Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun

Written By PRIBADI WICAKSONO
 
Budayawan Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, menggelar orasi budaya bersama kelompoknya, Kyai Kanjeng, dalam mengenang seabad Hamengku Buwono IX di Pergelaran Keraton Yogyakarta, Kamis malam, 12 April 2012.

Dalam orasi tersebut, budayawan yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ bersama komunitas seniman di kawasan Malioboro di masa silam itu kembali membeberkan bagaimana bangunan konsepsi kosmologi Keraton Yogyakarta hingga kini bisa menjadi sentra panutan kebudayaan bagi masyarakatnya.

“Keraton itu bukan sekadar kerajaan, tapi ajaran yang memiliki konsep jelas, ’memayu hayuning bawono’,” kata suami Novia Kolopaking itu. Konsep yang selama ini diartikan sebagai suatu upaya dalam mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia melalui penciptaan keselarasan tatanan hidup antarsesama dan Tuhan.

Keselarasan tatanan yang dibangun Keraton Yogyakarta dicermati Cak Nun terwujud dalam banyak hal sederhana. Misalnya saja dalam pengaturan tata wilayah. Tatanan yang ada tak sekadar dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis yang tampak, tapi juga sarat mempertimbangkan aspek filosofis, khususnya kosmologi semesta, hubungan manusia-alam, manusia, dan Tuhannya.

Ayah dari vokalis band Letto itu mencontohkan, peletakan monumen Tugu Yogyakarta yang berusia tiga abad atau dibangun sekitar setahun setelah Keraton Yogyakarta berdiri. Posisi monumen yang berada di simpang Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro itu mempunyai makna filosofi.

“Itu sebagai pancang dasar sebelum Yogya mulai membangun peradaban,” kata dia. Tugu Yogyakarta berada pada garis linier yang jika ditarik ke utara akan bertemu dengan Gunung Merapi dan selatan ke Laut Selatan. Di tengah garis itu, Keraton Yogyakarta berdiri. Tak hanya itu, penamaan jalan pada garis linier antara monumen Tugu hingga Keraton Yogya pun diungkap Cak Nun sarat makna, meski sekarang telah berganti.

Misalnya saja, dari monumen Tugu hingga rel kereta api Stasiun Tugu, sebelumnya dinamai sebagai Jalan Margo Utomo (sekarang Jalan Mangkubumi). Artinya, dalam hidup, manusia harus paham ‘pagar’ utamanya. Yakni bisa membedakan mana hitam dan putih atau baik-buruk. Lalu jalan dari rel kereta api Tugu hingga Toko Batik Terang Bulan dinamai Jalan Malioboro. Nama Malioboro sendiri, lanjut Cak Nun, berasal dari kata mali (wali) dan ngumboro (menyebar, menjelajah). “Layaknya wali, manusia harus menyebar nilai-nilai kebaikan itu sejauh mungkin,” katanya.

Bergeser ke jalan selanjutnya, yaitu jalan dari Toko Batik Terang Bulan hingga simpang Titik Nol Kilometer sebelum memasuki Alun-alun Utara Keraton Yogya, dinamai Jalan Margo Mulyo (sekarang Jalan Ahmad Yani). “Jika telah melakukan keutamaan hidup dan menyebarkannya, manusia akan mencapai kemuliaannya,” kata Cak Nun.

Penataan wilayah Yogyakarta yang memperhatikan aspek filosofis pun tampak pada beberapa pembangunan, seperti Masjid Kauman di sisi barat alun-alun dan di sisi timur ada penjara. "Jadi jangan membangun apa-apa dulu kalau belum pahami konsep itu, hasilnya pasti rusak,” kata dia.

Keraton, Emha melanjutkan, sebagai sumber ajaran, memiliki perbedaan besar dengan negara kini. Negara, menurut dia, tak lebih membicarakan teknik, bukan konsep. Teknik berpolitik, berekonomi, dan kepentingan manusiawi lain. “Karena teknik, akhirnya yang terjadi pun semrawut. Orang menjadi tak setia karena di atasnya juga begitu, politikus yang ada tak bakal setia, tapi hanya dekat karena butuh,” kata dia.

2 komentar:

Agro Group mengatakan...

artikelipun sae nggih, Masbro. nanging ampun nyerat keraton nggih, ingkang leres karaton punopo kraton.
sukses selalu...

Pangeran Zein mengatakan...

tengkiu, mas bro atas masukannya yang sudah masuk... lain kali, bolehlah masuk lagi...//

sukses selalu....//