Bagian 3: Sabda Pandita Ratu

“Ya Tuhan, berilah saya banyak dunia dan buatlah saya mampu membuangnya”[1]
 
  Begitu mataku terbuka, aku sudah berada di suatu tempat. Di kanan kiri banyak sekali gerumulan semak belukar. Hanya ada satu arah jalan lurus yang membelah semak-belukar itu. Jalan itu membujur dari timur ke barat. Aku berjalan mengikuti gerak hati, mencari-cari sesuatu yang belum aku ketahui apa itu.
Sepanjang perjalanan, ku lihat banyak orang yang tak tahu arah selatan dan mereka bertanya kepadaku, maka ku tunjukkan mereka arah selatan dan mereka pergi menembus semak dengan senang. Aku ingin bertanya sesuatu tapi ku urungkan. Di jalan ku lihat sebuah batu kecil yang seakan menjadi penghalang orang yang melewatinya, tapi ku acuhkan. Di perjalanan selanjutnya ada lagi batu yang kecil yang lebih besar dari yang pertama, kembali kuacuhkan. Dan aku menjumpai lagi batu di tengah jalan yang agak besar. Tanpa berpikir panjang, batu itu langsung ku tendang jauh menembus semak. Walaupun kakiku agak terasa sakit.
Sampai di ujung perjalanan, kulihat padang rumput yang sangat luas membentang sejauh pandangan. Hijau, teduh walaupun tanpa pohon yang rindang. Seperti surga yang diimpi-impikan manusia. Angin berhembus pelan membelai jiwaku yang kelelahan.
Ada orang duduk tak jauh dari tempat kuberdiri. Ku hampiri dia perlahan dengan memperhatikan penampilannya yang aneh. Dia seorang laki-laki setengah baya, memakai pakaian serba putih, tapi tampak lusuh dan kumal. Namun, badannya tampak bersih. Wajahnya memancarkan aura yang tidak bisa dilukiskan.
Ku lihat orang berbaju putih itu memakan buah apel. Di sampingnya tampak buah-buahan segar seperti baru dipetik. Aku memberanikan diri untuk bertanya
”Bapak siapa? Kok sendirian di sini?”
Dia diam tak berkata apapun. Ku ulangi dengan pertanyaan yang berbeda mungkin dia mau menjawab.
”Bapak sedang apa di sini? Bolehkah saya duduk di samping bapak?” dia kembali tak menjawabnya.
Aku kemudian duduk di samping orang itu sambil menikmati pemandangan padang yang terhampar. Orang itu seakan tak memperdulikan kehadiranku. Dia tetap asyik dengan buah-buahnya. Lama-kelamaan aku kepingin juga makan buah yang dimakannya. Ku minta izin untuk makan buah yang ada di sampingnya, tapi tak ada tanggapan. Aku ambil satu apel dan memakannya. Orang itu kemudian memandangku dengan pandangan dalam dan mulai berbicara.
”Makanlah yang menjadi milikmu dan janganlah engkau memakan yang bukan hakmu. Seungguhnya Allah telah menetapkan apa yang akan diberikan kepada hamba-hambanya yang mau bersabar dalam segala keadaan.”
Aku baru tersadar kalau telah melakukan sebuah kesalahan.  
”Anak muda, kendalikan keiginanmu yang menggebu-gebu itu! Suatu saat Tuhanmu sendiri yang akan menjawabnya.”
Bapak itu menangkap apa kata hatiku yang sebenarnya.
“Apa kau benar-benar ingin mencari kesejatian hidup?” tanya orang berbaju putih itu kepadaku. Mungkin ingin menguji kesungguhanku.
“Saya sudah membulatkan tekad dan seluruh jiwa raga saya dalam pencarian yang saya sendiri tidak tahu sampai mana dan kapan akan berakhir”
“Nak, pencarianmu tidak akan sia-sia dan tidak akan pernah berakhir sampai kau menghadap kehadirat-Nya. Titik akhir dari ada dan ketiadaan.”
“Saya ingin mencari jawaban dari keresahan demi keresahan yang setiap saat menyergap dalam siang dan malam.” Suasana hening. Orang berbaju serba putih itu menatapku dengan pandangan penuh, seakan hendak menelanjangi setiap kata yang ku ucapkan. ”Pak, bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyaku melanjutkan perbincangan.
”Bertanyalah. Sesungguhnya orang yang cerdas adalah orang yang mau bertanya ketika dilanda kebingungan, ketidaktahuan, dan kebimbangan. ”
”Apakah Bapak seorang Muslim?”
”Puji Tuhan, Ya. Allah Rabb-ku dan Muhammad panutanku. Aku seorang yang berserah diri pada Tuhan.”
”Apakah bapak juga melakukan shalat?”
”Tidak.”
Aku diam sejenak. Bapak itu juga tampak tenang menjawabnya. Dia kemudian melanjutkan jawabannya.
”Shalat itu bukan untuk dilaksanakan.” Lanjutnya datar.
”Bukankah salah satu rukun Islam adalah  menjalankan shalat. Mengapa Bapak berkata demikian?” tanyaku meyakinkan diri.
”Sekali lagi kau salah, anak muda. Shalat itu tak hanya sekedar untuk dilaksanakan, tapi untuk ditegakkan.”
”Ditegakkan? Bukankah itu sama dengan menjalankan Shalat?”
”Menegakkan shalat berarti menegakkan sendi-sendimu. Menegakkan niatmu. Menegakkan aqidahmu. Menegakkan keyakinanmu. Berdiri berarti mendirikan ruhmu yang selama ini terlelap dalam buaian khayalanmu tentang surga. Ruku’mu berarti penghormatanmu terhadap Tuhan yang kau cintai, kau dambakan, kau rindukan. Kemudian jatuhkan egomu, nafsumu dalam sujud yang dalam pada Tuhan. Rendahkan nafsumu, yang selama ini kau puja. Rendahkan! Sungkurkan! Walaupun setelah itu kau abaikan lagi. Ingatlah anak muda, Tuhanmu selalu ada di sini, menjaga dan mengawasimu. Namun kau tak pernah tahu dan tak pernah kau hiraukan. Barangkali kau terlalu sibuk dengan urusan kuliah, pekerjaan atau pasangan hidup sehingga kau acuhkan Dia.”
”Hidupku seakan hampa. Aku shalat, tetapi shalatku entah kemana. Sama sekali tak ada getaran yang kurasakan. Asma Allah yang dibangga-banggakan tak membuatku takut atau khusyuk dalam shalat. Aku selalu berdo’a pada Allah dengan bahasa arab yang fasih, walaupun kadang-kadang aku tak tahu apa maksudnya. Segudang keraguan menumpuk dalam pikiranku. Aku  selalu bertanya apakah Tuhan  itu benar-benar ada? Seperti apa DIA? Apakah DIA melihat dengan  mata seperti manusia? Mendengar dengan  telinga seperti manusia? Berjalan dengan kaki seperti manusia? Atau  jika Tuhan benar-benar Ada, mengapa tak ada satu orang  pun yang pernah  melihat-Nya?”
Orang berbaju serba putih itu malah tertawa. Namun, aku menangkap sesuatu yang luar biasa dari tawanya. Orang itu seperti menyimpan kedalaman ilmu yang dia miliki. Sesuatu yang tak ternilai. ”Bertanyalah! Engkau akan mendapat jawabannya. Allah tak pernah membiarkan hambanya tersesat dalam lembah khayalan. Ini adalah  tentang dirimu, jiwamu, Tuhanmu dan sebuah pencarian yang tak berujung. Masih banyak yang harus kau pelajari tentang hidup. Peganglah  al-Qur’an erat-erat! Jangan sampai sedetikpun kau lepaskan. Karena itu sabda Tuhanmu, tujuanmu. Bukalah setiap halaman dengan mata hatimu. Temukan makna-makna intimnya. Kemudian ingat benar-benar pesanku, belajarlah menjadi orang yang menundukkan wajah di hadapan Tuhanmu dan manusia utama. Singkirkan setiap batu sandungan yang menghalangi jalanmu. Tunjukkan orang yang bertanya arah kepadamu. Sebarkan cahayamu sehingga menerangi seluruh alam . Dan jangan kau makan sesuatu yang pahit bagimu.”
Aku semakin bingung dengan kata-kata orang yang tak ku kenal itu. seolah-olah dia ingin memberikan sesuatu yang luar biasa. Dari pancaran kharismanya, terpancar keluhuran budi, kedalaman ilmu, kehalusan akhlaq dan keyakinan akan hakikat diri-Nya.
Orang berbaju putih kemudian mengajakku bersemedi di atas sebuah batu yang cukup lebar untuk kami berdua. Kami berdua duduk saling berhadapan. Orang berbaju putih itu duduk di tempat yang sedidkit lebih tinggi dariku. Aku pun laksana seorang murid yang siap menerima wejangan dan pelajaran dari sang guru.
“Pejamkan matamu, anakku!” perintah orang berbaju putih itu kepadaku. Aku lantas memejamkan mataku. Aku diam hingga waktu yang cukup lama. Tidak ada yang bersuara. Orang berbaju putih itu pun diam. Aku menjadi gelisah dengan apa yang aku perbuat. Dalam hatiku berkata,”Apa yang bisa aku dapatkan dari hanya sekedar duduk terpaku memejamkan mata seperti ini? Apakah ilmu itu akan datang dengan sendirinya dengan bersemedi? Bagaimana mungkin aku akan menemukan hakikat dari hidup jika aku hanya duduk diam di sini tanpa melakukan apa-apa? Apakah memang orang ini ingin menguji kembali kesungguhanku, seperti Sunan Kalijaga yang diperintahkan Sunan Bonang untuk menjaga tongkatnya di pinggir kali tanpa tahu untuk apa dan sampai kapan?”.
“Anak muda, sesungguhnya diam dan mendengarkan satu kata dari seorang guru adalah lebih baik bagimu daripada engkau mendengarkan seribu kata sambil berbicara”, kata orang berbaju putih itu membubarkan barisan pertanyaan yang menggumpal di kepalaku. “Sebelum engkau menemukan hakikat kehidupanmu, maka kau harus sadar siapa dirimu. Engkau tidak akan menemukan titik kesejatian hidup jika kau masih menganggap dirimu sebagai dirimu”
“Apa maksud kata-kata Bapak?” tanyaku tak mengerti kata-kata orang berbaju putih itu. Kata-katanya terlalu samar untuk di tangkap maknanya.
“Kita hanyalah ciptaan, bukan pencipta atau penentu sesuatu. Engkau hanyalah manusia lemah dan berasal dari lemah abang[2]. ‘Ada’mu adalah ‘tiada’mu, ‘tiada’mu adalah ‘ada’mu. Sesungguhnya Tuhanmu adalah pemilikmu yang sejati. Dia yang menitip-amanatkan padamu tubuh dan ruh yang sedang bersemayam dalam dirimu.
“Tuan”, kali ini aku memanggilnya dengan sebutan ‘tuan’ karena aku belum mengenalnya, “Saya sering merenung tentang hakikat segala sesuatu yang tergelar di alam ini. Saya yakin semua ini adalah perwujudan dari sebuah kekuatan maha dahsyat yang menjadi pusat dari segalanya. Segalanya berasal dan akan kembali pada-Nya.
“Selama ini saya diajari bagaimana melakukan ibadah-ibadah kepada Gusti Allah sebagai sangkan paran[3] dari segala sesuatu. Atau tentang orang-orang kafir yang mengabaikan ajaran agama akan masuk ke neraka dan orang-orang saleh yang menyembah dan mengikuti peraturan agama akan masuk surga. Saya juga belajar berbagai masalah kehidupan agama yang membawa manusia pada kebahagian hidup sejati yakni bersama orang-orang yang saya anggap bertaqwa kepada Allah. Saya semakin gamang dalam menjalani kehidupan saya.
“Apakah hanya sebatas itu Tuhan mengutus manusia, Tuan? Saya selalu bertanya-tanya pada diri saya sendiri, Gusti Allah yang seperti apa yang saya sembah selama ini? Apakah ibadah-ibadah seperti sembahyang yang saya lakukan selama ini sudah cukup membuktikan perwujudan ketundukan saya pada Gusti Allah?”, tanyaku panjang lebar pada orang berbaju putih itu.
“Kau sudah benar berada di jalanmu, anak muda. Di jalan pencarian tentang hakikat keberadaan dirimu dan Tuhanmu. Itulah fitrah manusia. Ini adalah tentang hakikat dan makna dari lafal innâ li Allâhi wa innâ ilaihi râji’ūn[4]. Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah sebagai asal dari sesuatu. Mengenal Allah berarti mengenal asal kejadian manusia, yang sekaligus menjadi tempat kembalimu di kemudian hari.
Orang itu kemudian membuka buntalan yang ada di sampingnya dan mengambil sesuatu yang kemudian diletakkannya di tanganku. Dia kemudian berkata,”Bawalah ini! Berikan pada orang yang membutuhkannya. Orang yang jujur. Orang itu nanti akan kau temui dalam perjalanan hidupmu.”
Dia memberiku uang lima ratus ribu rupiah. Lantas ku simpan di saku celanaku. Tak lama setelah itu, dia kembali mengemasi barang-barang dan beranjak dari tempat duduknya. Aku mengikuti gerakannya dengan cepat, dengan harapan aku bisa mengikuti kemana ia akan pergi. Namun, ia mencegahku.
”Carilah jalanmu sendiri anak muda! Dan aku akan menempuh jalanku sendiri. Jangan kau lupakan amanatku. Pergilah kemanapun kau suka. Ke arah hatimu ingin melangkah.” kemudian ia pergi dan tiba-tiba lenyap.
”Tunggu! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku masih membutuhkan petuahmu. Tunggu!..”, teriakku sekuat tenaga sambil berlari mencoba menyusulnya, tapi sia-sia. Ia lenyap begitu saja. Aku menangis tersedu di padang ilalang. Seperti seorang yang baru ditinggalkan orang yang dicintainya. Dia memang orang yang aku cintai. Paling tidak untuk saat ini. Ilmunya yang membuatku mencintainya. Kebijaksanaannya yang membuatku mencintainya.
Dan...semua gelap...

~¤~ ~¤~   ~¤~ ~¤~

Ku buka mata perlahan. Teman-teman berada di sampingku. Huda, mas Agus, dan bang Doni.
”Zen, kamu kenapa? Zen...” Huda mencoba membangunkanku dari pembaringan dan menenangkanku. ”Zen, kamu kenapa? Tadi aku dengar kamu nangis. Kau mimpi buruk lagi?” Huda memang sering memperhatikanku setiap kali aku mimpi aneh.
”Iya zen. Aku sampe khawatir ma kamu.”bang Doni menambahkan. Dari raut mukanya tampak cemas.
”Aku tidak bermimpi buruk. Malah justru sebaliknya, mimpiku sangat indah sekali, sehingga aku menangis.”
”Apa yang membuatmu menangis?”
”Aku kehilangan guruku. Setidaknya orang yang memberikan ilmunya kepadaku. Ia tiba-tiba datang, memberiku nasehat-nasehat dan kemudian pergi meninggalkanku. Aku tak tahu siapa dia.”
”Aku pikir seperti mimpi-mimpimu yang aneh selama ini, sejak kau memutuskan untuk mengambil judul skripsi itu. Lha wong Kamu sendiri aneh. Masak Jurusan Filsafat UGM ngambil judul tentang Sufistik. Seharusnya kamu mempelajari ajarannya Aristoteles, Plato, Descartes atau filosof modern kayak Derrida atau Heggel, siapalah. E.. malah Rabi’ah Adawiyah. Nggak nyambung. Kamu itu seharusnya menjadi mahasiswa UIN Sunan kalijaga saja di Ushuluddin. Sana jadi pengikutnya Sunan Kalijaga.” Kata mas Agus dengan nada agak tinggi.
Aku memakluminya. Karena mas Agus sendiri nggak mau lihat aku seperti tersiksa dengan yang ku alami selama ini. Padahal aku sendiri malah bersyukur dengan itu.
”Mas, ini yang selama ini aku tunggu di dalam hidupku. Aku mendapatkan sebuah pencerahan yang belum pernah kudapatkan selama ini. Tak pernah ku dapatkan dalam kuliah-kuliah kosong itu, bahkan dalam pesantren sekalipun, yang hanya mengajarkan padaku tentang ibadah tanpa mengetahui hakikat dari ibadahku sendiri. Aku merasa hampa, Mas. Dan dari situlah aku mulai merasakan pencerahan itu. ”
Alah... pencerahan apa. Tentang shalat yang harus berlandaskan cinta yang nggak  jelas itu? Sudahlah jangan terlalu mengumbar pikiran yang  aneh-aneh. Cukuplah shalat dengan apa adanya. Jangan mempersulit dirimu sendiri. Ibadah itu bukan untuk dikaji, tapi di lakoni. Entah apa yang akan dikatakan abahmu kalau tahu anaknya sudah jadi pencari Tuhan dan pencerahan yang nggak jelas.”
”Gus, jangan kayak gitu dong. Seharusnya kita bersyukur, masih ada orang yang ingin mengkaji Islam dengan lebih baik. Islam itu juga butuh pembaharuan. Bukan hanya perilaku jumud yang ditonjolkan.”bang Doni membelaku.
”Kamu kok malah bela Zaenal sih, Don.”
”Aku nggak belain Zaenal. Cuma kayaknya kamu yang harus memperbarui pikiranmu tentang Islam. Gus jangan terlalu egoistik dengan apa yang kau yakini. Bisa jadi apa yang kau lakukan itu ada kekeliruannya dan gagasan orang lain itu benar.”
”O... jadi selama ini aku salah?  Shalatku juga salah? Puasaku juga salah? Dan semua ibadahku salah? Iya?”mas Agus tampaknya semakin tak bisa mengendalikan diri. Dia sudah terlalu keras mempertahankan idealismenya dan merasa terpojok dengan bantahan-bantahan yang kami tujukan padanya.
”Bukan begitu Gus. Aku tidak menyalahkan shalatmu atau ibadahmu yang lain, tapi...” Belum selesai bang Doni bicara, mas Agus sudah memotongnya.
”Ah... sudah-sudah. Terserah apa yang kalian katakan. Aku Cuma nggak mau kalian semua terjerumus dalam akal yang terkadang menyesatkan.”
”Bagaimanpun Mas Agus memandang apa yang aku alami saat ini, aku akan tetap dalam keyakinanku. Aku juga nggak maksa Mas Agus untuk mengikuti apa yang aku yakini ini. Jadi nggak ada alasan kan untuk melarangku?” Sanggahanku rupanya membuat Mas Agus tidak suka. Dia langsung keluar dari kamarku.
Huda kembali menenangkanku. ”Sudahlah Zen. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti juga tau sendiri. Nanti aku yang akan bicara pada Agus. Dia memang selalu seperti itu. Tidak suka terlalu menyulitkan sesuatu.”
”Iya Zen. Lanjutkan saja penelitianmu itu. Aku sepenuhnya mendukung. Jangan lupa, kalau nanti skripsinya sudah jadi, aku jadi orang pertama yang baca.” kata bang Doni meyakinkanku dengan mantap.
”Baiklah. Sekarang aku mau shalat Dhuhur dulu. Sudah jam setengah dua.”
Mas Doni dan Huda keluar dari kamarku. Aku ingin mencari ketenangan dalam kesendirianku. Mungkin akan lebih berkesan ketika yang kulakukan tak ada tendensi atas apapun dan siapapun. Aku berharap semua yang aku lakukan hanya untuk Tuhanku, Allahku.

