Tanggal 23 Juni lalu publik dikagetkan dengan munculnya fatwa jihad di bulan Ramadan yang dikeluarkan amir Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Abu Umar Al Baghdadi. Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian, fatwa itu dibacakan juru bicara ISIS Abu Muhamad Adnani.
ISIS tidak main-main dengan fatwa tersebut. Selang 5 hari setelah fatwa itu, tepatnya 27 Juni terjadilah serangkaian pengeboman dan penembakan warga sipil tak berdosa di tiga negara berbeda; Tunisia, Kuwait, dan Prancis.
Di Tunisia, 38 orang meninggal. Sebagian besar korban adalah turis asing yang sedang bersantai di pantai wisata Sousse. Di Kuwait, 37 orang meninggal akibat bom bunih diri di masjid Imam al-Shadiq. Di Prancis, pelaku berencana meledakkan gudang gas milik perusahaan Air Products and Chemical. Beruntung aksi itu tidak berhasil, namun satu orang korban meninggal.
Semua rentetan teror di atas mencoba mengambil legitimasi Ramadan sebagai bulan jihad (syahr al-jihad) dan bulan kemenangan (syahr al-fath). Tampaknya sejarah awal Islam di masa Nabi Muhammad Saw dijadikan rujukan yang “salah kaprah.” Pada masa Nabi memang terjadi beberapa kali peperangan di bulan Ramadan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir.
Dari sejumlah peperangan, ada dua yang fenomenal terjadi di Bulan Ramadan. Pertama, Perang Badar Kubra tanggal 17 Ramadan tahun kedua hijiriah yang merupakan peperangan terbesar masa itu. Pasukan Islam yang hanya berjumlah 313 orang berhasil mengalahkan pasukan kafir yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Kedua, penaklukan kota Mekah (fathu makkah) pada tahun kedelapan hijriah. Peristiwa ini dipicu pengkhianatan orang-orang kafir yang melanggar gencatan senjata pada perjanjian Hudaibiyah.
Dari peristiwa sejarah tersebut, setidaknya ada 3 hal yang salah dimaknai ISIS. Pertama, peperangan pada masa Nabi bertujuan untuk membela diri, mempertahankan hak-hak kaum muslimin dari kezaliman dan kejahatan orang-orang kafir. Nabi sama sekali tidak ingin mendakwahkan Islam dengan kekerasan, apalagi perang. Perang adalah pilihan tak terelakkan ketika umat Islam harus melindungi hak-haknya dan harga dirinya dari serangan dan serbuan orang kafir.
Kedua, perang dalam Islam memiliki adab dan etika yang harus dipatuhi. Di antaranya, pasukan Islam dilarang membunuh rakyat sipil (non kombatan), tidak boleh melukai wanita dan anak-anak, dilarang menghancurkan rumah ibadah, tidak boleh mengganggu ekosistem lingkungan seperti merusak tanaman atau membunuh hewan, dan tawanan perang harus dilindungi. Perang dalam Islam bukan bertujuan balas dendam.
Karena itu, pada saat penaklukkan Kota Makkah, tatkala orang-orang kafir menyerah, tak ada satu pun darah mereka yang tercucur. Bahkan tak ada korban sama sekali. Inilah peristiwa penaklukan damai terbesar dalam sejarah umat manusia yang tanpa darah.
Ketiga, perang terbesar dan musuh hakiki umat Islam sesungguhnya adalah melawan hawa nafsunya. Inilah yang dipesankan Nabi usai Perang Badar. Nabi bersabda, “Kita kembali dari peperangan kecil dan akan menghadapi peperangan besar (jihad akbar).” Para sahabat Nabi bertanya-tanya, adakah peperangan yang lebih dahsyat dan lebih besar dari Perang Badar. Nabi menjawab, “Perang melawan hawa nafsu di dalam diri masing-masing.”
Fawa Jihad yang dikumandangkan ISIS sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Nabi. ISIS melakukan teror yang membabi buta. Alih-alih memperjuangkan Islam, jihad yang diklaim ISIS justru merusak wajah Islam. Kekejaman yang dipertontonkan ISIS adalah bukti kegagalan mereka melawan hawa nafsunya sendiri (jihadun-nafsi).
Oleh: Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sumber : http://uin-suka.ac.id/page/kolom/detail/34/jihad-di-bulan-ramadan