Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu serita menarik—menurut saya—tentang miss-komunikasi yang terjadi beberapa saat sebelum Presiden Truman menyetujui gagasan Jendral McArthur untuk meluluhlantakkan Jepang dengan BOM ATOM. Ketika Amerika meng-ultimatum Jepang agar segera menyerah dan mengakhiri peperangan, Pemerintah Jepang mengirim sebuah Pesan Singkat sebagai respon atas ultimatum tersebut. MOKUSATSU. Itulah respon Jepang terhadap Ultimatum Sekutu. Secara leksikal, arti kata ‘mokusatsu’ adalah ‘no comment’, atau tak ada komentar. Padahal, Arti sebenarnya dalam penggunaan kata ‘mokusatsu’ adalah kami menyerah tanpa komentar. Tentu sangat berbeda dengan arti dalam kamus. Menanggapi jawaban atas ultimatum sekutu–yang menurut Jendral McArthur sangat melecehkan—tersebut, Sontak membuat Sekutu membombardir Hiroshima dan Nagasaki dengan Bom Atom—yang dalam catatan sejarah, bom itu menjadi saksi mati berakhirnya perang dunia II.
Nah, sebagaimana teori dasar komunikasi yang sudah kita bahas sebelumnya, bahwa ada lima hal yang akan dan musti ada ketika proses komunikasi itu berlangsung. Sender, receiver, medium, noise, dan feed-back. Dalam kasus di atas, Noise atau hambatan dapat mengakibatkan Feed-back yang berdampak sangat buruk. Dan dalam proses Komunikasi ini, barangkali Jepang mengabaikan adanya hambatan –bahasa—ini. Dalam konsep Habermas—kalau saya kaitkan dengan kasus ini—barangkali dalam berbahasa, kita musti memperhatikan teori Pragmatika universal. Makanan apakah itu? Jadi, konsep ini menekankan bahwa bukan hanya ciri fonetik (bagaimana bahasa itu ditata-bunyikan), sintaksis dan semantic (bagaimana bahasa di analisa) kalimat saja yang harus diperhatikan dalam berbahasa, tetapi juga ciri PRAGMATIS bagaimana dan untuk apa bahasa itu digunakan. Bukan hanya bahasa (dalam arti konsep) saja, tetapi juga Tuturan (bagaimana pengucapannya). Bukan hanya kompetensi linguistic, tetapi juga kompetensi komunikatif.
Dasar dari teori Habermas ini adalah teori speech Acts dari Austin dan Searly. Speech Acts adalah –kalau saya mengartikannya dengan bebas—produksi bahasa dalam konteks tertentu. Atau penyampaian gagasan (rangkaian kalimat) dalam sebuah komunikasi. Proses ini dapat kita analisa dalam suatu “muatan proposisional” dan “kekuatan ilokusioner”. Dengan kata yang lebih sederhana, setiap tuturan (penyampaian gagasan) terdiri dari dua kalimat; kalimat yang mendominasi (subyek aktif/ performatif) dan kalimat yang berisi muatan proposisional. Kalimat performatif inilah yang kemudian memantapkan posisi dan kekuatan ilokusioner dalam penyampaian gagasan/ tuturan, sekaligus cara berkomunikasi antara pendengar dan penutur, serta situasi yang menjadi latarnya.
Contoh singkatnya; Aku janji (padamu), Dengarkan! (apa kataku kepadamu), Saya menyatakan bahwa (I love You). Yang saya garis bawahi adalah kalimat/ frasa yang mendominasi/ performatif yang memantapkan posisi muatan proposisionalnya.
Dalam diskursus semiotika (kalau kita mau melihat perbedaanya secara lebih jelas), kuncinya adalah adanya “aturan pembentukan kalimat dalam segala bahasa” (Gramatikal) dan “aturan dalam meletakan kalimat dalam suatu tuturan” (Pragmatika Universal), karena sudah barang tentu produksi kalimat dalam artian gramatikal berbeda dengan pemakaian kalimat menurut aturan pragmatis yang membentuk situasi secara umum. Speech Acts ini menempatkan kalimat yang terbentuk secara gramatikal dengan cara dituturkan dalam situasi tertentu (realitas). Yakni, menempatkan kalimat dalam kaitannya dengan realitas-luar (lokus empiris), realitas dalam (diri penutur), dan realitas normative masyarakat.
Dalam bahasa lain, dapat saya katakan bahwa analisa kompetensi komunikatif (dalam hal ini Speech acts) menuntut adanya kemampuan lebih dari punutur. Bahwa ia tidak hanya mampu menghasilkan kalimat gramatika, tetapi juga
v Mampu memilih kalimat yang tepat sehingga punutur bisa merepresentasikan suatu pengalaman/ fakta (disini akan pendengar akan memperoleh pengetahuan baru)
v Menggunakan ekspresi yang tepat untuk menjelaskan maksud yang bersangkutan secara akurat sehingga pendengar mempercayai penutur, dan
v Memenuhi norma-norma dan citra diri yang diakui sehingga pendengar dapat setuju dalam hal nilai-nilai yang dianutnya.
Salah satu ciri khas teori komunikasi habermas—menurut pemahaman saya—adalah bahwa ia selalu ingin menjelaskan sesuatu dengan bahasa biasa. Ciri yang menonjol dalam bahasa biasa adalah struktur gandanya; yakni jika penutur dan pendengar mencapai pemahaman, ,mereka pasti berkomunikasi secara simultan pada dua level; a) level intersubyektivitas, dimana keduanya mencapai derajat pemahaman yang sama tentang sesuatu yang sedang dikomunikasikan; dan b) level pengalaman dan kejadian dimana mereka mencapai kesepahaman dalam fungsi komunikatif.
Barangkali ketika pemerintah Jepang lebih jeli menggunakan teori dasar habermas ini, Negara itu tidak akan di BOM oleh sekutu. Kita pun kalau tidak ingin disalah-mengerti oleh orang lain, musti juga memperhatikan konsep Speech Acts di atas sebagai bangunan dasar bagaimana kita musti berkomunikasi dengan orang lain. Ketika bahasa yang anda gunakan untuk berkomunikasi sudah mencapai level ganda (baca lagi tulisan di atas), berarti komunikasi performatif yang anda lakukan sudah berhasil. Tetapi jika belum, Anda harus kembali memeriksa setiap bagian dalam bahasa komunikasi Anda. Mari berdiskusi…!!!
0 komentar:
Posting Komentar