedur-prosedur rasional ini terjadi hanya dalam Filsafat Islam sedangkan dalam Filsafat Yunani hanya berkutat pada rasio murni. Ini yang menjadi dasar bahwa Filsafat Islam bukanlah sekedar contekan dari Filsafat Yunani., tetapi merupakan karya para filsuf muslim sendiri.
2.      Menurut Abid al-Jabiri, “Penerjemahan karya-karya filosof Yunani kuno ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyah, merupakan bagian dari satu strategi yang digunakan oleh dynasty itu untuk melawan kekuatan musuh, yaitu aristokrasi Persia yang ingin membalas dendam. Oleh karena itu, filsafat lslam-arab hendaknya dilihat sebagai sebuah ideology militan yang mempunyai komitmen untuk melayani ilmu pengetahuan, kemajuan dan konsepsi yang dinamis tentang masyarakat.” Saya sependapat dengan Abid.
3.      Falsafah hampir sama dengan al-Hikmah. Dalam beberapa bagian ada hal-hal yang memiliki kemiripan dan pada bagian lain berbeda sama sekali. Mullah Sadra dalam Asfâr mengatakan, “Falsafah adalah upaya atas penyempurnaan atas jiwa manusia, dan dalam beberapa hal atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas essensial segala sesuatu sebagaimana adanya, dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhan), dan bukan diturunkan dalam opini atau dugaan”. Selain itu, dalam Asy-Syawâhid Al-Rubûbiyah, dia menambahkan, “(melalui hikmah) manusia menjadi dunia yang intelijibel—yang dapat dipahami—yang mirip dengan dunia obyektif dan yangs erupa dengan tatanan eksistensi universal.”
Dalam bagian lain, Mullah Sadra juga memberikan penjelasan tentang makna hikmah. Penekanan Mullah Sadra bahwa hikmah bukan hanya pengetahuan teoritis, dan “menjadi dunia intelijibel dan obyektif, tetapi juga keterceraian dari nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran materiilnya atau tajarrud (kartasis).
4.      Menurut Haidar bagir, “filsafat Islam bisa dilihat sebagai gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Dikatakan liberal karena Filsafat Islam mengandalkan pada kebenaran-kebenaran primer dan metode-metode demonstrasional untuk membangun argumentasinya. Pada saat yang sama, pengaruh keyakinan “Agama” mengakar kuat, baik dalam menentukan tentang apa yang disebut sebagai kebenaran-kebenaran primer tersebut. Dan juga dalam pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme yang dipakai.
 Bisa juga dikatakan bahwa Filsafat Islam memberi “kebebasan”—walaupun tidak sepenuhnya—dalam menafsirkan “Islam”. Islam memang pada hakikatnya hanya satu, tetapi penafsiran Islam bisa sangat beragam sesuai dengan bidang kajian masing-masing orang. Dengan kata lain, Keliberalan berpikir seorang Filsuf muslim tentunya masih dalam batas-batas “agama”.
5.      Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan metode Peripatetisme  yaitu bersifat deduktif silogistik. Yakni prosedur untuk mendapatkan kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis (pernyataan yang sudah disepakati terlebih dahulu nilai kebenarannya). Hanya saja dalam peripatetisme proses silogistik tersebut didasarkan atau dimulai dari premis-premis yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). Sedangkan dalam Tologi Dialektis berangkat dari pemahaman baik buruk yang berlandaskan pada kebenaran keagamaan.
Contoh      :
a.      Peripatetisme
Premis Mayor        : Semua mahasiswi UIN SUNAN KALIJAGA selalu memakai Jilbab ketika pergi ke kampus.
Premis Minor         :Siti adalah mahasiswi UIN SUNAN KALIJAGA.
Kesimpulan           : Maka, Siti selalu memakai jilbab ketika pergi ke kampus.
b.      Teologi Dialektis
Premis Mayor        : Manusia yang tidak berhukum dengan hukum Allah berarti dia Kafir.
Premis Minor         : Adam tidak berhukum dengan hukum Allah
Kesimpulan           : Berarti Adam kafir.

0 komentar: