Bagian I : Sebuah Perjalanan


Kota Jogja Pagi ini, setelah semalaman diguyur hujan, dingin dan menyejukkan. Rasanya malas jika harus beranjak dari tempat tidur. Hari Minggu memang oleh kebanyakan orang digunakan untuk beristirahat, apalagi kalau cuaca agak redup dan hawa dingin menyergap. Jalan-jalan yang masih basah, embun di pucuk pepohonan menambah suasana semakin menyegarkan. Bulan September menjadi awal musim penghujan di wilayah Pulau Jawa, khususnya dan Indonesia pada umumnya. Walaupun kadang-kadang masih ada saja wilayah yang masih di landa kemarau.
Geliat kota Jogja terlihat sejak fajar menyingsing. Pedagang kaki lima dan  angkringan[1] terlihat sibuk menggelar dagangannya di sepanjang trotoar. Keberadaan mereka kadang-kadang membuat risih pengguna jalan karena mengganggu pejalan kaki dan merusak tatanan kota. Namun, di sisi lain keberadaan mereka memberi alternatif tersendiri bagi masyarakat kelas bawah untuk tetap bisa makan dengan harga yang relatif murah. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu ikon kota Jogja. Rasanya kurang lengkap jika berkunjung ke Jogja tanpa menikmati hidangan lesehan ala malioboro atau di angkringan.
Minggu pagi di Jogja menjadi kenikmatan tersendiri bagi sebagian orang. Keberadaan Jogja sebagai kota budaya mampu menyihir para wisatawan yang datang. Di pusat kota misalnya, sepanjang Jalan Malioboro biasanya ditutup mulai jam lima pagi sampai jam setengah delapan. Hiruk pikuk orang jalan kaki, senam, belanja, kuliner, komunitas sepeda- mulai onthel sampe BMX-turut mewarnai geliat kota yang penuh sejarah  ini. Di kawasan Alun-Alun Utara maupun Selatan juga nggak kalah ramai. Udara yang masih segar, ditambah cuaca pagi yang cerah membuat kota Jogja tan saya nyenengake[2].
Sementara aku siap-siap berangkat lari pagi, teman-teman satu kontrakan masih melayang di alam mimpi. Semalam mereka begadang bareng cewek-ceweknya. Entah apa yang mereka lakukan aku nggak tau, karena aku sendiri nggak pernah pacaran, jadi aku tak tahu kronologis bagaimana orang pacaran. Aneh, memang. Teman-teman sering tanya kenapa aku nggak pernah pacaran. Jawabku simple saja “Mungkin suatu saat lah. Sekarang ini aku belum menemukan sesuatu yang lain dari seorang cewek. Banyak hal besar yang masih harus mendapat perhatian lebih dari sekedar pacaran dan wanita.” sudah lah. Tidak perlu dibahas lagi. Aku kira setiap orang mempunyai target hidup dan cita-cita yang berbeda. Dan itu yang membuat hidup menjadi tidak monoton.
Di rumah kontrakan  kami ada empat orang penghuni. Aku, Huda, mas Agus dan bang Doni. Aku sendiri bukan orang aseli Jogja. Aku berasal dari Pati[3] kota Santri, Bumi Mina Tani. Sebutan itu aku kira sangat tepat karena di Pati banyak pondok pesantren terutama salafiyah[4]. Pati juga merupakan daerah penghasil padi yang produktif sepanjang tahun.  Kuliahku di Universitas Gajah Mada ngambil Filsafat dan sekarang semester akhir dan tinggal menyelesaikan Skripsi. Entah apa dulu yang menyihirku sehingga mengambil Filsafat sebagai tujuan keilmuanku. Aku juga masih bingung kalau ditanya soal itu.
Sebagai bagian dari masyarakat pesantren yang sarat akan muatan agama doktriner, pilihanku itu dianggap tabu oleh masyarakat sekitar. Apalagi sebagai calon penerus pengasuh pesantren, aku dianggap salah jalur. Sebelum aku kuliah, ada dua hal yang membuat aku kagum pada filsafat, yang pertama tentang cara pandang terhadap sesuatu. Dari beberapa buku filsafat yang ku baca di perpustakaan sekolahku dulu bahwa dengan berfilsafat, kita bisa melihat sesuatu dari sisi yang lain.
Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang , ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan alam. Bahwa semua yang ada di dunia ini mempunyai hakikat dan eksistensi[5], tak hanya sekedar wujud yang fana. Kedua kalinya karena kawan mainku dulu yang juga kuliah di IAIN Walisongo Semarang mengambil Jurusan Akidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin[6]. Aku banyak belajar darinya, tentang bagaimana menikmati hidup ala kita sendiri. Filsafatku sendiri lebih dominan tentang pencarian sebuah identitas diri atau mungkin malah ketiadaan diri di dalam keberadaannya. Tentang mencari diri sendiri di antara wajah-wajah tanpa ekspresi. Kadang-kadang aku juga bingung dengan kata-kata filosifis yang sulit untuk dicerna. Namun, seiring dengan keingintahuan yang kuat, ternyata kata-kata itu sangat mudah dicerna bahkan lebih berkesan di hati daripada kata-kata yang biasa diucapkan.
Sebagai warga pesantren, aku merasa perlu merubah pandangan masyarakat tentang image pesantren  yang seakan-akan hanya mencetak santri konsumen kitab kuning. Seharusnya yang harus lebih digalakan adalah semangat untuk menghasilkan karya-karya baru, tentunya dengan menumbuhkan semangat menulis di kalangan para santri. Selama ini santri hanyalah belajar tentang kaidah-kaidah, bukan semangat bagaimana memahami, kemudian memahamkannya pada masyarakat luas. Kalau dalam bahasa ekonominya mas Agus, ”Santri mampu mengumpulkan barang (ide), tetapi tidak mampu menjual barang itu pada orang lain”. Seharusnya di sinilah terjadi sinkretisme yang menarik antara pendidikan pesantren dengan pendidikan formal.
Ilmu agama dan filsafat seharusnya menjadi satu kesatuan keilmuan yang saling menunjang. Bukan malah saling mengklaim sebuah doktrin kebenaran. Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan juga pada kesadaran akal, bukan hanya sekedar kesadaran yang bersifat tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya. Itu pendapatku. Dan setiap orang boleh berpendapat lain.
Allah telah menganugerahkan akal kepada manusia yang dengannya manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang menyelamatkan mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan.
Dulu sewaktu awal-awal masuk kuliah juga sempat ada penentangan dari Ibu dan Abah. Mereka menolak pilihan studiku. Entah itu karena prospek lulusannya yang nggak sesuai dengan statusku sebagai penerus perjuangan mereka, atau karena orang filsafat yang notabene nggak beraturan dan jarang mandi[7] ataupun alasan-alasan lain yang kadang-kadang nggak masuk akal. Walaupun begitu mereka tetap respect terhadap keputusanku. Dengan berbagai alasan yang aku kemukakan secara logis, mereka menjadi semakin mendukung terhadap apa yang aku pilih.
Sementara itu, Mas Agus kuliah S1 Managemen di Universitas Atmajaya, sekarang dia sudah sibuk mempersiapkan diri untuk sidang skripsi. Dia juga sudah bekerja di  Hotel Melia Purosani. Dia paling suka melakukan audit uang belanja setiap bulannya. Ya, wajar lah, sembari mempraktekkan ilmu yang sudah didapat.
Sedangkan bang Doni sudah menyelesaikan S1-nya di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan tinggal menunggu wisuda. Setelah lulus, dia berencana untuk hijrah ke Irian Jaya untuk mengamalkan ilmunya di sana. Sedangkan Huda kuliah di UGM ngambil Jurusan Statistika. Dia menjadi salah satu mahasiswa abadi[8] di sana. Dia semakin nggak beraturan. Hari-harinya di  kampus hanya buat nongkrong di kantin. Setiap temen-temen ngingetin, dia langsung pergi dan dianggap hanya angin lalu. Padahal dulu pada semester awal-awal, IP-nya bagus dan dia juga termasuk aktifis ulung sebuah organisasi ekstra kampus. Tragedi ngambek kuliah itu berawal ketika orang tuanya bercerai. Hal itu sangat mempengaruhi sikapnya. Sekarang dia lebih apatis[9] orang-orang di sekelilingnya. Walaupun begitu dia tetap perhatian pada teman satu kontrakan. Karena dia menganggap kami sebagai keluarganya setelah kedua orang tuanya tak pernah lagi memberi kasih sayang padanya. 
Di antara keempatnya aku yang paling muda, tapi aku yang paling sibuk ngurus rumah. Mulai dari masak untuk temen-temen, belanja, mengatur jadwal piket atau bersih-bersih rumah dan sebagainya.
Mungkin sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tuaku dulu bahwa aku harus selalu membuat jadwal kegiatan tiap hari, termasuk hari Minggu. Jangan sampai ada waktu yang terbuang percuma tanpa suatu perencanaan yang jelas. Biasanya hari Minggu ku gunakan untuk olahraga dan refreshing.
Minggu memang sangat cocok untuk me-refresh badan setelah seminggu bergelut dengan rutinitas kampus yang melelahkan dan menjemukan. Jadwal yang padat membuatku harus pandai-pandai mengatur waktu. Hari minggu menjadi salah satu pilihan untuk berolahraga sekaligus beristirahat untuk mempersiapkan hari-hari berikutnya.
Kulihat jam di dinding ruang tamu menunjukkan pukul lima lebih dua lima menit. Setelah semua persiapan dirasa sudah siap, air minum, handuk kecil, dan tak lupa Stopwacth, pintu rumah ku buka dan semilir udara pagi menyapa mesra. Sungguh sejuk segar udara pagi ini, nikmat Tuhan tiada terhingga. Alhamdulillah, bisikku pelan sambil mengucap Bismillahi tawakkaltu ‘ala Allah[10].
 Baru buka pagar depan, seorang gadis muncul begitu saja di belakangku. Hampir aku dibuat kaget. Dengan raut muka yang sumringah, wajah pagi yang masih Segar, dia ucapkan selamat pagi dan ku balas dengan ramah pula.
“Mas zen mau kemana?”, tanyanya basa-basi. Padahal sebenarnya dia sudah tahu aku mau kemana.
“Biasalah dik, lari pagi”, jawabku sederhana.
“Kok sendirian? Emang yang lain belum pada bangun ya?”
“Belum tuh, soalnya tadi malem mereka begadang sampe larut, pada malem mingguan ma cewek-ceweknya, jadinya ya jam segini masih pada molor.
“O...gitu.”, sambil senyum-senyum sendiri. Entah apa yang dia pikirkan
Nggak ada acara keluar? Kok diam aja di rumah.” Tanyaku iseng
Nggak ada mas. Eh,.. ada ding. Nanti kayaknya mau ada makrab. Nggak tau jadi apa nggak.”
Emang acara apa?”
“Pengenalan anggota baru pecinta alam.”
“Ikut organ[11] juga ternyata. Kapan pelantikannya?”
“Sudah lama juga sih.”
Yo wes lah. Sip. Tak dukung. Ya udah Dik, aku jalan dulu ya.”, kataku sambil beranjak pergi
“Lho kok jalan? Katanya mau  lari pagi?”, jawabnya ngeledek.
“Ya jalan dulu sambil pemanasan, habis itu baru...”
“Baru lari.”
“Jalan lagi, he…e”, aku langsung beranjak ke taman dekat bunderan kampus
Gadis itu adalah Dewi Annisa Ahmad, tetangga dekatku, putri tunggal kesayangan Pak Ahmad Mustofa. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kontrakanku. Aku biasa memanggilnya Dewi, Nisa atau kadang-kadang adik, karena dia seumuran dengan adikku di pati. Dia paling benci kalau dipanggil dengan nama Ahmad, atau Mad. Kadang kalau lagi iseng, aku sering meledeknya dengan nama itu. ”Masak cewek dipanggil Ahmad sih. Kayak bapak saja”, katanya sambil tertawa.
Pak Ahmad dan Dewi hanya tinggal berdua. Pak Ahmad pernah bercerita padaku bahwa istrinya sudah meninggal dalam kecelakaan ketika Dewi masih berumur dua tahun. Ditabrak oleh bus kota yang ugal-ugalan di tengah suasana jalan yang ramai. Waktu itu pak Ahmad dan istrinya mau pulang dari pasar Beringharjo setelah belanja barang-barang untuk jualan di warungnya. Ketika hendak menyeberang, tiba-tiba sebuah bus kota melaju dengan sangat kencang hendak mendahului bus yang lain dan menabrak bu Ahmad. Beliau meninggal dalam perjalanannya ke Rumah Sakit Panti Rapih. Walaupun begitu, pak Ahmad masih bersyukur karena Dewi pada saat kejadian itu tidak ikut belanja di pasar. Biasanya dia ikut, tapi kali itu dia sedang asyik main dengan temannya di rumah dan tak mau diganggu. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya pak Ahmad jika Dewi ikut ibunya.
Dewi perawakannya agak tinggi. Setinggi pundakku lebih sedikit ketika sama-sama berdiri. Suka mengucir rambutnya yang lurus. Kalau di rumah dia kadang memakai jilbab, kadang tidak, tapi kalau ke kampus dia selalu memakainya. Dia paling getol dengan makanan pedas. Itu aku tahu ketika awal-awal aku ngontrak. waktu itu ada penjual mie ayam yang lewat di depan rumah. Dengan lantangnya dia berkata pada yang jual mie ayam,”Mas, pesen mienya dua. Pake sambel yang banyak, ya mas! Biar mantep.” aku yang waktu itu belum kenal, hanya cengar-cengir memperhatikan dia. ”Ternyata ada juga yang menyaingiku makan pedas”, kataku dalam hati. Bacaan favoritnya novel-novel religi. Koleksinya lumayan banyak mulai dari produk lokal sampai novel-novel terjemahan. Layla Majnun selalu menjadi andalan bahan pembicaraan ketika ngobrol denganku.
Aku lumayan akrab dengan dia. Bisa dikatakan di antara tetangga yang lain, dia yang paling dekat denganku. Huda, mas Agus dan bang Doni suka menjodoh-jodohkan aku dengan dia. Dia baru semester tiga di Universitas Ahmad Dahlan, tapi anaknya sangat kritis dan selalu tanggap terhadap masalah-masalah sosial maupun politik. Padahal dia kuliah mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Begitulah Dewi, gadis manis yang serba bisa dan selalu ramah menyapa kami.
Sesampaiku di taman, ternyata sudah banyak orang yang beraktivitas pagi. Mulai dari mahasiswa, pelajar dan masyarakat sekitar. Beberapa orang di pojok selatan main futsal, karena di sana memang tempatnya lebih datar dan luas. Ada yang main badminton, karate, senam, cuci mata, sampe orang mojok pacaran juga ada. Bahkan ada kumpulan mahasiswa yang diskusi. Entah apa yang dibicarakan.
Pedagang-pedagang makanan, baju, souvenir sampai sandal dan sepatu turut menambah sesak jalan. Tak kurang dari seribu orang hilir mudik memenuhi kawasan bunderan sampai lembah UGM. Ada yang berduaan dengan pacarnya sambil menuntun sepeda tua atau anjing kesayangan mereka, ada yang bareng keluarga menikmati hidangan pagi di bawah pohon, ada juga yang sendiri mencari-cari sesuatu, entah itu barang atau mungkin kecengan. Mahasiswa sekitar UGM memang setiap minggu pagi banyak memadati kawasan ini untuk sekedar jalan-jalan, atau lari pagi. Apalagi kalau ada event khusus, kayak pentas seni atau sejenisnya, ramainya bukan main.
Setiap minggu pagi, kalau aku nggak bersepeda ria bareng temen-temen kost, Aku suka lari pagi di sini. Selain udaranya belum begitu tercemar dengan asap kendaraan, lokasinya juga nggak terlalu jauh dari kontrakanku. Biasanya aku ditemani Dewi, atau mas Arofah.
Setelah lari lima kali mengitari lapangan depan Grha Saba Permana, badanku sudah terasa capek. Biasanya sampai tujuh atau delapan masih sanggup, tapi kali ini aku menyerah. Sambil minum air mineral yang ku bawa, kusandarkan badanku di bawah pohon beringin yang teduh sambil tetap meluruskan kaki. Huuuuh, ku ambil nafas panjang, lalu ku hembuskan pelan-pelan. Ku ulangi beberapa kali hingga nafasku benar-benar teratur. Kata guru SMP-ku dulu, biar tubuh tidak terlalu capek sehabis olahraga, beliau ngajarin tehnik pendinginan dengan pengaturan nafas. Hal itu hampir selalu aku praktekin sehabis olahraga dan hasilnya cukup memuaskan.
Sambil menikmati udara pagi yang masih segar di bawah pohon beringin yang sudah berumur ratusan tahun, tiba-tiba ponsel di saku bergetar. Rupanya ada satu pesan yang masuk dari mas Arofah.
Asslam, bro lagi dmana?jadi lari pagi nggak?Q tnggu d dpn rumah.blz.gpl.
Ku balas cepat dengan pesan singkat
Alaikassalam, wah ente[12] telat. Q dah di bunderan kampus. Lgs sini ja. Q tunggu d bawah pohon beringin. Cepet. Ga pake lama.
Mas Arofah tetanggaku juga. Rumahnya dekat masjid Ulil Albab, salah satu masjid yang ada di Condong Catur, tempat rumah kontrakanku. Di sana sebenarnya ada beberapa masjid besar, tapi yang paling terawat adalah Masjid Ulil Albab. Mas Arofah juga menjadi salah satu aktifis masjid Ulil Albab. Aku sering sharing mengenai permasalahan-permasalahan yang menyangkut ke-Islam-an dengan dia. Pernah pada suatu malam sehabis shalat isya’, kami membahas mengenai kenapa sih kita harus shalat?
“Kita sebagai seorang muslim wajib bagi kita untuk mengerjakan shalat. Shalat adalah sarana kita untuk berhubungan dengan Tuhan. Shalat berarti mengingat dan ketundukan  yang menuntut syarat-syarat pendahuluan, yakni penyucian secara lahir dari najis dan batin dari nafsu, pakaian dan tempat di mana seseorang menyucikan diri harus secara lahiriah bebas dari kotoran dan secara batiniah bebas dari kecurangan dan dosa, menghadap kiblat, kiblat lahir adalah ka’bah dan kiblat batin adalah singgasana Ilahi, berdiri dan niat yang ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
“Bagaimana kita bisa berhubungan dengan Tuhan, padahal kan kita nggak tau siapa Tuhan itu? Apakah Tuhan benar-benar ada? Lalu bagaimana keberadaannya? Selama ini kita selalu berbicara masalah Tuhan, tapi kita nggak pernah benar-benar tau, siapakah Tuhan itu.”
“Pertanyaan yang bagus. Adanya Tuhan itu tidak sama dengan adanya manusia atau ciptaan Tuhan yang lain. Sekarang coba kita pikirkan bersama masalah ini. Apakah  ente tau udara?”
“Ya”
“Apakah udara, gelombang listrik, dan suara itu ada?” tanya mas Arofah mencoba mendesakku
“Ya, semua itu ada”
“ Apakah ia bisa dilihat?”
“Ya nggak bisa lah
“Nah itu. Kita melihat udara saja nggak bisa, apalagi Tuhan yang menciptakannya. Itu yang pertama. Yang kedua, apa segala sesuatu yang serba teratur ini, ada siang malam yang teratur planet-planet yang teratur itu semua berjalan sendiri tanpa ada yang mengatur? ”
“ Pastilah ada yang mengatur. Nggak mungkin semua itu berjalan sendiri.”
Kalo gitu siapa yang ngatur itu?”
“ Ya.... Ya..” aku nggak bisa jawab
“ Adalah kekuatan yang maha, yang mengatur itu semua. Dialah Allah sang Maha Pengatur segala sesuatu. Akhi[13], Tidak semua yang ada itu bisa diterjemahkan dengan keberadaan dimensi ruang dan waktu. Sebagai contohnya kita nggak akan bisa melihat bagaimana bentuk manis itu, tapi cukup dengan lidah kita bahwa manis itu ada. Cukuplah keberadaan Tuhan itu ada dalam Qalb[14]. Karena hakikat dari eksistensi Tuhan itu di luar batas pemikiran manusia dan berada jauh di luar ruang dan waktu manusia. Dan Tuhan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ente pasti lebih tau masalah ini dengan filsafat yang telah ente pelajari.”
“Lantas, apakah hanya karena itu kita harus menyembah Allah?”
“Sesungguhnya kita menyembah atau dalam arti kata lain kita beribadah kepada Allah pada hakikatnya adalah bentuk rasa syukur kita pada Allah. Bahwa kita telah diberi nikmat yang kalo kita hitung, nggak akan bisa. Kita telah diberi tubuh yang lengkap tanpa cacat, untuk itulah kita bersyukur. Sebab banyak orang di luar sana yang fisiknya kurang sempurna. Kita telah diberi oleh Allah keluarga yang menyayangi kita, untuk itulah kita bersyukur. Karena banyak orang yang keluarganya berantakan. Kita telah diberi Allah akal yang sempurna, karena itulah kita bersyukur. Sebab banyak orang yang akalnya tidak sempurna atau autis. Kita telah diberi oleh Allah makanan dan rizki setiap hari, untuk itulah kita bersyukur. Sebab banyak orang di luar sana yang tidak bisa makan karena kekurangan. Dan banyak lagi nikmat yang kita terima. Untuk nikmat-nikmat itulah kita bersyukur. Dan untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah, sudah seharusnya kita berterima kasih kepada yang Maha Pemberi Rizki.
”Tuhan itu tak butuh kita sembah. Tuhan tak butuh kita bersyukur. Karena dengan kita sembah ataupun tidak, tidak akan berkurang keagungannya. Tidak akan habis kemuliannya. Sebenarnya kita lah yang sangat membutuhkan Tuhan. Kita tak akan ada tanpa belas kasih Tuhan. Dan menyembah Tuhan adalah sesuatu yang pantas dan itulah kebutuhan kita.”
Buatku, penjelasan singkat itu cukup membuka pintu-pintu kekerasan hati yang selama ini membayang-bayangi ihwal ibadahku pada Tuhan.
Tak sadar beberapa saat dalam lamunan, Mas Arofah dari kejauhan nampak berlari-lari kecil menghampiriku.
”Tadi aku dah muter lima kali lho, sekarang giliran ente. Aku disini dulu, tak tungguin”
“Yah…nggak asyik sendirian. Ayo temenin dong!” Pintanya agak sedikit memaksa.
“Huh… ayo cepet !. Entar traktir di angkringan lho ya?” balasku menawar
“Sip lah. Lets go !”.
Sambil lari-lari kecil dan sesekali jalan, kami berbincang-bincang masalah akhwat[15]. Mas Arofah agaknya prihatin melihat fenomena mahasiswi zaman sekarang yang terlalu mengumbar auratnya. Betapa tidak, padahal Islam mengajarkan hendaklah para wanita menutup auratnya. Dan para mahasiswa itu notabene adalah Muslimah. Hal semacam ini tak hanya terjadi di Universitas Umum, seperti UGM, UNY, atau Universitas lain, tetapi juga sudah merambah Universitas-universitas Islam seperti UAD, UII, UIN Sunan Kalijaga, UMY. Bahkan mungkin bisa dikatakan lebih ekstrim. Aku mengiyakan saja, kata-kata mas Arofah. Sambil sesekali merespon.
Kami banyak mendiskusikan bagaimana fenomena semacam ini terjadi. Apakah dari tuntutan trend modernisasi? Atau memang karena kemerosotan akhlak? Suatu persoalan klasik yang masih menunggu para intelektual -golongan muda utamanya- untuk memberi tawaran solusi kongkrit. Tawaran yang bukan hanya sekedar bualan dalam diskusi yang sarat istilah.
Selama ini permasalahan sosioreligiusitas[16] masih menjadi topik hangat di stasiun-stasiun televisi dan radio, tiap kali ada kultum[17] atau tausiyah[18]. Namun, yang disayangkan  ketika ada tausiyah misalnya mengenai aurat akhwat, di sisi yang lain media memberi contoh tren pakaian you can see yang seakan-akan menawarkan pencerminan status kelas sosial. Apakah ada yang salah di sini? Perebutan pasar menjadi semakin gencar dengan terus menciptakan tren-tren baru dalam pasar global, yang ini secara langsung maupun tidak langsung menggerus sendi-sendi keberagamaan.
Sepanjang perjalanan, banyak orang yang tampaknya terheran-heran dengan topik perbincangan kami. Kami juga berkenalan dengan Joseph, mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana Jurusan Perbandingan Agama. Perkenalan itu bermula ketika kami yang tanpa sengaja menabrak Joseph yang berhenti untuk membenahi tali sepatunya yang lepas. Lantas kamipun saling memperkenalan diri.
“Saya Joseph Hendra Permana. Panggil saja Joseph”, dia memulai perkenalan dan mengulurkan tangannya. Dan langsung kami sambut tangan Joseph dengan senang hati.
“Aku Zaenal mustofa, panggil saja zaenal atau zen, dan ini temanku, Muhammad Arofah Permana”
“Salam kenal Joseph. Kok nama belakang kita sama ya. Jangan-jangan kita satu marga.” sapa mas Arofah pada Joseph
“Mungkin cuma suatu kebetulan aja. Asalku dari Jakarta, dan sekarang pindah ke Jogja  karena ayahku pindah ke sini.”
Kami banyak bercerita tentang diri masing-masing. Kami juga saling bertukar nomor telepon. Ternyata Joseph sedang melakukan penelitian di Solo. Dia meneliti sebuah perkumpulan bernama Paguyuban Ngesti Tunggal. Sebuah perkumpulan spiritual yang ada di Solo. Dalam perbincangan yang intens itu, olahraga pagi yang kami lakukan seakan tak terasa. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai olahraga pikiran. Entah sudah berapa putaran yang kami lalui.
Jam di ponselku menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit. Itu berarti sudah saatnya istirahat. Aku mengajak mas Arof pulang dan tak lupa mampir dulu di-angkringan untuk menebus janjinya. Setahuku memang mas Arof selalu menepati janjinya.
Beberapa saat di Angkringan, kami membeli wedang  jeruk dan makanan kecil untuk sekedar melepas lelah dan minum. Tak banyak yang kami omongkan di sana. Sekedar melanjutkan pembicaraan yang belum tuntas pas tadi di lapangan. Mas Arofah sebagai salah satu aktivis dakwah, mengajakku mencoba merumuskan suatu metode dakwah yang lebih fleksibel dalam  penyampaiannya. Dan rumusan itu masih menjadi PR bagiku.
Kami berpisah di gang kedua jalan masuk kampung, karena kontrakanku lebih dekat ketimbang rumahnya mas Arof yang agak lebih ke dalam.

~~  ¤¤ ~~    ~~  ¤¤ ~~   ~~  ¤¤ ~~


[1]Warung makan tenda pinggir jalan. Biasanya menjual nasi bungkus kecil atau yang lebih populer dikenal dengan nama sego kucing, gorengan, makanan kecil dan wedang.
               
[2]Jogja Semakin menyenangkan
[3]Sebuah kota sedang yang terletak Di Jawa Tengah bagian utara, tepatnya Pantura bagian timur. Bersebelahan dengan kota Rembang (tempat R.A. Kartini dimakamkan) di sebelah timur dan Kudus di sebelah barat.
[4] Pesantren yang lebih berorientasi pada kajian kitab-kitab (dalil-dalil Qur’an dan Sunnah) klasik ulama salaf. Walaupun dengan tetap membawa perubahan-perubahan ke arah yang lebih modern.
[5]Keberadaan sesuatu yang berwujud.
[6]Dasar-dasar Agama. Disiplin ilmu ini berkonsentrasi pada beberapa jurusan yaitu Akidah dan filsafat, Tafsir dan Hadist, Sosiologi Agama.
[7] Entah siapa yang mempopulerkan jargon ini. Biasanya jargon-jargon semacam ini akan merebak lagi ketika ospek.
[8]Nggak lulus-lulus.
[9]Sikap tidak peduli pada sesuatu.
[10]Dengan menyebut asma Allah, aku berserah diri pada Allah.
[11] Organisasi intra/ekstra-kampus.
[12]Kamu, Anda, saudara.
[13]Panggilan akrab yang berarti saudaraku.
[14]Keyakinan dalam hati manusia yang berakal.
[15]Sebutan lain dari cewek atau wanita.
[16]Permasalahan yang menyangkut dimensi kemasyarakatan dan keagamaan.
[17]Ceramah singkat. Biasanya dengan durasi waktu lima sampai sepuluh menit.
[18]Ceramah yang relatif lebih lama. Durasinya sekitar satu hingga dua jam.

0 komentar: