Tampilkan postingan dengan label Maiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maiyah. Tampilkan semua postingan

Dari UFO, Manusia Simbol hingga Perahu Nuh

 written by Ladrang Rampak Panuluh

Sesudah selesai pembacaan Al-Qur’an oleh beberapa orang secara bergantian, Macapat Syafa’at 17 Mei 2012 kali ini dilanjutkan dengan penampilan Waluyo atau lebih dikenal dengan panggilan Wuludheng yang menyajikan pertunjukan wayang kulit. Tapi wayang kulit yang disajikan oleh Ki Wuludheng ini berbeda dengan wayang kulit kebanyakan. Ki Wuludheng mengemas wayang kulit menjadi tontonan sedemikian rupa sehingga terasa lebih komunikatif dan “tidak kaku”. Lakon yang dimainkannya berjudul “Jihadul Haq”.


Selain Ki Waludheng, Macapat Syafa’at 17 Mei 2012 juga kedatangan tamu Zuvrich Aldabaran seorang peneliti UFO (Unidentified Flying Object), Exopolitik dan Exoteknologi.

Mengawali acara, Pak Totok mengingatkan bahwa Macapat Syafa’at kali ini bertepatan dengan 14 tahun peristiwa Mei 1998 yang menandai lahirnya masa reformasi di Indonesia. Dalam pengantarnya itu, Pak Totok merefleksikan bahwa ide mengenai “Komite Reformasi” yang salah satu penggagas utamanya adalah CN telah disalahpahami sehingga proses gradasi dan peralihan kekuasaan pasca lengsernya Soeharto berbelok arah. Setelah Soeharto turun, kekuasaan berpindah kepada Habibie yang ketika itu adalah wakil presiden. Dalam penyampaiannya di awal acara, Pak Totok juga menyinggung soal Ikrar Khusnul Khotimah yang dulu pernah ditawarkan oleh CN kepada Pak Harto. Meskipun pada akhirnya, rencana Pak Harto untuk melakukan ikrar khusnul khotimah sebagaimana yang disarankan CN akhirnya batal karena faktor-faktor yang sifatnya politis namun demikian hakekatnya ikrar khusnul khotimah adalah sebuah sitem kontrol yang dilandasi oleh inisiatif setiap orang yang menyadari dirinya sebagai hamba dan bukan sebagai apapun dihadapan Tuhan.

Setelah selesai memberikan sedikit pengantar, Pak Toto meminta KiaiKanjeng untuk membawakan “Shohibu Baiti” sebelum mempersilahkan Sabrang dan Pak Zuvrich berdialog.

“Sebenarnya UFO ini dari mana?” tanya Sabrang pada Pak Zuvrich.

Menurut keterangan Pak Zuvrich, UFO berasal dari planet lain dan mungkin juga galaksi lain yang datang ke bumi untuk mengamati perkembangan manusia. Mereka datang ke bumi sebenarnya ingin mengajak berkomunikasi manusia. Masih menurut Pak Zuvrich, sebenarnya makhluk-makhluk UFO ini telah ribuan tahun mendatangi manusia di bumi. Bahkan makhluk-makhluk ini sempat membuat beberapa “laboratorium” mereka di bumi untuk mendukung perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di bumi.

“Adakah interelasi antara kejadian-kejadian alam dengan keberadaan makhluk-makhluk itu?” tanya Sabrang lagi.

“Ada, bahkan banyak peristiwa-periatiwa aneh di bumi yang terkait dengan makhluk-makhluk ini”, Jawab Pak Zuvrich. Menyambung penjelasan terhadap pertanyaan Sabrang ini, Pak Zuvrich menyebutkan bahwa makhluk-makhluk itu akan membantu manusia untuk penyediaan sumber energi gatis.

“Lalu apa pengaruhnya terhadap kehidupan manusia masa mendatang?” tanya Pak Toto. “Maksudnya mendatang itu ya yang dalam waktu dekat ini. Kalau yang akan terjadi 100 tahun lagi untuk apa ditanyakan, kan kita sudah mati?” seloroh Pak Totok disambut tawa hadirin.

“Dalam waktu 6-8 bulan ke depan, orang akan tumbuh kesadarannya. Ini akan terjadi secara kolektif sehingga manusia akan melakukan perubahan-perubahan besar dalam seluruh sistem kehidupannya”, Pak Zuvrich menjelaskan. “Bank-bank dunia yang saat ini menjadi pusering (pusatnya) monopoli keuangan perekonomian dunia akan hancur”, sambung Pak Zuvrich.

Dipaparkan oleh peneliti UFO dari California Amerika Serikat ini bahwa pada waktu yang tidak lama lagi dari sekarang, manusia akan tumbuh kesadarannya untuk melakukan pembenahan-pembenahan diri. Hal itu disebabkan oleh karena manusia telah bosan dengan sistem ekonomi yang hegemonik.

Beberapa saat setelah Sabrang dan Pak Zuvrich selesai dengan dialog dan pemaparannya, Cak Nun ganti memulai pembicaraan. Bertepatan dengan momentum 14 tahun reformasi Indonesia ini, Cak Nun kembali menguraikan kronologi seputar reformasi Indonesia yang diawali oleh mundurnya Soeharto. “Soeharto mundur bukan oleh tekanan mahasiswa, dia mundur karena takut pada rakyat yang telah marah. Soeharto sangat sakit hatinya setelah mengetahui rakyat telah habis kesabarannya”, kata Cak Nun.

“Tanggal 12 Mei ketika itu saya sedang pengajian di Padhangmbulan. Saya sengaja melakukan istighosah berlama-lama di sana sebab saya tahu esok paginya akan ada kerusuhan. Tanggal 13 Mei aksi penjarahan kemudian tanggal 14 nya aksi massa itu meluas sampai di Solo dan sebagainya. Tanggal 15-16 Mei kerusuhan secara sporadis terjadi di Indonesia, bahkan hingga ada kabar kekuatan ABRI terpecah menjadi 2, yaitu ABRI Merah-Putih dan ABRI Hijau. Tanggal 17 Mei saya memanggil Mas Brotoseno (sekarang komandan SAR DIY). Saya sampaikan kepadanya untuk menggelar “Pisowanan Agung” di Jogja. Kemudian perhelatan itu akhirnya digelar dan rakyat Jogja serta Raja dan seluruh elemen masyrakat Jogja bersepakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban Kota Jogjakarta. Nah, ketika Pisowanan Agung itu berlangsung, saya sedang berada di Jakarta bersama beberapa orang itu yang kemudian ada seorang di Jogja yang menyebut saya sebagai anteknya Soeharto. Itulah kenapa dulu tempat ini (TKIT Alhamdulillah) dan beberapa tempat-tempat yang ditengarai sebagai “milik” saya akan dibakar semuanya.

Pada saat itu Nurcholish Madjid, Utomo Danandjaya, Ali Yafie, Gus Dur dan saya merancang sebuah surat yang meminta Pak Harto mengundurkan diri. Tanggal 18 Mei surat itu dikonsultasikan kemudian tanggal 19 Mei surat itu diberikan kepada Mensesneg ketika itu dan langsung disampaikan kepada Pak Harto. Pak Harto lantas setuju dengan isi surat tersebut kemudian meminta kami untuk ikut mendampingi pengunduruan dirinya”, demikian Cak Nun menguraikan secara detail.

“Besok orang akan banyak omong soal reformasi di TV, tapi jangan berharap apa yang saya katakan ini akan muncul di TV sebab mereka itu adalah para penjual tembung jare (pedagang kabar yang hanya berdasarkan “katanya”). Nah akan terjadi hal yang sama lagi di negara kita dalam waktu yang tidak lama lagi”, jelas Cak Nun.

Pada kesempatan itu Cak Nun juga berpesan agar jangan terlalu kepincut dengan Freedom of Speech (kebebasan berbicara). “Tertariklah untuk menahan diri. Kelakuan terbaik dalam diri manusia adalah menahan diri. Bukan kebebasan yang diutamakan. Tapi mengerti, paham, batasan diri. Belajar dari gigi yang punya batasan untuk evolusi (memuai). Bahwa kewajiban manusia itu bukan kebebasan tapi keterbatasan (tahu batas) atau keber-puasa-an bukan Freedom of Speech, bukan demokrasi tapi berpuasa,” terang Beliau. Menyambung apa yang disampaikan Cak Nun tentang “tahu batas” ini, Sabrang menambahkan bahwa sebagai manusia kita harus selalu memuaikan diri hingga sampai kepada Allah.

Kemudian saat menanggapi seorang jama’ah yang “frustasi” pada demokrasi sehingga berpendapat bahwa demokrasi harus dihancurkan, Cak Nun berpendapat: “jangan menghancurkan demokrasi, tapi anda jangan hancur oleh demokrasi”.

Menyikapi perkembangan terkini dari keadaan bangsa Indonesia, Cak Nun mengingatkan agar kita mengusahakan kebangkitan dan kebangunan diri secara terus menerus sebab karena banyak faktor dan sebab yang mengepung kita dari segala arah sehingga membuat kita kehilangan diri sejati.

“Bidang apa yang anda tidak berkuasa atas diri anda sendiri?,” tanya Cak Nun. “Kesehatan, KTP, sarjana? Kalau anda mau jadi sarjana, apakah anda boleh mendasarkan diri pada keyakinan dan teori yang anda bangun sendiri? Nah. Siapa yang bikin aturan-aturan akademis, aturan kesehatan, mengenai benar-salah dan sebagainya? Soal poltik,soal pendidikan, soal BBM? Benarkah menteri ESDM berkuasa atas BBM? Tentu tidak. Oh, Presiden berarti…., tapi benarkah presiden berkuasa atas BBM? Ah, sepertinya kok tidak juga ya? Lalu siapa? Oke, sebut saja “mereka”, lalu “mereka” itu siapa? Kalau ditelusur terus kita akan ketemu yang namanya mafia BBM. Itulah yang tadi disebut oleh Pak Zuvrich bahwa seluruh sistem penguasaan di dunia ini dikuasai oleh sekelompok kecil yang telah merancang sistem hegemoni itu sejak tahun 1776″, terang Cak Nun.

Menurut Cak Nun, manusia pada masa kita telah sepenuhnya bukan dirinya sendiri karena banyak orang melakukan apapun tidak berdasarkan konsepnya sendiri tapi hanya mampu memilih dari yang telah disediakan oleh “mereka” yang minoritas itu. Dituturkan oleh Sabrang bahwa kelompok minoritas ini hanya terdiri dari 13 keluarga yang salin berkaitan. Anggota-anggota kelompok ini berkomunikasi salah satunya dengan simbol-simbol “geometri sakral”. Sabrang mencontohkan bahwa simbol kepolisian Arab Saudi dilambangkan dengan “mata satu”.

“Kalau kita amati, telah terlalu banyak keadaan di Indonesia ini yang dikuasai oleh Dajjal. Kalau engkau sudah tidak percaya kepada ilmu dan sejarahmu sendiri, kamu akan dibuat tidak percaya dengan agamamu sendiri. Jadi, gejala nilai Dajjal adalah anda dibuat percaya pada penipuan atas simbol-simbol. Bahwa peci dan sorban itu simbol atau tandanya orang alim, bahwa simbol ulama itu pakaiannya harus berjubah dan seterusnya dan seterusnya. Padahal ulama yang baik adalah yang pakaiannya seperti pakaian umatnya yang paling buruk”, sambung Cak Nun.

Pembicaraan MS bulan Mei ini lalu melebar pada diskusi tentang pengidentifikasian watak sebuah bangsa dilihat dari morfologi atau bentuk fisik wilayah negara yang bersangkutan. Mengambil contoh Italia yang kalau diperhatikan negara itu berbentuk seperti orang sedang menyepak bola maka memang akhirnya Italia juga menjadi salah satu pusatnya industri sepak bola dunia. Kemudian Papua yang merupakan wilayah yang banyak memiliki spesies burung pada kenyataannya pulau itu berbentuk seperti burung. Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Kalau kita perhatikan, kepulauan Indonesia itu berbentuk seperti perahu. Kalimantan layarnya, pulau Jawa “dek” nya, yang ditengah-tengah dek itu ada tumpengnya, yakni Merapi. Lantas kira-kira seperti apa analisis karakteristik atas bentuk Indonesia ini?

“Maka yang nanti akan jadi perahu Nuh setelah perang dunia III adalah Indonesia. Itulah yang disebut wong Jowo kari separo, cino londo kari sak jodho (orang Jawa tinggal setengah/separuh, Cina dan Barat tinggal sepasang)”, Cak Nun menjelaskan.

Selanjutnya, pada bagian akhir acara Cak Nun mengajak hadirin untuk berdoa agar Merapi membagi tumpeng kesejahteraan karena kalau ledakan Merapi terjadi lagi, abunya akan menyebar kemana-mana dan bersenyawa dengan zat-zat lain sehingga menimbulkan efek yang sangat berbahaya. Cak Nun juga mengingatkan hadirin bahwa jika peristiwa dan kejadian ini terjadi maka seperti kata Nabi, “Tutuplah rumahmu rapat-rapat dan sediakan makanan awet yang banyak”.

“Saya ingin anda semua kembali kepada kesadaran serta terhadap harapan-harapan dan kepastian-kepastian. Dan untuk itu saya mengingatkan saudara-saudara semua untuk selalu menempel kepada Allah terus-menerus. Kemudian terhadap semua yang disampaikan Pak Zuvrich tadi marilah kita bersyukur terhadapnya sebab kalau benar akan ada perubahan besar berarti kita akan mengalami “qiyamah” atau kebangkitan kemanusiaan. Sementara terhadap segala hal yang tadi disampaikan oleh Sabrang, marilah kita selalu berdoa dan berhati-hati serta waspada terhadap apa saja yang kita lakukan, apa saja yang kita perbuat dan apa saja yang kita alami,” nasihat Cak Nun di penghujung acara.

Tidak berapa lama kemudian, acara Macapat Syafa’at 17 Mei 2012 malam itu disempurnakan paripurnanya dengan lantunan Shohibu Baiti.

Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun

Written By PRIBADI WICAKSONO
 
Budayawan Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, menggelar orasi budaya bersama kelompoknya, Kyai Kanjeng, dalam mengenang seabad Hamengku Buwono IX di Pergelaran Keraton Yogyakarta, Kamis malam, 12 April 2012.

Dalam orasi tersebut, budayawan yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ bersama komunitas seniman di kawasan Malioboro di masa silam itu kembali membeberkan bagaimana bangunan konsepsi kosmologi Keraton Yogyakarta hingga kini bisa menjadi sentra panutan kebudayaan bagi masyarakatnya.

“Keraton itu bukan sekadar kerajaan, tapi ajaran yang memiliki konsep jelas, ’memayu hayuning bawono’,” kata suami Novia Kolopaking itu. Konsep yang selama ini diartikan sebagai suatu upaya dalam mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia melalui penciptaan keselarasan tatanan hidup antarsesama dan Tuhan.

Keselarasan tatanan yang dibangun Keraton Yogyakarta dicermati Cak Nun terwujud dalam banyak hal sederhana. Misalnya saja dalam pengaturan tata wilayah. Tatanan yang ada tak sekadar dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis yang tampak, tapi juga sarat mempertimbangkan aspek filosofis, khususnya kosmologi semesta, hubungan manusia-alam, manusia, dan Tuhannya.

Ayah dari vokalis band Letto itu mencontohkan, peletakan monumen Tugu Yogyakarta yang berusia tiga abad atau dibangun sekitar setahun setelah Keraton Yogyakarta berdiri. Posisi monumen yang berada di simpang Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro itu mempunyai makna filosofi.

“Itu sebagai pancang dasar sebelum Yogya mulai membangun peradaban,” kata dia. Tugu Yogyakarta berada pada garis linier yang jika ditarik ke utara akan bertemu dengan Gunung Merapi dan selatan ke Laut Selatan. Di tengah garis itu, Keraton Yogyakarta berdiri. Tak hanya itu, penamaan jalan pada garis linier antara monumen Tugu hingga Keraton Yogya pun diungkap Cak Nun sarat makna, meski sekarang telah berganti.

Misalnya saja, dari monumen Tugu hingga rel kereta api Stasiun Tugu, sebelumnya dinamai sebagai Jalan Margo Utomo (sekarang Jalan Mangkubumi). Artinya, dalam hidup, manusia harus paham ‘pagar’ utamanya. Yakni bisa membedakan mana hitam dan putih atau baik-buruk. Lalu jalan dari rel kereta api Tugu hingga Toko Batik Terang Bulan dinamai Jalan Malioboro. Nama Malioboro sendiri, lanjut Cak Nun, berasal dari kata mali (wali) dan ngumboro (menyebar, menjelajah). “Layaknya wali, manusia harus menyebar nilai-nilai kebaikan itu sejauh mungkin,” katanya.

Bergeser ke jalan selanjutnya, yaitu jalan dari Toko Batik Terang Bulan hingga simpang Titik Nol Kilometer sebelum memasuki Alun-alun Utara Keraton Yogya, dinamai Jalan Margo Mulyo (sekarang Jalan Ahmad Yani). “Jika telah melakukan keutamaan hidup dan menyebarkannya, manusia akan mencapai kemuliaannya,” kata Cak Nun.

Penataan wilayah Yogyakarta yang memperhatikan aspek filosofis pun tampak pada beberapa pembangunan, seperti Masjid Kauman di sisi barat alun-alun dan di sisi timur ada penjara. "Jadi jangan membangun apa-apa dulu kalau belum pahami konsep itu, hasilnya pasti rusak,” kata dia.

Keraton, Emha melanjutkan, sebagai sumber ajaran, memiliki perbedaan besar dengan negara kini. Negara, menurut dia, tak lebih membicarakan teknik, bukan konsep. Teknik berpolitik, berekonomi, dan kepentingan manusiawi lain. “Karena teknik, akhirnya yang terjadi pun semrawut. Orang menjadi tak setia karena di atasnya juga begitu, politikus yang ada tak bakal setia, tapi hanya dekat karena butuh,” kata dia.

Membentuk Kultur Kenabian Dalam Masa Kontemporer

Caknun memulai SARASEHAN BUDAYA di FH UII, Jalan Tamansiswa























Written by Ladrang Rampak Panuluh


Jum’at malam 30 Maret 2012 lalu digelar Sarasehan Budaya di Pelataran Parkir Timur Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Acara malam itu menghadirkan Cak Nun, Pak Busyro Muqaddas serta beberapa pejabat struktural dari universitas bersangkutan. Tema yang diambil yaitu “Membentuk Kultur Kenabian dalam Masa Kontemporer”.



Acara inti dibuka oleh KiaiKanjeng dengan medley Nusantara. Ada tembang Pangkur: mingkar-mingkuring angkoro, akarono karenan mardi siwi, ada lagunya almarhum Gombloh kemudian disambung dengan stanza ke-2 dan ke-3 lagu Indonesia Raya yang sekarang jarang kita dengar itu.

“Gombloh tidak pernah berpikir tentang profesinya. Ia tidak peduli dengan hidup dan kariernya sehingga ketika dia mendapat penghasilan dari lagu-lagunya dulu, ia membelanjakannya untuk orang banyak. Suatu hari, ia membeli BH sangat banyak yang ia angkut dalam sebuah becak. Kemudian BH itu ia bagi-bagikan kepada para perempuan di obyek wisata Dolly”, urai Cak Nun mengawali acara malam itu.


Mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya, Cak Nun agak menyesalkan mengapa bukan stanza ke-2 dan ke-3 yang dipilih untuk sesering mungkin kita lagukan/nyanyikan padahal menurut Cak Nun, stanza ke-2 dan ke-3 itu lebih sastrawi dan lebih indah. “Coba kita perhatikan lagu Indonesia Raya yang sering dinyanyikan itu”, kata Cak Nun. “Bahwa kejadian yang sekarang sedang menimpa bangsa kita sekarang ini adalah bukti terkabulnya doa yang secara rutin kita lantunkan melalui lagu Indonesia Raya itu”, kata Cak Nun.

 “Makanya jangan heran kalau banyak peristiwa selalu diakhiri dengan perTUMPAHan DARAH, wong Indonesia tumpah darahku, kok terus ada syair disanalah aku berdiri, ini bagaimana? Berarti kita not real part of Indonesia, dong? “tanya Cak Nun.

Demikianlah beberapa bagian dari prakata Cak Nun mengawali pembicaraan malam itu. Lalu Cak Nun menyampaikan kepada para hadirin bahwa ide tema malam itu dicetuskan oleh Pak Bustro Muqaddas. “Profetik itu kenabian, jadi kalau ngomong profetik berarti ngomong soal nabi, kalau ngomong soal nabi artinya akan bicara mengenai Tuhan. Dari sini kita lantas akan melakukan mapping, kalau nubuwwah itu skalanya sampai dimana? Soalnya hal itu masih teramat luas”, jelas Cak Nun.

Sebagai koridor pembicaraan malam itu, Cak Nun melanjutkannya dengan memaparkan stratifikasi/maqom dari sebuah kedudukan. Ada Risalah, yang membawanya disebut Rosul, kemudian ada Nubuwwah (dari kata Nabaa’ = berita/informasi) yang dibawa oleh Nabi, lalu ada Walayah (Wali), kemudian baru Khilafah.

Cak Nun menjelaskan, “Kalau Rosul itu memiliki kekuatan hukum dari Tuhan, sehingga ada banyak Nabi tapi hanya beberapa yang diangkat sebagai Rosul. Sedangkan Nabi adalah sebuah padatan potensi yang mengaktual melalui kekuatan budaya dan informasi. Kalau wali secara etimologis berasal dari kata walayah yang artinya kedudukan yang tinggi. Kemudian, khilafah itu bermakna pergantian yang dalam tataran praktisnya dimaknai sebagai pemerintahan.

Menyambung pembicaraan ini, Cak Nun mengambil analogi dari tata ruang di keraton Yogyakarta. “Kalau Anda perhatikan, jalan yang Anda lalui, kalau berjalan dari Stasiun Tugu hingga ke Keraton Ngayogyakarta itu namanaya Jalan Margo Utomo ( Margo = jalan, Utomo = keutamaan). Urut-urutannya begini, dari Stasiun Tugu hingga Toko Terang Bulan itu namanya Malioboro. Kalau kita cermati dari ilmu bahasa, Malioboro itu gabungan dari kata “wali”, Malio itu bermakna suatu perintah/anjuran “menjadi/jadilah Wali”, sedangkan “boro” itu artinya mengembara. Pada awalnya Anda harus berlaku sebagai wali dan mengembara kemana-mana agar mampu melihat banyak peristiwa yang dari padanya Anda akan mengambil hikmah. Kemudian setelah melalui Malioboro Anda berjalan dari Toko Terang Bulan ke Kantor Pos melewati Jalan Margo Mulyo (jalan yang mulia/jalan kemuliaan), baru setelah itu Anda menuju ke alun-alun melewati Jalan Pangurahan (kurah-kurah = bersih-bersih) yaitu Anda harus melakukan thaharah dalam berbagai dimensinya: thoharoh sosial, thoharoh ntelektual, thoharoh spiritual, dan seterusnya. Anda harus membuang segala sesuatu yang telah susah-susah Anda cari tapi ternyata tidak bisa dibawa. Nah kalau sudah demikian, Anda memasuki istana itu Anda sudah tidak bersifat dunia”, demikian terang Cak Nun.

Dalam hubungannya dengan Hukum Profetik ini, Cak Nun menandaskan bahwa Hukum Profetik itu ide moral bukan ide hukum karena orang sekarang lebih percaya pada manusia daripada kepada Tuhan sehingga Hukum Profetik tidak mungkin bisa menjadi perhitungan hukum negara. Orang berani dan sangat pandai mendiskusikan/menggugat sebuah nilai kebenaran tapi tidakberani menggugat demokrasi. Manusia berani — bahkan — menggugat nabi tapi tetap tidak berani menggugat demokrasi. “Kita tidak bisa memperbaiki Indonesia dengan hukum (yang sekarang ada), sebab justru hukum itulah yang merusak dirimu,” papar Cak Nun.

Selanjutnya Cak Nun melanjutkan, “Maka jangan khawatir dengan semua kejadian yang sedang berlangsung sekarang ini karena Anda lebih besar dari itu semua. Ambil cara berfikir dialektis, misalnya, kehidupan itu cembung-cekung, kan? Saya tanya, Anda ini bagian dari Indonesia atau Indonesia bagian dari diri Anda?Iini artinya secara administratif, yang oleh konsep tentang kekuasaan, ekonomi, politik dan sebagainya Anda ini bagian dari Indonesia tapi secara substansial Indonesia adalah bagian dari diri Anda karena begitu banyak soal dari diri Anda yang tidak terkait dengan negara. Jadi tidak akan dihitung berapa banyak amalmu tapi bagaimana kesungguhan amalmu maka hukum profetik itu harus kita temukan.”

Apa yang sekarang Anda kejar-kejar ini sesungguhnya adalah sorganya dajjal, yang dimulai dari Israel — Amerika — Bank Dunia dan seterusnya. Anda sedang dikuasai dan dipaksa untuk kehilangan diri oleh sebuah sistem sedemikian rupa yang seringkali tidak kita sadari. Maka kepada para hadirin yang mayoritas para mahasiswa itu, Cak Nun berpesan agar di samping belajar hukum formal, mereka harus belajar untuk meneliti dari mana asal-usul hukum itu. Kebingungan-kebingungan kita hari ini boleh jadi dimulai ketika ideologi kapitalisme, liberalism, dan sebagaianya itu menghadirkan mitologi nilai yang membuat kita salah memahami berbagai macam persoalan.

Pada sesi selanjutnya Cak Nun mempersilakan Pak Busyro Muqoddas untuk berbicara.


 “Menghadapkan antara kenabian dan kontemporer itu seperti menghadapkan antara madu dan racun”, kata Pak Busyro mengawali uraiannya. Menurut salah satu ketua KPK ini, sekarang telah terjadi proses dehumanisasi, yakni ketika manusia tidak diletakkan pada fitrahnya. Dehumanisasi manusia di Indonesia memperlakukan manusia sebagai mesin, yaitu mesin untuk melakukan pembangunan yang hanya berkonsentrasi pada aspek lahiriahnya saja. Pembangunan yang sedang dilakukan tidak bertujuan untuk meletakkan manusia sebagai fitrahnya. Pernyataan Pak Busyro diikuti oleh penjelasan beliau bahwa unsur yang ada pada manusia itu ada tiga: rasa, cipta dan karsa.

“Menurut informasi yang saya baca kemarin, disebutkan bahwa karya penelitian para akademisi dan mahasiswa Indonesia itu minim dan sangat rendah, masih lebih rendah dari Philipina, Brunei, atau Singapura. Tetapi berdasarkan hasil riset yang saya baca itu disebutkan bahwa Indonesia adalah negara nomer satu dalam urusan membangun mall,” kata Pak Busyro.

“Kapitalisme itu mengajari kita untuk jadi hedonis,” sambung Pak Busyro. Maka konflik BBM yang sedang terjadi ini adalah pintu awal bagi masuknya dominasi asing terhadap penguasaan dan distribusi BBM di Indonesia. Setelah mengemukakan beberapa contoh kapitalisme di Indonesia dari banyaknya produk kukum yang membuka peluang besar terhadap masuknya modal asing disebagian besar kegiatan usaha di Indonesia (bahkan kata Pak Busyro, usaha spa dan panti pijat di Jakarta juga sudah dibuat UU modal asingnya yang diteken oleh Presiden), Pak Busyro menandaskan bahwa hukum sekarang ini disusun untuk memfasilitasi asing. Inilah yang disebut kapitalistik.
Pak BUSYO membeberkan beberapa kasus KORUPSI di Indonesia

 Maka Pak Busyro mencetuskan ide Hukum Profetik yang menurut beliau adalah hukum yang isinya nilai-nilai kualitas akhlak, yaitu akhlak sebagaimana yang dibawa Nabi Muhammad. “Nomor satu kita harus membangun keutamaan akhlak, baru kemudian kualitas akhlak sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad inilah yang akan melandasi pembuatan hukum. Kesadaran profetik bisa dimulai dari aktivitas intelektual yang diiringi oleh kegiatan “bertebaran dimuka bumi” sehingga bisa menyerap banyak hal. Di samping itu kesadaran profetik juga dipersyarati oleh aktivitas kontemplasi, bukan hanya berkutat pada teks-teks saja,” lanjut pak Busyro.

Selesai Pak Busyro memaparkan gagasan-gagasannya, Cak Nun melanjutkan kembali sarasehan malam itu. “Mendengarkan semua tentang kebobrokan dan ketidakberesan Indonesia yang dipaparkan oleh Pak Busyro ini, kita jangan sampai salah perspektif dan salah kuda-kuda ataupun salah dalam cara pandang agar pikiran Anda tidak “ngenes” (menderita) semakin berat. Kalau saya menganalogikan Indonesia itu sebagai kebun perdu yang didalamnya banyak buah-buahan, maka yang kita alami dengan kebun itu mengandung 3 kemungkinan:

  • Kita menyerahkan kebun penuh buah itu kepada para monyet
  • Kita salah memilih penjaga kebun
  • Kita sendiri yang — memang — salah konsep tentang kebun sendiri.

Jadi sebenarnya salah kalau kita menyebut para koruptor itu dengan sebutan tikus sebab tikus itu kan bukan bagian dari rumah. Keberadaan tikus itu underground karena ia melakukan aktivitas pencurian, sedangkan apa yang kita lihat di Indonesia sekarang ini? Apakah yang melakukan korupsi itu bukan bagian dari “keluarga” Indonesia? Lalu kenapa Anda menyebutnya tikus? Anjing saja tidak pernah mau mengambil selain dari yang diberikan kepadanya kan? Nah, kamu sudah tidak kenal dirimu sehingga tidak kenal Tuhanmu dan akhirnya kamu tidak akan sampai pada Nubuwwah“, Cak Nun menguraikan.

Menurut Cak Nun, tidak fair menuntut rakyat Indonesia menemukan pemimpin yang baik karena memang kita tidak dididik untuk melakukan hal-hal dan mendapatkan informasi yang obyektif dan ilmiah. Jadi menurut Cak Nun, ini semua memang harus dijalani karena yang akan sampai pada pertolongan Tuhan adalah niat baik yang kita punya, bukan kepandaian kita.

Dalam soal kepemimpinan, Cak Nun menjelaskan bahwa selayaknya manusia itu mesti memahami dulu tahap demi tahap evolusi intelektual dan spiritual yang terjadi padanya agar menguasai ilmu untuk mengelola kepemimpinan di tengah-tengah masyrakat.

Terlebih dahulu seseorang harus berkapasitas sebagai Ulin Nuha, yaitu orang yang memiliki potensi kecerdasan akal yang mencegahnya untuk tidak berbuat buruk, kemudian setelah itu manusia masuk pada skala Ulil Abshar, yaitu seseorang yang mempunyai kecerdasan berupa kekuatan pandangan hati (Bashira > Abshar), lalu setelah itu masuk ke tingkat Ulil Albaab, yakni orang yang telah sampai pada kesadaran spiritual sehingga mempunyai kecerdasan yang paripurna. (Al Baab > Lubb, kecerdasan jiwa). Setelah seseorang telah melewati fase ini, ia baru punya kemungkinan untuk mengaktual menjadi Ulil Amri (pemimpin).

Cak Dikin dan KIAI KANJENG berkolaborasi
“Lalu tugasmu apa?,” tanya Cak Nun pada hadirin. “Bikinlah pribadimu sebagai organisme Muhammad”, ditegaskan oleh Cak Nun kemudian. “Hidup itu meneliti sebab kalau Anda meneliti Anda akan menemukan dirimu. Dari sini kita akan tahu siapa yang disebut “lebih rendah dari binatang” itu, yaitu yang punya mata tapi tidak digunakan untuk melihat, yang punya hati tapi tidak merasa, yang punya telinga tapi enggan mendengar dan yang punya jiwa tapi tidak membangunkan kesadaran. Maka dalam proses melakukan penelitian dan berpikir tersebut, ingat juga sebuah peringatan dari Allah yaitu Apa kamu pikir Aku menciptakan segala sesuatu itu sia-sia?”

Pada bagian akhir pak Busyo mengemukakan bahwa kegiatan yang selama ini dilakoni oleh Cak Nun dan kelompok Kiai Kanjeng ini bukalah sekadar misi kebudayaan tetapi merupakan misi peradaban. Pada kesempatan itu Pak Busro mendoakan agar Cak Nun diberi anugerah kesehatan dan kesejahteraan lahir dan batin agar tetap melakukan segala hal bagi kebaikan banyak orang.

Busro, Caknun, PR3, Dekan FH
Menjelang purna sarasehan malam itu, KiaiKanjeng melantunkan lagu Letto Sebelum Cahaya dan kemudian ditutup oleh Cak Nun dengan Sholawat dan doa bersama.












Urip Kudu Tenanan


Written by Sanasatri Wilonoyudho

Ada satu pengalaman berharga yang saya petik pasca-menyaksikan persiapan pementasan Nabi Darurat dan Rasul Ad-Hoc (NDRA) di Semarang 25 Maret lalu. Pengalaman itu ialah bahwa rumus baku untuk mendapatkan barokah dari Allah adalah bahwa amal perbuatan itu yang penting harus dilakukan dengan serius dan dalam bahasa Jawa disebut “tenanan”. Urip kudu tenanan (hidup harus serius). Serius bukan berarti tegang dan penuh tekanan, namun serius mengandung arti bahwa segala sesuatunya harus jelas arah dan tujuannya, dan semua itu ditujukan hanya kepada Allah dan bukan yang lain (ilaihi roji’un).


Saya sudah pernah menyaksikan shooting film, (sebut misalnya) Sisa-sisa Laskar Pajang yang dibintangi Bambang Hermanto cs pada 1974 di desa saya di Jatinom Klaten. Demikian pula saya juga sudah pernah menyaksikan persiapan pentas drama di kampus, saya sudah pernah melihat shooting sinetron di TV swasta, dst, namun ketika menyaksikan persiapan NDRA, ada pengalaman “religius” yang tak terkira dan ini lain dari yang lain. Dalam dunia sinetron misalnya, tampak jelas bahwa cerita dan alurnya sangat tidak masuk akal, dan para pemain tidak dituntut untuk acting secara serius, namun yang penting punya wajah tampan dan cantik, mau mengikuti skenario meski harus berpelukan dengan bukan muhrimnya atau buka aurat, dan yang penting pula harus bisa menangis. Rumus sinetron adalah: buatlah penonton gemas dan penasaran untuk melihat tayangan berikutnya. Ceritanya tak perlu rumit, cukup hanya berkutat kepada orang yang sangat baik sekali, dan sangat jahat sekali. Sehari shooting, bisa dibuat beberapa episode, dan bahkan jika aktor utama berhalangan (misalnya), detik itu juga alur cerita dapat diubah segera!

Tentu saja bagi mereka yang penting adalah “rating”. Kejar tayang menjadi rumus utama. Perkara yang menonton akhirnya jadi bloon, cengeng, tidak rasional, konsumtif, bahkan meniru gaya-gaya para bintangnya, dst, itu bukan urusannya. Yang penting keuntungan miliaran rupiah masuk ke kantong produser, TV yang bersangkutan, artis, dan pengusaha yang memasang iklan. Logika mereka adalah logika industri, sehingga tidak percaya kepada keseriusan kepada Allah (bahkan kalau perlu harus kontra terhadap nilai-nilai Allah), dan karenanya yang ditampilkan bukan keindahan nilai atau moral, namun keindahan bentuk tubuh dan aneka kemewahan lainnya.

Berbeda dengan NDRA. Saya yang awam dalam pementasan teater “serius” seperti ini hanya bisa bengong menyaksikan persiapan mereka yang sangat detail. Saya kira kalau sudah tiga kali pentas di berbagai tempat, para pemain tinggal menjaga stamina dan menjaga hafalan dialog saja. Dugaan saya ternyata meleset. Mereka tetap saja rajin melakukan “gladi bersih”, dibuat persis seperti pementasan sesungguhnya, dengan dialog dan acting serius yang meliputi: gerak, bagaimana mengatur jarak dengan penonton, jarak antar pemain, posisi masing-masing, diksi, intonasi, kejelasan pengucapan suku kata, panjang pendeknya kalimat, dst. Yang mengejutkan, “bintang film”-nya rata-rata sudah berusia di atas 50-an tahun. Namun hebatnya kualitas vokal, gerak, dan staminanya sangat prima. Yang lebih dahsyat lagi adalah kemampuan menghafal dialog panjangnya! Saya saja yang masih di bawah 50 tahun, jangankan menghafal dialog Ruwat Sengkolo, untuk menghafal daftar belanja di toko saja sering lupa, sementara mereka begitu prima. Jelas dialog Ruwat Sengkolo yang “omong” adalah Allah sendiri. Tokoh Ruwat hanyalah “media”-Nya.

Kalau dialog itu hanya “ngepop”, atau berisi kata dan kalimat dalam bahasa sehari-hari, saya tidak terlalu kagum. Namun ini adalah dialog yang tidak sembarangan karena yang diucapkan adalah kalimat dari Allah. Saya baru sadar bahwa dialog itu ternyata diambil 100% dari Quran. Ternyata penulis skenario dan sutradaranya itu Allah, dan Emha Ainun Nadjib itu ternyata tak lebih hanya sebagai pekerja-Nya, paling pol tukang ketik kalimat-Nya.

Bagaimana mungkin tokoh Ruwat Sengkolo yang sudah di atas 50-an tahun mampu menghafal sepanjang itu kalimat Allah tanpa salah sedikit pun, bahkan terjaga intonasinya dengan baik dan jelas? Setelah saya merenung ternyata kunci kehebatan mereka adalah hanya satu rumus: serius, cinta, dan ikhlas. Bagaimana tidak cinta dan tidak ikhlas kalau pementasan ini keluar dari mainstream logika industri teater modern? Para sutradara dan para pemainnya, semuanya tanpa bayaran dari manusia. Mereka rela berpayah-payah latihan sepanjang hari, siang malam, bahkan tidur di sembarang tempat tanpa memperdulikan “wibawa” lagi. Ini semua terjadi karena mereka sadar betul bahwa dirinya merasa hanyalah pekerja-Nya, sehingga mereka yakin bahwa bayarannya juga langsung dari “kas-Nya”.

Urip kudu tenanan, hidup harus bersungguh-sungguh, demikian kira-kira inti utama pelajaran yang dapat dipetik dari pementasan NDRA ini. Saya sepakat dengan Cak Nun, bahwa yang dipertimbangkan Allah sebagai titik fokus hisab amalan manusia adalah bukan banyaknya amalan, namun seberapa serius amalan itu dikerjakan. Sederhana saja, jika banyaknya amalan yang jadi ukuran, tentu Allah dianggap tidak adil oleh kaum miskin. Bagaimana kaum miskin akan banyak beramal (apalagi berzakat dan berhaji) kalau untuk sekadar makan sehari-hari saja susah? Bagaimana akan puasa lebih khusyuk kalau jam 2 sampai jam 3 siang di terik sinar matahari ternyata mendapat “godaan” berupa tawaran tarikan mbecak?

Jelas bahwa kesungguhan dalam beramal itu yang menjadi tolok ukur Allah ketika meng-hisab manusia di hari akhir nanti. Karenanya dapat dipahami kalau pementasan NDRA sukses dalam arti sebenarnya. Lihat saja tidak dapat dibayangkan sejak semula jika penonton yang ada di UNNES, yang boleh dibilang bukan kelompok gila seni, namun toh dari 1.500 lembar tiket yang disediakan panitia ludes terjual bahkan penonton yang tak kebagian tiket terus minta masuk hingga Gedung FIK penuh sesak. Bagaimana mungkin tidak ada pertolongan dan campur tangan Allah terkait kesuksesan ini, padahal NDRA ini dibuat keluar dari “pakem-industri”. Tidak ada pemain wanita yang cantik, tidak ada kostum yang aneh-aneh dan serba gemerlap, tidak ada artis bintang yang sedang ngetop di jagad dunia hiburan tanah air, bahkan letak gedung FIK itu sendiri “tersembunyi” dari keriuhan Kota Semarang. Gedung itu “sulit” dideteksi keberadaannya karena berada 15 km dari pusat kota (Simpang Lima), dan masuk ke pelosok “gunung” tanpa rambu-tambu yang jelas, namun toh penonton dengan dipandu “RADAR” Allah tetap dapat menemukannya.

Dengan kata lain, NDRA itu dibuat dengan tenanan, dan penonton juga tenanan, apalagi Allah. Firman Allah mengatakan, “apa kamu kira AKU menciptakan kamu untuk main-main belaka?” Jelas bahwa NDRA bukan tontonan, karena naskah NDRA ditulis oleh Allah. Wajar jika setelah pementasan usai, penonton tetap tegak berdiri di tempatnya, seolah tidak mau meninggalkan panggung, dan tampak masih mengais-ngais, tingak-tinguk (Bahasa Jawa) seakan mencari sesuatu. Semakin jelas NDRA sedang “mementaskan” rahasia rohani Quran yang sampai saat ini jarang ditemukan, bahkan oleh orang-orang yang sering disebut ustadz atau kiai, apalagi ustadz jadi-jadian yang hanya berpikir kapitalistis belaka. Dari sisi kebudayaan, NDRA juga mengajak umat untuk menggali lebih dalam, betapa luasnya samudera ajaran-Nya. Umat dapat mengidentifikasi lagi Islam sebagai nilai-nilai kebudayaan, Islam sebagai filsafat kebudayaan, Islam sebagai sistem kebudayaan, dst.

Al-Quran selama ini hanya banyak diperlakukan sekadar sebagai bacaan, dan lebih jauh lagi hanya dilombakan, dan yang lebih gila lagi sering dimanipulasi untuk kepentingan masing-masing. Lewat NDRA orang barangkali akan semakin matang bahwa rahasia rohani Al-Quran amat luas dan dalam, dan ini akan memberi kunci hidup bagi mereka yang mau membaca dan mengamalkannya. Lewat NDRA manusia akan paham bahwa Islam yang sejati adalah Islam-nya Muhammad. Masyarakat muslim khususnya saat ini banyak yang terkecoh justru karena pagar-pagar yang mereka ciptakan sendiri, sehingga aspek kelembagaan yang mestinya hanya sebuah metode, justru disembahnya dan mengurung jiwanya seperti yang digambarkan Ruwat Sengkolo. Akibatnya Islam menjadi sempit dan jumud karena ditutupi — justru — oleh pengikutnya sendiri. Umat Islam banyak yang terkurung dalam sangkar Ruwat Sengkolo, hingga keyakinan, keimanan, kreativitas hidup dan cara berpikirnya justru makin menjauh dari ketauhidan. Allah menjadi elemen sekunder bahkan tersier atau kwarter, ketlingsut (Bahasa Jawa) di sela-sela kejumudan kita sendiri.

Allah bukan lagi menjadi pusat nilai, dan apa yang kita lakukan akhirnya keluar dari garis-Nya dan tidak menuju kepada-Nya. Karenanya bagi yang anti-Islam, amat mudah untuk mencitrakan bahwa agama ini bengis, terbelakang, dan fanatik buta. Pementasan NDRA diharapkan mampu mengembalikan lagi pusat tujuan hidup itu. Umat Islam tidak boleh terjebak ke dalam kedirian, eksistensinya, namun harus menuju tauhid. Di awal sudah dikatakan, bahwa Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia. Mereka adalah ahsani taqwim, namun boleh jadi akan dikembalikan menjadi asfala safilin. Jangankan menuju “langit ketujuh”, bahkan yang sering terjadi, justru kita jatuh ke tingkat yang paling rendah, bahkan di bawah binatang. Manusia memiliki nafsu serakah dan itu yang akhirnya menghancurkannya, sementara binatang hanya mau makan secukupnya, serta mampu menjaga kesetiaannya.

Karena Allah tidak main-main ketika menciptakan kita, maka tugas kita juga harus membalas cinta-Nya. Jalan yang harus ditempuh meski panjang, sebenarnya cukup sederhana. Langkah awal tentu umat Islam mesti mampu membebaskan dirinya dalam kungkungan “Ruwat Sengkolo” yang hanya berkutat pada formalisme syariat, namun sudah harus menukik ke hakikat kebenaran dan kesungguhan. Cara pikir kita pada umumnya masih kapitalistis dalam jual beli dengan Allah. Konsep pahala-dosa dan surga-neraka masih menjadi acuan utama, itu pun dalam pengertian sempit. Sialnya kita sering berganti wajah, ketika di masjid dan di sidang pengajian wajah kita teduh, namun keluar dari situ dan kembali ke kantor, kampus, lokasi proyek, dst, wajah kita juga lain. Ini semua akibat dari kealpaan dan ketidakcerdasan sehingga sumber dan sistem nilai (kefilsafatan) Islam tak mampu pula tergali dengan baik. Padahal itulah sumber untuk landasan amal perbuatan dalam menyikapi dan menghadapi tantangan berbagai bidang kehidupan, entah di bidang penalaran ilmiah, perdagangan, ekonomi, politik, termasuk dalam pasar jual beli dengan Allah.

Lewat NDRA hendak dicerahkan bahwa ada yang lebih hakiki daripada menyembah sangkar formalisme sempit. Islam adalah jalan komplet untuk menuju persemayaman di pelukan Allah (qiyam’indallah) serta menyempurnakan perilaku dan moralitas (utammima makarimal akhlaq). Bukankah Rasulullah Muhammad mengatakan, “Aku tidak ditutus Allah kecuali untuk menyempurnakan akhlaq manusia”? Jika akhlaq sudah bersemayam, dan itu dilakukan dengan kesungguhan, maka hukum-hukum tertulis sebagai disinyalir dalam “Panca-Keganjilan” oleh Ruwat Sengkolo, akan tidak ada artinya. Dalam permainan Catur (hukum), ada jutaan kemungkinan persilangan antar pasal hukum, padahal jumlah umat manusia (khususnya di negeri ini), hanya 240 juta jiwa. Jika moral akhlaq sudah bersemayam, maka umat Islam akan mudah mendirikan sembahyang di dalam kehidupan (iqamatih-sholat).

Pementasan NDRA juga menjadi bahan refleksi bahwa apapun yang diorientasikan kepada ketauhidan, maka hasilnya adalah ekonomi-barokah. Apa yang dibanggakan dengan pementasan dunia hiburan moderen di TV-TV swasta? Pertunjukkan mereka hanyalah kekonyolan, ngrumpi, gosip, dan merendahkan martabat. Orang dewasa yang hanya bisa menjawab pertanyaan bahwa Semarang adalah ibukota Jawa Tengah (misalnya), oleh si pembawa acara kuiz dikomentari dan diteriaki: hebat! Manusia super! dst, dan mendapat hadiah puluhan juta rupiah. Ironisnya, orang itu juga bangga dan berseri-seri wajahnya. Gila! Lalu apa hasil mereka? Jelas kehancuran. Maraknya selingkuh, VCD porno, HIV AIDS, narkoba, dst adalah bukti nyata, bahwa dunia hiburan glamour beragamakan api, dan api itu akhirnya justru membakar dan menghancurkannya. Mengapa? Sederhana saja karena prinsip ekonomi mereka hanyalah prinsip kapitalistik yang bersendikan sihir-sihir Fir’aun, bersendikan eksploitasi tubuh, eksploitasi antara buruh-majikan dan tanpa cinta. Karenanya kita memerlukan “tongkat Musa”, lambang ketauhidan, untuk melahap sihir-sihir Fir’aun. Tongkat seperti huruf Alif yang besar, tegak, ahad, dan Allah maha besar.

Orang banyak yang tidak percaya bahwa dunia hiburan dapat ditauhidkan menjadi dunia pencerahan dan menghasilkan “laba” yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hanya laba materi belaka. Kesemuanya — sekali lagi — kuncinya hanyalah kesungguhan (urip kudu tenanan).

EVOLUSI SPIRITUAL


Written by Ladrang Rampak Panuluh
Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat. Lulusan ISI Yogyakarta Jurusan Etnomusikologi


Kehadiran pengurus Nahdlatul Muhammadiyin di hadapan para jamaah mengawali Mocopat Syafa’at 17 Maret 2012. Pak Mustofa W. Hasyim dan Pak Marzuki tampil ke depan untuk memberikan gambaran tentang kedudukan dan ruang gerak atau aktivitas Nahdlatul Muhammadiyin selama ini dan yang akan datang. Di samping agar keberadaan Nahdlatul Muhammadiyin tidak menimbulkan problem sosial dan psikologis di antara sangat banyak kelompok, pada kesempatan Mocopat Syafa’at malam itu dibukalah ruang diskusi dan komunikasi seputar visi dan kiprah Nahdhatul Muhammadiyin.


Bahwa Nahdhatul Muhammadiyin itu ibarat garam, sehingga fungsi dan peruntukannya adalah memberi nuansa dan ikut andil dalam membangun “citarasa”. Nahdhatul Muhammadiyin tidak berkehendak untuk menyaingi Nahdhatul Ulama ataupun Muhammadiyah atau organisasi-organisasi sebelumnya yang telah ada. Pada prinsipnya, Nahdlatul Muhammadiyin adalah gerakan ijtihad yang mengedepankan prinsip “Arab e digarap, Jowo ne digowo” (yang Arab — Islam, dikerjakan/diamalkan; yang Jawa, budaya/local genius — dibawa juga).

Hal-hal penting yang disampaikan oleh Pak Marzuki sebagai salah seorang pengurus Nahdlatul Muhammadiyin di antaranya adalah pelaksanaan konsep ekonomi “lumbung amanah”, yaitu sebuah gagasan mengenai metode pengelolaan ekonomi warga melalui upaya pemberdayaan yang mengedepankan rasa kebersamaan sosial. Konsep ini telah mulai dilakukan di beberapa daerah di Jogja dengan model kemitraan dalam pelaksanaannya di lapangan. Nahdlatul Muhammadiyin tidak memilih idiom “daerah binaan” untuk menghindari kesan atasan-bawahan, bos-kuli, dan sejenisnya. Dalam kaitannya dengan apa yang dilakukan itu, Nahdlatul Muhammadiyin menurut Pak Marzuki tidak muluk-muluk dan lebih berharap agar apa yang dilakukan dengan Nahdlatul Muhammadiyin itu akan bisa menutup “celah-celah kecil” dari sekian banyak dan besarnya problematika yang ada di masyarakat. Dalam kesempatan itu juga disampaikan rencana penerbitan jurnal Nahdhatul Muhammadiyin pada bulan April mendatang.

Pada kesempatan awal dalam Mocopat Syafa’at malam itu juga dibacakan reportase Majelis Ilmu Padhangmbulan Februari 2012 yang lalu yang ditulis oleh Prayogi R. Saputra. Reportase tersebut berisikan materi-materi yang disampaikan oleh Cak Nun dan Cak Fuad dalam pengajian Padhangmbulan tersebut. Dengan cara ini diharapkan para jamaah di Mocopat Syafaat juga bisa mengikuti materi-materi tersebut.

Pukul 22:55 Cak Nun mengajak seluruh hadirin bersholawat yang kemudian langsung disambung dengan memperkenalkan para pendukung acara pementasan teater Perdikan “Nabi Darurat Rasul Ad Hoc”.

“Kalau ada suatu performance tidak melibatkan perempuan, maka hampir bisa dipastikan performance itu tidak akan bertahan lama dan ditinggalkan penonton. Inilah prinsip seni pertunjukan modern yang kapitalistik. Maka drama kita kemarin itu membatalkan kepercayaan-kepercayaan kapitalistik,” ujar Cak Nun. “Tapi semua yang kita capai harus kita hancurkan sendiri dan kita rusak lagi agar kita bisa mencapai yang lebih baik lagi,” Sambung Cak Nun.

Tidak seperti Mocopat Syafa’at sebelumnya yang selalu ditemani oleh KiaiKanjeng, Mocopat malam ini KiaiKanjeng sengaja tidak menyapa jamaah dengan lantunan musiknya. Sebagaimana disampaikan oleh Cak Nun bahwa KiaiKanjeng esok paginya (18 Maret 2012) harus menghadiri sebuah acara di Semarang sehingga perlu waktu untuk beristirahat.

Cak Nun sepertinya ingin mengajak hadirin dan para pendukung pergelaran teater Nabi Darurat Rosul Ad Hoc untuk melakukan refleksi dan pembacaan kembali terhadap muatan utama atau inti nilai di dalamnya.

Saya sendiri merasa bahwa pergelaran yang naskahnya ditulis oleh Cak Nun tersebut tetap konsisten dengan apa yang diyakini Cak Nun dengan konsep “Sastra Yang Membebaskan” yang ditulisnya pada era 80-an yang lampau atau percikan pemikiran-pemikiran beliau dalam ” Terus Mencoba Budaya Tanding”. Sastra dan seni adalah sebuah metode yang karena itu maka dalam setiap karya-karyanya Cak Nun selalu berangkat dari apa yang beliau lihat dan beliau cermati dari dinamika sosial, politik dan budaya yang sedang berkembang di masyarakat ketika itu. Dalam beberapa karyanya, Cak Nun malahan mendesain karya itu sebagai “jendela” untuk memberi sinyal-sinyal tertentu yang berhubungan dengan akan datangnya sebuah peristiwa atau fenomena tertentu di masyarakat.


Malam itu Cak Nun mengajukan pertanyaan filosofis kepada Sabrang, putranya, “urip ki jane kon ngopo?” (Hidup itu sebenarnya buat apa? Mau ngapain?). Pertanyaan singkat itu dijawab dengan singkat pula oleh Sabrang, “kon munggah drajat — untuk menapaki derajat”. Cak Nun mengejarnya dengan pertanyaan lagi, “pilihane munggah drajat kuwi opo? njur nek diteruske, munggah drajat kuwi teko ngendi?” (pilihan untuk naik derajat itu apa saja? Lantas kalau diteruskan, naik derajat itu sampai di mana?).

Ben nyawiji ( untuk menyatu/manunggal dengan Tuhan)”, jawab Sabrang.

Munggah drajat kuwi tegese (naik derajat itu maksutnya) anda menyatu dengan Allah. Maka ketika anda menyatu itu rambutmu, badanmu, hartamu, dan seluruh duniamu ikut nggak? Jadi kenapa kalian mati-matian membela namamu?”, urai Cak Nun meneruskan jawaban Sabrang. Untuk memahami perihal “nyawiji” ini, Sabrang menambahkan bahwa wajah manusia dan segala penampakan lahiriah manusia hanya efektif pada vibrasi tertentu yang tidak bersifat tetap dalam jangka waktu dan pada penggalan ruang tertentu sehingga apa yang lahiriah itu tidak akan mampu untuk masuk pada frekuensi “nyawiji”.

Perlu suatu kesadaran atau barangkali kebangkitan spiritual untuk memahami hal ini. Karenanya, manusia tidak boleh berhenti untuk selalu mencari dan memaknai sebab roh hidup itu berlapis-lapis. “Jangankah roh, air saja berlapis-lapis. Misalnya apa beda air dengan es? Maka kalau anda tidak melakukan pencarian-pencarian terhadap tauhid, anda akan kabotan uripmu (hidupmu memberatimu). Jadi yang penting itu terus mencari, bukan berhasil atau tidak. Yang diinginkan Allah itu engkau bergerak menjalani pencarian itu atau tidak?” terang Cak Nun.

Cak Nun meneruskan dengan menanyai salah seorang jama’ah, “Kamu siapa?”

“Said,” jawab jama’ah itu.

“Benar kamu Said? Jadi Said itu kamu? Yakin kamu?,” tanya Cak Nun lagi.

Si jama’ah hanya thilang-thileng (terbengong-bengong).

Kalau dalam cara berfikir tauhid, jawaban si Said itu belum sampai pada kebenaran yang sejati sebab, “tidak ada sesuatu pun selain Engkau”.

Menyambung pembicaraan ini, Sabrang menambahkan bahwa evolusi kesadaran spiritual itu berjalan setahap demi tahap, dan terhadap hal itu kita bisa belajar dari apa yang terjadi pada tergelarnya alam. Dalam sistem tata makhluk hidup kita mengenal perkembangan dari tahap mikroorganisme sederhana menuju berangsur-angsur ke yang lebih rumit. Tumbuhan hanya mempunyai kecenderungan, hewan punya naluri, kemudian manusia punya akal, kesadaran dan naluri. Lalu karena memiliki akal itulah, manusia mempunyai pilihan.

Melengkapi penjelasan Sabrang, Cak Nun memaparkan, “Allah menciptakan cahaya, cahaya menciptakan struktur tata nilai dari situ kemudian kita mengenal tata ruang dan tata waktu dan akhirnya kita punya kehendak. Tetapi kehendak itu harus selalu engkau komunikasikan dengan laisa kamitslihi syai’un. Dari kesadaran ini lalu kita akan mengerti bahwa di dunia ini tidak ada kebesaran, karena yang ada hanyalah kasus tertentu pada momentum tertentu. Kita harus belajar dari analogi peristiwa yang terjadi antara gajah-semut dan manusia. Siapa yang lebih menang dan unggul dari ketiganya?”

Lebih menukik lagi, Cak Nun menyatakan bahwa penghuni surga adalah orang yang berbuat baik kepada Allah karena melayani orang lain, sementara penghuni neraka adalah orang yang berbuat baik kepada Allah tapi sesunguhnya dia sedang ingin melayani dirinya sendiri.
Mocopat Syafa’at kali ini juga mempersilahkan Pak Joko Kamto, Patub, Eko Winardi dan Mas Bambang Susiawan serta beberapa pendukung pergelaran teater Nabi Darurat Rosul Ad Hoc yang lain turut serta mengemukakan pengalaman dan kesannya masing-masing dalam proses pementasan yang masih terus berjalan ini. Pada intinya, semuanya memperoleh pemahaman yang sama bahwa hidup harus terus belajar dan tak berhenti pada apa yang sudah ada. Hidup harus terus belajar dan “nglakoni” (melakukan/menjalankan/mengamalkan).

Kemudian di penghujung acara, Pak Mustofa W. Hasyim tampil membawakan pusinya. Ada yang lain dari puisi-puisi beliau malam itu. Kalau sebelumnya Pak Mustofa dikenal dengan puisi “rusak-rusakan” nya, pada Mocopat Syafa’at kali ini beliau membawakan puisi yang lebih “serius”. Simak saja penggalan puisi beliau ini :
…rakyat mengganjal perutnya dengan kerupuk dan udara
Rakyat kehilangan jalan raya, pelabuhan…
Kemudian rakyat kehilangan ibunya, bapaknya… kehilangan dirinya sendiri.
Yang tersisa hanya kehampaan….

Beragama tapi Atheis

Written by : Saratri Wilonoyudho


 Beberapa Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bertanya kepada saya, “Mas mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktek beragamanya sudah tinggi namun masih juga korupsi?” Saya cukup kaget mendengar pertanyaan tak terduga itu, apalagi teman-teman juga menunjuk bahwa tersangka koruptor wanita kini juga gemar pakai jilbab. Teman-teman ini tidak mau menunjuk nama para koruptor yang kini disorot media tersebut, namun mereka bilang bahwa para koruptor itu juga ada yang pernah nyantri (jadi “mantan” santri, batin saya), ada yang pernah jadi ketua kelompok perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?

Atas pertanyaan “berat” tersebut, saya juga mengeluh, apa salah dan dosa saya hingga harus menerima pertanyaan seperti ini, apalagi saya juga dituntut mampu memberikan jawaban kepada mereka. Tak tahukah mereka bahwa saya ketika mau diajak menemani para jamaah juga hanya karena “kebetulan” saja? Namun bagaimanapun juga saya harus menjawab. Jawab saya yang masih awam pengetahuan agamanya hanya sederhana: mereka (para koruptor) baru sebatas menjalankan syariat agama. Mesti dipahami, beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda” dan bukan tujuan. Sialnya orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda” tersebut. Meski tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada tataran adil dan proporsional.

Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid bukan berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan diri menggabung ke Tuhan. Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”, dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya, tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus tapi tetap saja korupsi (misalnya)?

Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah” menjadi “barokah”? Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang memiliki “piring dan cangkir” yang bersih. Dengan kata lain, baru mengamalkan satu kalimat seperti: syahadat, assalamualaikum, alhamdulillah, bismillah, dst saja kita tidak mampu, apalagi mengamalkan sebagian besar isi Al-Quran.

Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak. Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir 96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia, dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita mau sampai kepada tingkatan taqwa?

Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.

Orang beragama yang sudah sampai kepada Allah, pasti akan menggerakkan seluruh ibadah “mahdhoh-nya” untuk menuju kesadaran sejati mengabdi kepada Allah. Setelah sholat misalnya, ia akan menyiapkan segala indranya untuk Allah. Melalui Rasulullah, Allah telah bersabda: “Ketika AKU mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan AKU, aku adalah matanya sehingga ketika melihat dengan AKU, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan AKU, dan AKU adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan AKU”.

Kalau seseorang telah mampu “menggabungkan” diri ke Allah (tauhid), maka ia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini, ia akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil dalam setiap tindakan. Keadilan adalah titik sentral dari “lingkaran asma Allah”. Kalau dia adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Tidak mungkin tanpa rahman dan rahim ia akan mampu berbuat adil. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, maka ia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat itu), maka rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.

Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?

Mestinya setiap hari ia akan “lari” kembali “menggabung” ke Allah jika ia terbentur tembok yang mengajak menjauhkan dari-Nya. Ia harus selalu peka mengasah “radar” jiwa dan batinnya, dan ibadah mahdhoh yang saya sebut tadi sebenarnya adalah metode yang ampuh untuk mengasah “radar” kepekaan tersebut. Ia harus rajin ber-iqra, dan rajin memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.

Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan, tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan selalu ke rumah Allah.

Kata Al Ghazali: “Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas dendam. Lebih dari itu, mereka tahu nilai yang benar dan fungsi segala sesuatu di atas bumi. Mereka menyimpan sebanyak apa yang menjadi kebutuhan. Mereka makan sebanyak yang mereka butuhkan untuk tetap sehat (dan ini berarti adil terhadap dirinya sendiri). Mereka memelihara tubuh mereka dan secara simultan membebaskan hati mereka. Tuhan menjadi titik fokus yang kepadanya seluruh hidupnya terarahkan. Tuhan menjadi obyek pujaan dan perenungan mereka.”

Seorang sufi tengah berdoa dengan tenang. Seorang pedagang yang kebetulan juga memegang jabatan menghampirinya dan menawarkan satu tas berisi dinar emas kepada sufi tersebut. “Sebentar”, kata sang sufi. “Apakah uang ini sah? Apakah kamu masih memiliki lagi uang seperti ini di rumahmu?”. Jawab si pedagang “Tentu saja punya karena saya kaya raya!”. Lalu sang sufi bertanya: “Apakah kau masih mau mencari uang dan harta lagi yang lebih banyak? “Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk mencari ribuan keping emas lagi”. Mendengar jawaban itu sang sufi berkata: “Kalau begitu, orang kaya tidak boleh menerima uang dari si miskin. Aku kaya dan kamu masih miskin”. Kaget si pedagang mendengar kata sang sufi, lalu ia bertanya: “Bagaimana engkau menyebut aku si miskin sedangkan uangku segunung di rumah?”

Sang sufi menjawab “Saya adalah orang yang kaya karena aku selalu puas terhadap apa yang Tuhan berikan kepadaku. Engkau masih miskin sebab meski Tuhan telah memberikan uang segunung tingginya, engkau tidak puas dan terus mencarinya”.

Dengan kata lain, orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!

Pertanyaan dari Kurungan


Ditulis Oleh: Aryo Wisanggeni G

Bau hio telat memadati ruang pertunjukan Gedung Kesenian Jakarta ketika Emha Ainun Nadjib muncul dari belakang panggung, membawa dua keris berbuntal kain dan beberapa lembar kertas. Cak Nun meletakkan keris yang dibawa dibagian depan panggung, lalu duduk bersimpuh, diam beberapa saat, lalu mulai membacakan puisinya.

"Hari besar panen raya jagad semesta segera tiba. Penduduk bumi akan dipilah mana yang pagi, dan mana yang alang-alang. Mana padi berbuah, dan mana padi yang gabug. Mana biji padi yang menyuburkan kehidupan, mana biji yang menjadi racun dan menghancurkan dirinya sendiri..

Cak Nun meminta izin kepada-Nya, juga alam semesta, untuk menghadirkan berbagai kegelisahannya tentang hiruk-pikuk anak cucu Adam dan Hawa yang gamang tentang hakikat kemanusiaan mereka. Ia menempatkan para penontinnya untuk bersiap menggenggam berbagai pertanyaan dan renungan.

"Bimbinganlah akal pikiran dan budi rohani mereka memasuki pembelajaran sampai tengah malam nanti. Memperbaharui pemahaman atas setiap kata, meniti kembali setiap butiran makna, mengingat-ingat kembali siapa diri mereka, dimana sedang berada, kemana tujuan perjalanannya. Sebab sesudah mereka semua ini masuk sekolah, kemudian ikut bernegara, mereka tertimbun dunia, tidak kenal lagi siapa dirinya..."

Lalu dimulai gelontoran pertanyaan Ruwat Sengkolo (Joko Kamto) yang sedang mengurung diri didalam kurungan kain putih ditengah panggung. Para tetangga menuduh Ruwat sedang mencoba menjadi dukun, atau mencari pesugihan.

Lurah Sangkan (Fajar Suharno) dan guru Ruwat yang bernama Ki Janggan (Bambang Susiawan) mendatangi kurungan Ruwat dan memintanya keluar dari kurungan itu. Lurah Sangkan memberi waktu dua hari bagi Ruwat untuk mengakhiri semedinya. Ruwat berbalik marah.

"Siapakah yang memiliki waktu, sehingga ia jatah dua hari untuk aku?. Apa yang harus kulakukan dalam waktu dua hari, dan hari-hari sesudahnya? Apa hak masyarakat atas kemerdekaan berpikir manusia? Dan sejak kapan negara mengibarkan kesombongan untuk memotong hubungan batinku dengan Sang Mahapenguasa atas Hidup?"

Dua hari itu Ruwat mendedahkan kemarahannya atas korupsi, keculasan, nafsu serakah manusia, jiga kehidupan artifisial yang berbalut penanda demi pencitraan. "Penduduk bumi sekarang ini butuh nabi atau rasul. Kalau tidak ada nabi sungguhan, ya nabi daruratlah. Kalau tidak ada rasul beneran, ya yang berfungsi ad-hoc-lah. Kalau tidak ada nabi dan rasul, maka panen raya langit akan menimpa bumi," kata Ruwat.

Ruwet
Dua hari berlalu, Ruwat tetap ruwet. Pak Gaspol, si polisi yang diperankan Kumbo Adiguno, pun datang untuk menangkap Ruwat. Tetapi, Pak Gaspol justru "dianiaya" Ruwat dengan perdebatan asal-usul hukum, pasar, teori probabilitas kejahatan, supremasi hukum, dan tumpukan istilah filsafat lain yang membongkar keyakinan hidup Gaspol.

Ruwat memang penuh kemarahan tak berujung, hingga ia justru menganjurkan penghancuran bumi. "Kebenaran, kebaikan, keindahan, dan martabat adalah faktor yang menghambat kehancuran. Wahai bangsa besar, buang ukuran-ukuran dari hidupmu. Wahai umat manusia, batalkan kemanusiaanmu. Wahai pengurus negara, hancurkan hakikat negaramu. Wahai pemeluk agama, rampoklah kuasa Tuhanmu dengan tafsir-tafsir egosentris golongan dan aliranmu," sabda amarah Ruwat.

Titah marah Ruwat diobrak-abrik pertanyaan suara gaib dari langit yang menyebut diri Brah Abadon (Sabrang 'Noe'). Brah Abadon mengingatkan Ruwat yang merasa menjadi poros gelisah, merasa dirinya poros penyelamatan dunia. Pertanyaan Ruwat justru dipertanyakan oleh Brah Abadon, mengurai satu demi satu kemarahan Ruwat.

"Kalian manusia bumi tidak pernah paham karakter ruang diatas waktu, dan waktu diatas ruang. Puncak pencapaian kalian adalah kebuntuan. Kalian terpuruk melayang diruang hampa," bisik Brah Abadon, si bertudung hitam yang hanya terlihat matanya, muncul dalam proyeksi di dua layar diatas panggung.

Kontributor gagasan Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc, Toto Rahardjo, menyebutkan pementasannya memang lahir dari kegelisahan lama yang berulang kali didengungkan Cak Nun. Kegelisahan itu yang akhirnya menjadi prosa panjang yang sejak awal digarap Cak Nun sebagai naskah teater.

"Ini seperti pementasan Tikungan Iblis karya Cak Nun, upaya melawan arus utama wacana, yang saat ini menempatkan supremasi hukum dan gerakan sosial sebagai jalan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Gerakan sosial seperti apa, kalau rakyatnya memang sudah rusdak semua. Bagi kami, memang butuh campur tangan Tuhan untuk memperbaiki kehidupan saat ini. Korupsi dan segala soal sekarang ini. Korupsi dan segala soal sekarang ini adalah akibat, bukan masalah," kata Toto.

Bagi sebagian orang mungkin narasi-narasi yang menurut Sabrang 'Noe' seluruhnya merupakan fakta itu sarat jawaban. Bagi sebagian lainnya, mungkin sarat pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih enak dilupakan daripada diresapi dan dicarikan jawaban. (Kompas, Minggu, 11 Maret 2012, hal. 21)

KIAMAT Versi Teater Perdikan dan Cak Nun

"Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc" adalah judul lakon yang dipentaskan Teater Perdikan, yang berisi para seniman Yogyakarta serta Emha Ainun Nadjib sebagai penulis naskah. Dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Jumat (9/3), lakon ini juga dipentaskan di Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya.

Bisa dibilang pementasan ini juga merupakan kerja sama yang apik antara Cak Nun dan sang anak (Noe Letto). Para personil Letto yang kebagian mengurus musik dalam pertunjukan ini juga kebagian peran akting.

Noe mengaku, sudah bermain teater sejak berusia enam tahun. Sementara personil Letto yang lain, yakni Patub, Ari dan Dhedot akan berperan sebagai para akustikus, anak band yang menjadi tetangga si tokoh sentral cerita.

Cerita dimulai dengan sebuah keluarga kecil hidup biasa saja di desa pinggiran kota. Tetapi, tiba-tiba penghuni rumah, Ruwat Sengkolo, duda hampir paruh baya, menjadi sumber perhatian dan pergunjingan masyarakat. Kehebohan terjadi karena Ruwat yang sebenarnya sangat waras, memutuskan untuk hidup di dalam kurungan.

Keributan itu membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang merantau bekerja di Jakarta, mendadak pulang. Juga ada Ki Janggan, guru Ruwat dan Alex Sarpin, aktivis dan mahasiswa yang indekos di sebelah rumah, ikut mengurusi keributan di rumah Ruwat.

Para tetangga pun berspekulasi macam-macam. Ada yang mengira ia gila, mau bunuh diri, mencari kekayaan dengan pesugihan, sampai cuma cari sensasi untuk ikut pilkades.

Tak ada yang mau memahami bahwa yang mendasari kelakuan Ruwat adalah karena ia sangat yakin pada tahun 2012 adalah tahun kiamat. Kiamat, menurut dia, adalah awal dari azab tuhan kepada bangsa ini yang komplikasi problemnya hanya bisa diatasi dengan kepemimpinan yang setingkat dan sekuat nabi dan rasul.

Ia nyerocos soal sosok pemimpin yang tak becus, pengangguran makin banyak, masyarakat miskin yang semakin meningkat, tapi di sisi lain orang yang kaya makin kaya. Yang tampak bagi para petinggi negeri ini adalah semuanya baik-baik saja.

Salah satu dialog Ruwat Sengkolo menyebut kitab mengatakan bahwa kiamat akan terjadi pada 2060, para pengamat jagat raya mengatakan pada 2040, dan para penelusur waktu mengatakan pada 2012. “Aku Ruwat Sengkolo dengan ini menyatakan apa bedanya kiamat besok dan sekarang, peradaban mentok, nila-nilai hakiki susah dicari, sesungguhnya kiamat sedang berlangsung,” teriaknya lantang. Menurut dia, sebentar lagi langit akan resmi tutup buku, kemudian akan dibuat makhluk yang baru.

Sepanjang pementasan yang berlangsung hampir tiga jam itu penuh berisikan kalimat-kalimat satire yang puitis. Salah satu nukilan dialog Ruwat Sengkolo, misalnya, berbunyi, “Wahai bangsa besar, buang ukuran-ukuran dari kehidupanmu. Wahai umat manusia, batalkan kemanusiaanmu. Wahai pengurus negara, hancurkan hakikat kenegaraanmu. Wahai penegak demokrasi, batalkan prinsip-prinsip hak dan wajib asasi. Berpolitiklah dengan memakan bangkai-bangkai, hinakanlah kebudayaanmu. Campakkan ke tong-tong sampah. Wahai para pemeluk agama, rampoklah kuasa Tuhanmu dengan tafsir-tafsir egosentris golongan dan aliranmu.”

Lakon satire ini diangkat di tengah keprihatinan akan berbagai penyakit moral yang menimpa masyarakat. Perlombaan korupsi, ketimpangan sosial yang semakin mencolok, hukum yang cuma bisa menindas yang lemah, hingga krisis di dunia seni yang mengalami pendangkalan-pendangkalan.

Reformasi 1988, menurut para penggagas lakon ini, membuat semua persoalan publik dibahas dengan gamblang tanpa takut sensor. Tetapi, hal itu malah seolah-olah malah membuat dunia seni menjadi steril dari masalah publik. Karena kritik sosial telah bebas memndapatkan tempatnya di semua media, seni pun tak lagi dianggap sebagai bentuk kritik yang jitu.

Penderitaan masyarakat, meski dibicarakan setiap hari, tak ada langkah serius dan nyata untuk mengatasinya. Wacana menjada makanan sehari-hari.

Kesederhanaan tata panggung menunjukan masyarakat desa yang tergagap-gagap mengikuti perubahan. Sebagai kontras, kekinian diperlihatkan melalui anak-anak muda yang ada di sisi panggung lainnya.

Di belakang panggung layar hitam yang terpampang lebar dimanfaatkan untuk menampilkan tokoh Mbah Abadon (Brah Abadon, maksudnya), sosok yang diceritakan ada kaitannya dengan Malaikat Isrofil. Tak jelas siapa dia, yang jelas bukan manusia. Mbah Abadon diperlihatkan dalam sebuah sosok yang membayang tak tampak wajah, hanya terlihat jubah hitamnya berkelebat.

Tokoh Ruwat, walau bertingkah aneh seperti orang gila, tapi dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi negara yang bobrok sehingga tidak dapat diatasi oleh ilmu perangkat hukum atau revolusi sosial. Maka, dibutuhkan personifikasi manusia setingkat nabi atau rasul untuk “meruwat” ke arah perbaikan dunia. 

(Sumber: Republika, 12 Maret 2012, hal. 12)