~¤~ ~¤~   ~¤~ ~¤~

Dalam shalat dhuhurku kali ini aku melayang kemana lagi. Entah berapa rakaat shalatku. Sepertinya empat rakaat berlalu sangat lama sekali. Aliran udara dari kipas angin di sudut kamar membuaiku dalam kesejukannya. Merangsangku untuk tidur, karena aku memang sangat lelah. Lelah pikiran dan lelah fisik setelah berkelana dalam khayalan atau bahkan dunia lain.
Allâhu akbar…kabîran wal hamdu lillâhi katsiran… Bismillâhirrahmânirrahîm… sirâthalladzîna an’amta alaihim ghairil maghdzūbi alaihim waladhâllîn… Âmîn… kuteruskan membaca surat pendek. Ruku’, berdiri seraya membaca sami’allâhu liman hamidah, kemudian sujud. Kusempurnakan setiap bacaan dalam shalatku. Namun, pikiranku sedang tidak shalat. Dia berkelana ke mana-mana.
Bismillâhirrahmânirrahîm… terlintas dalam pikiranku Rani, teman kuliah filsafat semester lima yang selalu membujukku untuk menerima jadi pacarku. Dia memang cantik, tapi yang aku nggak suka adalah cara berpakaiannya yang agak seronok.
Subhâna rabbiyal adzîmi wa bihamdih… aku membayangkan skripsiku yang belum tuntas. Kemana aku harus mencari bahan-bahan? Rabi’ah benar-benar membuatku harus berpikir ekstra keras.
Sami’allâhu liman hamidah… aku teringat uangku tinggal tiga puluh ribu, rasanya malu kalau harus meminta tambahan kiriman uang dari rumah. Subhâna rabbi al-a’la wabihamdih… Aku lupa menutup meja makan. Sisa sayur dan lauk masih banyak. Aku khawatir kalau ada kucing yang memakannya.  Attahiyyat al-mubârakat ash-shalawât lillâh… suara ayup-sayup lantunan syair-syair Gus Mus masih terdengar dari tape lawasku. Aku tadi lupa mematikannya. Aku juga masih memikirkan orang berbaju putih yang telah mengajarkan ilmu hakikat kepadaku.
Saat aku sedang sujud untuk raka’at terakhir, aku lupa apakah ini sujud kedua atau sujud pertama. Jika ini sujud pertama berarti aku harus melakukan sujud yang kedua. Jika ini sujud yang kedua berarti aku akan melakukan sujud yang ketiga. Aku mengambil langkah paling hati-hati, kemudian aku sujud lagi.
Konsentrasiku buyar. Aku sudah berusaha, tapi pikiranku malah berkelana ke mana-mana. Akhirnya selesai sudah shalatku kali ini. Ku ucapkan salam dan ku putar kembali tasbih seraya membaca kalimat tasbîh.
Subhânallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha illâ Allâhu wa Allahu akbar…
Aku teringat pak Ahmad sudah menawarkan dirinya untuk membantuku dalam mencari bahan-bahan untuk tulisan skripsiku nanti. Oh ya, tadi meja makan sudah ditutup lagi oleh mas Agus sebelum dia mencuci peralatan masak. Jadi aku tak perlu menutupnya lagi. Dalam pikiranku sekarang aku sudah siap untuk memberi jawaban pada Rani. Jika dia mau menungguku menyelesaikan skripsi hingga tuntas, maka aku akan membuka sedikit ruang untuknya mengenal diriku lebih jauh. Karena aku sendiri tidak begitu suka pacaran. Sebenarnya aku juga suka sama dia, tapi ketidaksukaanku melebihi rasa suka itu.

~¤~ ~¤~   ~¤~ ~¤~

Aku tak pernah benar-benar tahu, aku terbuai dalam suasana atau malah setan yang membuatku lalai. Atau aku sendiri yang membuatku lalai? Atau pikiran tentang mas Agus yang membuatku lalai? Atau tentang si Rani yang terus mengejar-ngejar aku yang membuatku aku lalai? Atau Rabi’ah yang membuatku lalai? Atau uang yang sudah mulai menipis yang membuatku lalai? Atau makanan tadi yang membuatku lalai? Atau pikiran tentang Ibu dan Abah di pesantren yang membuatku lalai? Atau Cak Nun dan Gus Mus yang membuatku lalai? Atau pesan-pesan dari orang yang tidak ku kenal dalam mimpi-mimpiku yang membuat aku lalai?

Ampun Gusti...
Ketika titah­-Mu menjadi ritual
Tubuh-Mu seperti larut di bawah jamah kotor tangan dan kakiku

Ketika sifat-sifat-Mu dituliskan tulisan itu memenjarakannya
Dalam kata-kata yang juga dipakai manusia mengungkap
Busuk-Sampah dan sumpah-serapah...

Ketika nama-Mu diucapkan dalam ujaran-ujaran saat orang mengigaukan mimpi basah...
Dan hanya diam saja yang bisa aku lakukan.
Sementara diri-Mu menari di depanku bersama bayangan lunglaiku

Ampun Gusti... Kami terpaksa menggapai Zat-Mu
Di balik rajutan bahasa dan kata-kata yang jahat...
Ampun...
Gusti... bukan harta melimpah yang hamba damba
Tetapi rahmat-Mu yang lebih agung dari segalanya
Tetapi cintaku yang KAU cintai...
Atau kemunafikan yang hamba pelihara saat demi saat
Yang setiap saat menjadi momok dalam mimpi buruk atau indahku

Gusti...Rabbi...Ampun...

Gusti... Engkau di mana?
 Akankah Engkau di sana mendengar hamba?
 Atau engkau telah di sini, di dekat pembaringan ini
dan menikmati keluh-kesahku?

Atau Engkau telah menggelar singgasana-Mu di hatiku?
Ataukah hamba hanya terlalu besar harap?


~¤~ ~¤~   ~¤~ ~¤~


[1]Do’a Abu Bakar Ash-shiddiq.
[2] Tanah liat merah.
[3] Asal mula, sumber, pangkal dan tujuan.
[4] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 156

1 komentar:

Semar ismoyo mengatakan...

Bagus bngt tulisanya,jiwaku seakan membaur dgn isi tulisan dan pengalaman anda