Abdul Manan dan Abdul Wadud Arrombengy

Written By Cak Nun

Kaum folkloris, di waktu senggangnya, suka bercerita iseng tentang yang lucu-lucu dari berbagai etnik. Misalnya tentang orang Madura, satu dari suku-suku di muka bumi yang saya kagumi. Orang suka 'sentimen' terhadap mereka. Padahal mereka itu paling jago argumentasi. Bahkan dalam diplomasi, mereka bisa jauh lebih dingin dibanding politisi Jawa.


Misalnya kalau anda rewel terhadap harga jualannya, ia malah berkata: "Soalnya saya ini baru saja keluar dari penjara." Anda bertanya, "Lho apa hubungan antara harga dengan penjara?" Ia jawab, "Ya ndak usah dihubungkan". Anda penasaran, "Kenapa bapak dipenjara?" Ia menjawab dengan nada amat kalem, "Ya karena nylurit orang kaya sampeyan ini......" Maka sebaiknya anda secepatnya lari tunggang-langgang.


Atau ketika anak Madura itu ditangkap Polisi karena naik motor tak punya SIM, Polisi membentak, "Kok ini SIM-nya orang lain?" Ia menjawab, "Lho yang saya pinjami SIM saja ndak marah, kok Pak Polisi marah!".


Atau yang paling saya kagumi, ketika seorang tukang becak Madura melanggar lampu merah di perempatan sehingga sebuah mobil dari jalan silang kerepotan ngerem dan maki-maki: "Tukang becak goblog! sudah tahu merah kok jalan terus saja! Goblok! Goblok!". Sang tukang becak tenang-tenang saja menjawab acuh tak acuh "Yaa kalau ndak goblog ndak mbecak saya Pak..."


Padahal saya tahu persis tidak ada bangsa yang goblog. Setidaknya kegoblogan tidak bisa menjadi ciri dari suatu suku bangsa, apalagi Madura. Bis yang saya langgani, kalau pulang ke Jombang dari Yogya, adalah bis paling bagus, sopirnya terampil tapi tertib, tidak rakus, amat disukai penumpang dan kami tahu itu berasal dari sebuah perusahaan dengan sistem manajemen dan dan moralitas bagus yang dipimpin secara amat santun oleh seorang juragan Madura.


Abdul Manan, asli Sumenep itu, memang tukang becak, seperti juga rekannya dari Jawa, Makasar, Bali dan lain-lain. Tapi Abdul Wadud sejak bertahun-tahun yang lalu meningkatkan statusnya sebagai tukang becak menuju status yang lebih berekonomi tinggi. Ia himpun modal dan akhirnya berhasil jualan barang rombengan kaki lima yang omsetnya ratusan ribu.


Pada suatu hari kena gusur, barang-barangnya 'dimusnahkan' dan ia tenang-tenang saja, "Ya balik mbecak lagi, Mas. Lha saya ini memang orang kecil, yang nggusur itu orang besar".


Yang paling saya kagumi, tapi sekaligus saya prihatinkan, ia tidak sedih oleh keadaan itu. Ia biasa saja, dan kembali menghimpun modal. Ia mampu mengikhlaskan barang-barangnya 'dimusnahkan' menjadi beberapa ratus ribu rupiah, di tangan orang-orang besar.


Quoted by Redaksi from  "Secangkir Kopi Jon Pakir", Emha Ainun Nadjib, Mizan, Bandung

0 komentar: