REFLEKSI SAAT MENYEPI

Ketakwaan menjadi harga mati seorang muslim di hadapan Tuhannya. Sebuah sikap diri yang berusaha melaksanakan seluruh perintah Tuhannya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia senantiasa terpatri dalam muslim yang juga muttaqin. Akan menjadi timpang atau berat sebelah jika kita berislam namun belum cukup bertakwa. Karenanya secara sistem paling tidak seminggu sekali dalam setiap Jum’atan para kaum muslimin diingatkan untuk selalu bertakwa baik pesan ini ditujukan kepada diri sendiri (baca: khotib) maupun kepada orang lain (baca: jamaah solat jum’at).

Tidak berlebihan kiranya jika implementasi dari sikap ketakwaan tersebut tidak hanya menyentuh ranah vertikal kepada ketuhanan semata. Karena pada titik ini ia lebih pada perbuatan hati. Sehingga realitas masyarakatlah yang paling potensial untuk mengukur sejauh mana ketakwaan kita. Salah satu sifat wajib bagi Allah, “qiyamuhu binafsihi” sangat memperkuat akan kedirian Tuhan jika sekalipun tidak diiringi dengan ketakwaan hamba-Nya karena memang sudah begitulah adanya kuasa-Nya.

Disinilah peran penting kontestasi ketakwaan kita kepada Allah, yaitu dengan realisasi yang nyata membantu kepada sesama hamba-Nya. Sikap ini perlu sekali dinyatakan jika kita tidak ingin termasuk pada golongan “an taquuluuna maa laa taf’aluuna” (baca: berkata tapi tidak mengamalkan). Sehingga seringkali sikap kesalihan ‘an sich’ hanya menjadi boomerang pada dirinya sendiri, yaitu dengan munculnya sifat riya’ dikarenakan menganggap ketakwaannya lebih banyak daripada orang lainnya.

Pada masa Nabi Muhammad Saw, dimana para sahabat saling berlomba-lomba meningkatkan sikap keagamaannya, ketakwaannya, dan kesalehannya kepada Keharibaan Allah Swt. Mereka saling bersaing satu sama lain berlomba-lomba menjadi seorang yang bertaqwa dihadapan Allah Swt. Hal inilah yang sering disebut “fastabiqul khoirot”. Gambaran seperti itulah yang sama persis dilakukan oleh kita semua disini. Ya, seperti jama’ah ini. Mereka yang setiap hari selalu melakukan peningkatan keberagamaannya kepada Keharibaan Allah Swt.

Tetapi ketika dirinya merasa menjadi ahli taqwa dan bertemu dengan Nabi mesti masih lebih rendah dibandingkan ketakwaan Nabi. Sehingga setiap kali mereka berangkat dari rumah ingin menghadap Nabi mesti ingin mengetahui tingkat ketakwaannya dengan ketakwaan beliau sudah sejauh mana. Tiap kali bertemu dengan Nabi selalu merasa lebih rendah dan sangat jauh sekali layaknya: “baina sama’ wa sumur bor” (baca: antara langit dan dasar sumur bor).

Menjadi kemakluman watak manusia jika ia merasa paling lebih dimana pun ia berada. Merasa paling dan sangat paling diantara yang lain. Tidak menyadari bahwa tempat ia berada hanyalah sekelumit tempat yang kecil dan ruang sempit dibandingkan dengan tempat lain di luar dirinya sana. Kedirian yang salah seperti ini tidak memahami bahwa “dunia tidak selebar daun kelor”. Sedangkan asumsi pada dirinya tidak lebih dari “katak di dalam tempurung”.

Begitulah akan hal sama yang sering kita rasakan. Seakan-akan kita “wah, inilah aku orang yang sabar”. Namun ketika menghadapi Nabi untuk mengutarakan maksudnya, keadaannya, bahkan menyebutkan dirinya sendiri sebagai orang yang penyabar, semuanya sifat tersebut tiba-tiba menjadi luluh dengan adanya Nabi. Karena seberapapun besar kesabarannya mesti selalu kalah dibandingkan dengan kesabaran beliau.

Pernah dikisahkan, suatu kali ada seseorang yang merasa sabar, merasa prihatin, merasa kuat menghadapi tantangan karena selama 3 hari tidak makan. Namun setelah tiga hari hampir merasa tidak kuat lagi, ia baru menghadap salah satu kiai:

“Assalamu’alaikum kyai, mau minta do’a restu” pintanya.

“Ada apa?”, tanya sang kiai.

“Saat ini saya sudah kuat selama tiga hari ini belum makan apa-apa”, ungkapnya.

“ Alhamdulillah, saya ini malah belum makan selama seminggu”, balas sang kiai.

Artinya, betapapun berat usaha seseorang jika sudah bertemu dengan Nabi ternyata beliau lebih susah daripada dia. Sekalipun diceritakan; “saya ini lho begini, saya ini begitu..”, namun jika sudah bertemu Nabi, pupuslah semua usaha perbandingan susah payahnya layaknya gajah masuk lautan. Itu pun masih ada yang mengklaim sebagai orang yang pandai sekali, fasih bacaannya Alqur’an, berulang kali mengkhatamkannya, dan lain sebagainya. Namun jika telah bertemu dengan Nabi dan berkata “bla-bla-bla”, hilanglah kealimannya tersebut karena katakwaannya telah diliputi oleh sifat riya’.

Kanjeng nabi itu sangat hebat. Tetapi yang menarik dari Rasulullah Saw, adalah bagaimana ketika menunjukan keunggulannaya dibanding para sahabat. Inilah yang menarik. Bagaimana rosululloh saw,menunjukkan kesabaran yang lebih dibanding kesabaran para sahabat. Kanjeng nabi itu bisa apa saja, sedangkan kita jika sedikitpun merasa lebih pintar dalam memperlihatkan kelebihan dan kepandaian kita kepada orang lain cukup dengan merasa bisa.

Tapi ketika menunjukan kepandaiannya dibandingkan orang lain, seringkali kita tidak bisa seperti beliau, justru akan menjadi persoalan. Walaupun memang benar diri kita lebih banyak melakukan puasa. Lain halnya dengan respon orang lain ketika menerima kelebihan kita, karena dapat dipastikan dia malah tidak akan menyerah untuk bersaing dengan kita. Jadi, pada dasarnya ada cara lain untuk menunjukkan sikap-sikap positif kita tanpa bermaksud menyinggung keberadaaan orang lain di sekitar.

Dalam filosofi Jawa, dikenal dengan istilah “ora kudu menang tanpo ngasorake” (baca: untuk menang tidak harus merendahkan orang lain). Inilah nilai dan sikap yang selalu dipelihara oleh Rasulullah Saw. Bukan hanya beliau, Sayyidina Ali Karomallahu Wajhah. Yaitu ketika Siti Fatimah waktu itu bekerja di sebuah tempat usaha, mendapatkan gaji untuk kemudian diberikan kepada Sayyidina Ali untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Namun suatu kali di depan majikannya sendiri ketika sedang gajian, Siti Fatimah memberikan uang gajinya kepada kepada peminta yang tiba-tiba memintanya karena sangat membutuhkan. Sungguh suatu sikap besar hati dan ringan tangan yang sulit dilakukan sekalipun oleh kita. Asli mungkin sedikit sekali dari kita yang mam[pu meneladani sikap Siti Fatimah seperti itu.

Sayyidina ali selalu mensikapi apapun yang terjadi dengan bijaksana bahwa itu adalah dari allah swt. Mugi2 kulo lan panjenengan sdoyo dipun tresnani dateng allah swt,dipun paringai kekiatan anggenipun ibadah kanti ikhlas mugi2 ngantos putro putri lan dzurriyah kulo lan panjenengan sdoyo..cekap semanten akhirul kalam “ wassalamu’alaikum wr.wb !!

0 komentar: