Teologi Pembaharuan Versi Harun Nasution


Berbicara tentang teologi tentunya kita sedang berbicara minimal menyangkut empat hal diantaranya adalah ; kekuasaan, kehendak mutlak tuhan, keadilan tuhan, perbuatan tuhan dan yang terakhir adalah takdir dan sunnatullah.
Pembahasan-pembahasan yang pernah mengemuka dalam Islam, terutama pada awal-awalnya, lebih disebabkan oleh keadaan ketidak puasan sekelompok masyarakat muslim, terhadap proses tahkim atau albitrase, ekses dari keadaan inilah yang telah memaksa golongan tertentu untuk mengunakan logika dan pembenaran perbuatan, pandangannya dengan menggunakan alqur’an serta menghukum kelompok diluar mereka, perseteruan penjang ini telah melahirkan berbagai kelompok dan sekte-sekte dengan pemikiran dan pendangan-pandangan mereka yang khas. Diantara kelompok-kelompok[1] itu adalah :
a.    Khawarij
Khawarij adalah kelompok pertama pada mulanya khawarij mempersoalkan tentang Imamah  tetapi pada akhirnya tidak lagi mempersoalkan tentang Imamah akan tetapi mereka telah memasuki persoalan teologi dimana Khawarij mempertanyakan tentang siapakah yang disebut mukmin dan siapa pula yang disebut dengan Kufr  dan siapa pula yang masih dalam  Islam dan tidak, karena menurut Khawarij orang yang melakukan dosa besar dapat dianggap kufr.
b.    Murji’ah
Kelompok ini kembali menegaskan bahwa manusia yang berbuat dosa besar tetap diakui sebagai mukmin bukan kafir, menyangkut dosa yang ia lakukan mereka beranggapan itu adalah hak Tuhan untuk mengampuni atau tidak.
c.    Mu’tazilah
Ini adalah golongan yang sangat luar biasa diyaman, mu’tazilah menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan Islam dan juga bukan kafir tetapi orang-orang tersebut berada diantara mukmin dan kafir sehingga mereka berpendapat bahwa diakhirat akan ada tempat diantara syurga dan nereka untuk pelaku dosa besar populernya tempat tersebut dianamakan         al manzila bain al manzilatain.
d.    Qadariah
Kelompok qadaria mengatakan bahwa tiap manusia bebas bertindak menurut mereka sendiri tidak ada campur tangan Tuhan sehingga dalam bahasa Ingris dikenal dengan istilah, Free will dan free act. Ini merupakan konsep manusia menurut golongan Qadariah.
e.    Jabariah
Jabariah memiliki ideology bahwa, manusia tidak memiliki hak dan kemampuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Qadariah, akan tetapi menurut Jabariah bahwa segala tindakan dan prilaku manusia adalah paksaan dari tuhan, sehingga mereka memiliki faham perdestinatian atau fatalism.
Apa yang menjadi dasar atau latar belakang bagi harun nasution, tentang pentingnya perubahan konsep teologi yang dianut dan difahami oleh masyarakat Indonesia saat ini, apakah konsep teologi yang umumnya diyakini oleh sebagian besar umat islam Indonesia tidak relevan lagi atau bagaimana?
Dari beberapa karya Harun Nasution tentang pentingnya perubahan pemahaman teologi umat Islam Indonesia adalah dikarenakan konsep teologi yang umumnya difahami oleh masyarakat Indonesia telah menyebabkan masyarkat Indonesia lemah dan malas dalam produktifitas, ini dikarenakan pemahaman tentag konsep kekuasaan tuhan yang absuloth yang merupakan ajaran teologi asya’ariyah, dengan alasan ini Harun Nasution mencoba mengubah pemahaman ini dengan  pendekatan teologi yang dikembangakan oleh golongan mu’tazilah, dimana menurut golongan mu’tazilah bahwa manusia mempunyai kekuasan dan kemampuan untuk memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya dengan menggunakan kemampuan fikir dan olah budi dengan alasan ini, diharapka manusia Indonesia tidak berpangku tangan menerima nasib namun mencoba meruabah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab manusia bisa berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berpikir dan berkarya[2].
Gagasan Harun Nasution.
Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusiackadariah[3].
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Tentang hal ini Harun mambagikan menjadi dua corak dalam teologi yang pertama adalah mereka yang menganggap bahwa akal mempunyai daya yang amat besar dan manusia bebas serta berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, sehingga kekuasaan dan kehendak tuhan tidak lagi mutlak, kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan maka tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak atas diri manusia[4].
Kelompok yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kekuasaan atas dirinya, ini dilatar belakangi oleh pandangan golongan Mu’tazilah, golongan ini beraggapan bahwa setelah tuhan memberikan kekuasaan pada manusia dalam menentukan kemauan dan kebebasannya, maka tuhan membatasi diriNya. selain itu menurut kaum Mu’tazilah bahwasanya tuhan tidak bisa lagi berbuat semena-mena ia terikat dengan norma-norma keadilan, yang apabila ia melanggar maka tuhan dianggap tidak adil terhadap manusia, kekuasaan dan kehendak tuhan juga dibatasi oleh kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia yang bersifat sunnatullah karena tiap sesuatu memilki hukum alamnya.[5]
Kemudian yang kedua adalah kaum asy’ariyah yang mengatakan bahwa tuhan memiliki sifat yang absoluth yang tidak bisa diganggu gugat atas segala kehendakNya dan tidak ada yang dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak dilakukan tuhan, meskipun perbuatan itu dipandang tidak adil dan dhalim bagi manusia.
Dalam hal ini asy’ariyah lebih dekat dengan paham Jabariah (fatalism) daripada qadariah (Free will), untuk menjelaskan tentang hubungan tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan asy’ariyah memakai tiori Katsab dimana manusia berusaha namun hasilnya tetap ditentuka tuhan. dari tiori ini manusia tidak mempunyai pengaruh yang efektif dalam perbuatannya.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harusberdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir  berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini.  Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya,katanHarun,mjumlahmpertamamsedikit.
Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam negeri/UIN). Saat itu, secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud. Sedang gebrakan ketiga, bersama menteri agama Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai filsafat.  Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa.
Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. walau demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Harun, lanjut Cak Nur, telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity.[6]
Setelah lama tidak mendapat kritikan, gagasan pembaruan Islam yang dicetuskan Harun Nasution kali ini mendapatkan kritik tajam. Kritik tajam itu disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MPhil. dalam acara tasyakkur dan pidato ilmiah atas gelar doktornya dalam bidang pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization- International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Menurut Hamid, banyak persoalan yang perlu diklarifikasi seputar gagasan Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah.“Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi tidak terbukti dalam sejarah,” kata Hamid, putra kesembilan pendiri Pondok Pesantren Gontor.
Ia menegaskan, tokoh sekularisme itu menempuh cara itu karena mereka tidak melakukan penelitian dengan cermat antara tradisi Islam dan barat, ada yang secara gegabah misalnya menyatakan, bahwa Barat maju karena mengambil pemikiran Ibnu Rusyd dan umat Islam mundur karena mengambil pemikiran al-Ghazali. Padahal, kata Hamid, David Hume dan Malebanche justru mengambil pemikiran al-Ghazali yang menyatakan, bahwa hukum kausalitas tidak pasti, tetapi membuang unsur ketuhanannya. Masalah ini dibahas panjang lebar dalam disertasi Hamid yang berjudul Al-Ghazali’s Concept of Causality.[7]



[1] Harun Nasution, Teologi Islam;Aliran-Aliran Dan Sejarah Analisa Perbandingan,cet.V.(Jakarta : UI Press,1986)h.7.
[2] Muhammad Arifin, Teologi rasional”studi analisis terhadap pemikiran harun nasution,(Banda Aceh, Arraniry press,2008),hal.40.
[3] www.bumibebas.com.harun-nasution-pembangun-fondasi-islam.html
[4] Muhammad arifin Teologi Rasional (Studi analisis terhadap Pemikiran Teologi Harun Nasution),Cet.I.(Banda aceh.Ar-Raniry Press:2008). Hal.27
[5] Harun Nasution Muhammad abduh dan teologi rasional mu’tazilah. (Jakarta: UI.Press,1987),h.84.
[6] Prof. Dr. Harun Nasution, Neo Mu’tazilah dan Paham Inkar Sunnah di Indonesia « Ibnuramadan.wordpress.com.htm
[7] www.eramuslim.com/news/nas.

0 komentar: