Emha Ainun Nadjib: ''Orang Islam Dibakar Supaya Mengamuk''

Tak mudah, memang, memotret sosok lelaki ini hanya dari satu sisi. Sebab, suatu saat ia tampil sebagai seniman, di saat lain ia adalah intelektual, pengamat politik dan sosial. Tapi, banyak juga yang menganggap dia kiai karena fasih bicara soal agama. Ya, bak kata pepatah, melihat matahari hanya dari satu sisi, maka melihat Emha harus dari segenap jurusan.

Emha Ainun Nadjib memang memiliki banyak faset. Ia juga bak libero: bisa bergaul dengan siapa saja dari kalangan mana saja. Ia dengan mudah membaur dengan portir di bandara, "mbok-mbok" jamu, dan sopir taksi. Tapi, ia bisa juga diterima kalangan atas dan pejabat pemerintahan, pengusaha, dan juga kalangan ABRI. Tak heran bila acara diskusi atau ceramah yang dihadirinya sering dipadati pengunjung. Maklum, ia memang orator ulung. Gaya bicaranya khas, dengan humor segar. Tak segan pula lelaki 44 tahun ini bicara keras soal situasi politik. Tapi, mengapa ia tidak mau disebut ustad atau ulama? Benarkah ia bermusuhan dengan Gus Dur? Dan, kenapa sekarang banyak yang menganggapnya dukun? ;

Jakarta masih dilingkupi kabut tipis, sisa hujan tadi malam. Jarum jam menunjukkan pukul 05.30. Suasana Bandara Soekarno- Hatta pagi itu tak seberapa ramai. Di antara calon penumpang yang hendak pergi ke luar kota atau ke luar negeri, sesosok lelaki berpakaian santai tampak menyelip. Lelaki berkemeja hijau dan celana hitam itu tengah berbincang-bincang dengan beberapa lelaki lainnya. Sejenak kemudian, ia berpamitan karena pesawat yang hendak membawanya ke Yogyakarta akan segera berangkat.

Di pagi yang masih sepi itu, dia sudah harus pasang wajah ramah. Maklum, tidak sedikit orang yang menyapa dan mengajaknya berbincang. Padahal, ia bukan artis, atau selebritis. "Acara 'Cermin'-nya bagus, Cak. Saya senang sekali," pegawai di "counter" Garuda menyapa ramah.

Lelaki berambut gondrong tadi Emha Ainun Nadjib, seniman dan budayawan yang belakangan ini sering "wira-wiri "di layar "Indosiar" lewat "filler" "Cermin". Pagi di akhir Januari itu, seniman yang biasa disapa Cak Nun ini harus terbang ke Yogyakarta untuk mengikuti suatu acara pagi. Guratan keletihan tampak masih tersisa di wajahnya. Semalaman tadi ia belum sempat tidur. "Sehabis ceramah di Yayasan Sehati, saya keasyikan diskusi sama teman-teman," katanya. Untuk itulah, 50 menit perjalanan menuju Yogyakarta dipakainya untuk istirahat, memejamkan mata barang sebentar. "Bagi saya, tidur dalam pesawat itu sudah jadi kemewahan," kata lelaki kelahiran Jombang, 44 tahun lalu itu. Toh, tak selamanya Cak Nun bisa menikmati kemewahan itu. Meski sudah duduk "anteng", tak sedikit penumpang bahkan pramugari atau pramugara yang sengaja mendatanginya sekadar mengajaknya bersalaman dan mengajaknya bertegur sapa. "Saya memang sudah lama mengagumi Cak Nun," kata Sandy, Pramugara Garuda.

Penat. Boleh jadi itu yang dirasakan Cak Nun hari-hari ini. Cak Nun mengaku, di bulan Ramadan ini, ia lebih banyak tinggal di Jakarta. Maklum, undangan ceramah yang memang bertumpuk sebagian besar di Jakarta. Ketua Bappenas, Ginandjar Kartasasmita, dan pengusaha Arifin Panigoro, dan Yanti Bambang Permadi putri mantan Wapres Sudharmono yang bersuamikan Bos McDonald Indonesia, Bambang Permadi termasuk kalangan yang mengundang Cak Nun.

Selain itu, ia juga sibuk mempersiapkan syuting "Cermin" di "Indosiar". Belum lagi kewajibannya menulis kolom untuk beberapa media massa. Undangan khusus macam peluncuran buku "Udin, Darah Wartawan" dan bedah buku "Tajus Sobirin, Kebengalan dan Kesolehan "harus dihadirinya pula. "Saya memang membantu pembuatan buku ini. Karena membuka dialektika demokrasi," kata Emha soal keterlibatannya dalam pembuatan biografi Tajus Sobirin yang Ketua DPD Golkar Jakarta itu.

Kendati sering berceramah agama di berbagai tempat, Cak Nun tidak mau dijuluki ulama atau ustad. Apalagi bila kemudian disejajarkan dengan K.H. Zainuddin M.Z. yang justru dijulukinya sebagai artis. "Kalau dia itu profesional; mubalig yang profesional. Sifatnya industrial. Saya tidak seperti itu, saya enggak profesional," katanya. Untuk dirinya, ia lebih suka disebut sebagai peran pengganti, yang sesekali mengerjakan pekerjaan ustad atau ulama. "Sesekali jadi penasihat spiritual atau bahkan jadi dukun," katanya.

Kepada FORUM yang menguntitnya ke Yogyakarta, Cak Nun sempat mengutarakan pendapatnya tentang perkembangan politik yang belakangan ini memanas.

Ada kerusuhan belakangan ini yang kemudian berbuntut kepada isu "Naga Hijau", bagaimana Anda melihat fenomena itu?

Kalau Gus Dur-Amien Rais, ICMI-NU, itu sebenarnya kan pertengkaran klasik dengan lapangan yang baru. Setiap ada persoalan dipakai untuk tendang-tendangan di antara mereka. Seperti juga dulu terjadi antara NU dengan Masyumi, atau KAHMI-HMI. Setiap ada masalah, dipakai untuk saling menuding di antara mereka.

Saya kira, tidak usah dilacak siapa yang benar atau siapa yang salah. Saya hanya menilai, semua itu tidak menguntungkan bangsa Indonesia. Tidak mendewasakan bangsa Indonesia. Di tengah situasi yang penuh disinformasi ini, penuh ketidakjelasan masalah, seharusnya kita berhemat pernyataan, berhemat tuduhan, berhemat fitnah. Jangan gampang menyangka- nyangka. Orang seperti Gus Dur, Adi Sasono, Habibie, atau yang lain sesungguhnya dibutuhkan perannya dan kemampuannya untuk menjadi cermin yang jernih dan bening untuk seluruh bangsa Indonesia. Mereka seharusnya menjadi orang tua yang arif yang justru meredakan persoalan, bukan menambah persoalan.

Yang terjadi dengan "Naga Hijau" atau "Naga Merah" kan hanya menambah ketidakjelasan. Itu sama dengan pejabat militer yang mengatakan, "Saya sudah tahu aktor intelektualnya, tapi tidak pernah jelas sampai sekarang." Itu menambah beban masyarakat. Masyarakat ini terlalu banyak beban. Masyarakat sudah banyak beban masih ditambahi dengan beban informasi yang tidak informatif. Masyarakat dituntut untuk bisa memilah-milah informasi.

Mungkinkah meminta masyarakat selektif memilah informasi?

Setiap hari saya bertemu banyak orang. Mereka meminta konfirmasi tentang kejadian-kejadian nasional ini. Yang bisa saya lakukan adalah menyarankan agar mereka jangan ikut sesuatu yang mereka tidak paham. Mereka harus memiliki daya selektif yang lebih cerdas. Mereka harus bisa memilah agar
tidak gampang terseret, tidak gampang terhasut. Kalau Anda punya kewibawaan di dalam masyarakat, punya karisma, masyarakat mau mendengar saran Anda. Saya mencoba untuk bisa seperti itu.

Sejak kapan itu Anda lakukan?


Dari dulu kan saya sudah mulai mendamaikan mereka. Mendamaikan dalam arti menghindarkan mereka dari konflik mubazir yang akan jadi bumerang. Kedua, menumbuhkan sikap kritis yang proporsional. Saya lakukan lebih banyak lewat diskusi, seminar, Pengajian Padang Bulan, dan lainnya.

Ada pengamat yang mengatakan bahwa perkembangan politik belakangan ini adalah pemanasan menjelang pemilu...

Menurut saya, ini bukan pemanasan menjelang pemilu. Pak Harto itu kan dilingkungi beberapa kelompok. Ada yang jaraknya dekat, ada yang jaraknya jauh. Masing-masing punya jaringan ke bawah. Salah satu kelompok inilah yang sejak lama mencoba bersikap kritis terhadap kekuasaan, terhadap Pak Harto. Tapi, mereka tidak pernah berani eksplisit. Maksud mereka sebenarnya baik:
prihatin terhadap semua keadaan yang terjadi di negara ini.

Mestinya, awal tahun ini, mereka lebih transparan dan menunjukkan aktualisasi strategi mereka untuk menempuh negosiasi kepemimpinan nasional yang lebih rasional; yang lebih jantan. Tapi, mungkin karena dianggap tidak berani atau kalah wibawa sama Pak Harto, satu-satunya cara yang gampang, dan ini sudah sering terjadi di Indonesia, adalah menjegal bangsa ini dari belakang dengan meminjam tangan orang Islam. Jadi, orang Islam dibakar-bakar untuk mengamuk. Kerusuhan itu nanti akan muncul dalam frekuensi yang lebih tinggi karena memang potensi untuk rusuh itu besar, misalnya, soal
kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.

Sampai pada suatu saat akan terjadi situasi darurat nasional, di mana mereka akan menghadap Pak Harto dan mengatakan, "Pak, ini tidak bisa dihadapi. Jadi, mau tidak mau, kita harus tawar menawar untuk menyelamatkan bangsa ini."

Tapi, mungkin juga ada faktor-faktor lain yang nonstrategis. Ada kejadian yang di luar rekayasa. Tapi, menurut saya, "mainstream" teorinya, ya, seperti itu.

Siapa kelompok itu?

Tidak sukar sebenarnya mengetahui siapa kelompok ini. Tapi, untuk konsumsi pers, tidak akan saya sebutkan. Kalau untuk BAP (Berita Acara Pemeriksaan) polisi, saya akan sebut siapa kelompok itu.

Anda sering mengkritik Gus Dur. Apakah memang Anda berseberangan dengan dia?

Ya, mungkin karena harapan saya terhadap dia terlalu besar. Padahal, sebenarnya saya dan dia banyak punya kesamaan. Cuma sejumlah pilihan dan "policy "yang membedakan kami. Saya sangat dekat dengan Gus Dur. Sangat intim. Kami sendiri sering berdiskusi. Kami juga sering mengkonfirmasi
ucapan masing- masing. Kalau saya terlalu mengecam, Gus Dur akan bertanya. Nanti, akan saya jelaskan, "Gini, lo, Gus yang saya maksud..." Juga sebaliknya.

Jadi, sebenarnya tingkat kemesraan dan cinta kasih kami masih lebih tinggi dari perbedaan pendapat. Katanya, berbeda pendapat boleh, kok, dimasalahkan. Saya mengkritik dimarahi. Kemarin ada yang memarahi saya soal "Kado Muhammad". Katanya, kenapa judulnya begitu, mestinya kan Kado Nabi Muhammad SAW. Saya gampang menjawabnya. Syahadat itu bunyinya bagaimana? Kan tidak
ada nabinya.

Emha lahir di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito, Jombang, 25 Mei 1953, sebagai anak keempat dari 15 bersaudara dari keluarga pendidik. Ayahnya, Muhammad Latief, adalah lulusan Pondok Pesantren Tebuireng. Anak keempatnya ini diberi nama Muhammad Ainun Nadjib. Belakangan, nama Muhammad ini disingkat menjadi MH, atau kalau dilafalkan menjadi Emha. Nama inilah yang kemudian melekat dan menjadi panggilan akrabnya.

Sejak kecil, Emha sudah menunjukkan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial dan keadilan. Boleh jadi, ini lantaran ibunya sering membawanya berkeliling kampung mengurusi UB (Usaha Bersama) yang dikoordinasi sang ibu. Maka, bagi Emha, sang Ibu adalah idolanya. Ia yakin bahwa semua yang ia lakukan kini tak lepas dari doa ibunya.

Sebagai anak yang peka terhadap masalah keadilan, Emha pernah diusir saat ia masih bersekolah di SD di Jombang. Pasalnya, ia melompati meja dan menendang seorang guru yang menurut dia berlaku tidak adil. Lantas, ayahnya mengirim Emha ke Pondok Pesantren Modern Gontor. Di sini pun, Emha tidak bisa bertahan lama. Ia kembali dikeluarkan karena mengadakan demonstrasi. Emha lantas pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolahnya di SMA. Saat inilah, ia mulai bersentuhan dengan dunia kesenian. Ia mulai bergabung di Persada Studi klub yang diasuh Umbu Landu Paranggi, si Raja Penyair dari Malioboro.

Setamat SMA, Emha diterima di Fakultas Ekonomi UGM. Tapi, perkuliahan cuma dijalaninya selama 1 semester. Saat ujian semesteran, Emha tidak bisa menjawab soal-soal yang diberikan. Ketika itulah ia memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Emha sempat kembali ke Jombang selama dua tahun untuk belajar tarekat dari kakeknya yang memang dikenal sebagai ulama tarekat. Tapi, ia kembali lagi ke Yogyakarta dan memutuskan menjadi penyair.

Sebelumnya, ia memang sudah banyak menulis di berbagai media massa. Ia mengaku, kemampuanya menulis ini diperolehnya secara otodidak dan sempat terasah ketika ia menjadi tukang ketik, plus editor, di majalah milik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Perlahan Emha mulai diterima di kalangan seniman Yogyakarta. Maklum, ia tidak sungkan membagi honor tulisan atau ceramahnya dengan teman-teman seniman lainnya. Salah satu teman akrabnya kala itu adalah penyanyi Ebiet G. Ade.

Pertengahan tahun 1980-an, Emha meninggalkan "Kota Gudek" untuk mengembara ke Belanda, Belgia, dan Jerman. Ia meninggalkan istrinya yang orang Lampung, Neneng Suryaningsih. Padahal, perkawinan mereka telah membuahkan seorang anak laki- laki, Sabrang Mowo Damar Panuluh. Sekembalinya dari berkelana di Eropa, Emha dan Neneng sepakat untuk berpisah. Sang anak ikut dengan ibunya ke Lampung. Belakangan, putra satu-satunya itu kini sudah berusia 17 tahun bergabung dengan Emha di Yogyakarta.

Sepulang dari pengembaraannya, kreativitas Emha semakin menyeruak. Tulisannya kian sering muncul di berbagai media massa. Ia juga ikut membidani kelahiran Teater Shalahuddin yang ketika itu kerap manggung di Kampus UGM, Bulaksumur. Lewat teater ini, Emha mementaskan "Lautan Jilbab". Kemampuannya berteater sempat ditempa ketika mengikuti lokakarya teater di Filipina. Sementara, kepiawaiannya menulis diperdalam saat mengikuti "International Writing Program "di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Emha juga menjadi peserta dalam Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda, dan Festival Horizonte di Berlin, Jerman.

Dengan tingkat produktivitas yang tinggi itulah lahir dari tangannya berbagai buku, seperti "Slilit Sang Kiai", "Sajak- sajak Jalan", "99 untuk Tuhan", dan "Sastra yang Membebaskan".

Ketika ia kemudian memutuskan untuk masuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1990, banyak yang mencemoohkannya. "Kenapa kamu masuk ICMI, itu kan rekayasa." Begitu komentar orang-orang ketika itu. Emha pun jalan terus karena ia tidak mau bersikap apriori. Toh, Cak Nun akhirnya keluar juga dari ICMI gara-gara lembaga itu dinilainya tidak mau memikirkan kasus Kedungombo.

Ketika itulah, ia mendirikan kelompok Komunitas Pak Kanjeng yang diilhami oleh tokoh yang tergusur di Kedungombo bernama Pak Jenggot. Dalam kelompok inilah bergabung Butet Kartaradjasa dan Djaduk Ferianto, kakak beradik putra seniman Yogyakarta, Bagong Kussudiardjo.

Awalnya, pergelaran "Pak Kanjeng" itu, yang bercerita soal nasib sial orang gusuran, lancar-lancar saja. Mungkin karena Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, ketika itu menjamin tidak ada lagi pelarangan teater. Namun, awal Februari 1994, pementasan "Pak Kanjeng" terjegal di Surabaya. Padahal, saat itu, dua ribu calon penonton sudah membeli tiket. Emha diminta Kapolda Jawa Timur ketika itu, Mayjen Emon Rivai, untuk menghaluskan naskah bila ingin pementasan itu diberi izin.

Tapi, lelaki yang dijuluki "Kiai Mbeling" itu memilih tidak mementaskan "Pak Kanjeng" bila harus merevisi naskah. Sikap yang sama diambilnya juga ketika ada larangan untuk tampil di Yogyakarta, awal September 1994. Dalam kasus ini, ia menolak mencabut dua puisinya yang jadi urat nadi pementasan itu, yakni "Puisi Seadanya Mengenai Kepala" dan "Pantun Pantunan Indonesia Raya". "Mereka itu (aparat pemerintahan atau aparat keamanan) sebenarnya kan bukan melarang saya, tapi mereka takut kehilangan jabatan," katanya.

Meski dilarang di sana-sini, "Pak Kanjeng" tidak berhenti. Ia kemudian muncul dalam wajah lain yakni sebentuk kaset berjudul "Kado Muhammad", yang sudah terjual lebih dari 40 ribu kopi.

Sosoknya kini tampak semakin akrab di mata publik setelah ia muncul membawakan "filler" "Cermin" di "Indosiar" sejak awal tahun ini.

Bisa cerita soal "Cermin"?
Awalnya adalah kegelisahan akan tayangan yang kualitatif. Televisi itu kan industri, maka yang ditawarkan kepada orang adalah hiburan ringan dan impian-impian. Sedangkan acara yang agak kontemplatif, yang sifatnya menomorsatukan moral, tidak dapat sponsor. Lantas muncul gagasan, masak enggak bisa menyajikan barang semenit dua menit hal-hal yang sifatnya kontemplatif itu. Kebetulan, Pak Anky Handoko meminta saya membuat acara yang mirip gagasan saya itu.

Bagi saya, "Indosiar" itu luar biasa. Sebab, secara ekonomis, acara ini kan belum bisa menjanjikan apa-apa. Dan secara politik, ini bisa berbahaya. Karena itu, saya memuji "Indosiar" karena mau mengambil risiko. Meskipun saya juga harus toleransi, sehingga 75 persen bicara soal hal-hal yang universal, yang 25 persen baru bicara yang sedikit frontal: soal kekuasaan, soal nafsu untuk menguasai, atau tentang kesenjangan sosial. Alhamdulillah, masyarakat dari berbagai kalangan bisa menerima tayangan ini.

Salah satu niatan dari tayangan ini adalah untuk menciptakan tokoh Paman Bijak. Apakah Anda merasa bisa?
Kita tidak boleh merasa begitu. Tapi, kita juga butuh obyektivitas. Yang tampil di situ itu apa? Gambar orangnya? Isi yang diomongkannya? Atau figurnya? Misalnya tokohnya, tokoh itu kan harus menyatu dengan kalimat yang diungkapkan. Itu pun harus dengan pola ekspresi, dengan penggambaran visual
yang pas. Saya enggak tahu bagaimana orang menilai. Apakah itu membutuhkan ikatan batin masyarakat dengan saya langsung, atau cukup dengan kalimat saya.

Saya jadi ingat, "Kompas" dan "Republika" menulis bahwa saya mengutip puisi Khalil Gibran. Itu karena mereka enggak "ngerti"! Semua yang saya ucapkan itu kalimat saya. Kapan coba saya membawakan kalimat orang lain? Saya menulis buku saja enggak "ngutip" siapa-siapa...

Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon semakin keras terpaan angin, itu pula yang dialami Cak Nun. Semakin ia berkibar, semakin banyak isu yang mengguncangnya. Ia pernah mendapat kecaman ketika tiba-tiba memiliki sedan BMW. Menghadapi hal ini, Cak Nun malah mempertahankan mobil mewah yang sebenarnya jarang sekali digunakan. "Lo, itu kan hak saya," katanya. Menurut Emha, komentar-komentar miring soal BMW itu dilontarkan oleh orang-orang yang berpikiran kerdil. "Kok, mereka tidak marah melihat orang lain punya uang ratusan miliar. Sementara teman sendiri sekadar menikmati minuman manis sedikit saja tidak boleh," katanya kesal. Mereka, kata Emha, tidak pernah mau tahu bahwa sebagian besar uangnya disalurkan untuk fakir miskin, untuk anak yatim. Sekarang saja di rumahnya di Patangpuluhan, Yogyakarta, ada 16 anak yatim yang dipeliharanya.

Di saat lain, seorang wanita pernah mengaku punya anak dari Emha. Menghadapi hal ini, Emha cuma mengurut dada. Emha mengaku kenal wanita itu karena pernah menampungnya sekitar satu setengah tahun, saat wanita itu hamil dan kemudian melahirkan. "Dia mengakunya diperkosa," kata Emha.

Anda juga sekarang dicap sombong, arogan...
Saya memang sombong. Harus itu! Sombong kepada dunia itu wajib hukumnya. Yang tidak boleh sombong itu kepada Tuhan. Tapi, kepada dunia, kepada popularitas, kepada semua yang ada di dunia, harus sombong. Kepada uang, harta-benda, harus sombong. Kalau tidak, Anda hanya jadi budak dunia.

Benarkah Anda juga jadi dukun?
Begini, lo. Setelah Pengajian Padang Bulan, biasanya ada saja orang atau kelompok orang yang datang kepada saya untuk berkonsultasi. Setiap masalah yang datang, tetap saya kasih saran penyelesaian rasional. Tapi, kalau semua sudah buntu, baru saya kasih jalan yang lain, yang sifatnya spiritual.

Anda merasa punya kemampuan supranatural, sehingga dianggap dukun?
Enggak. Kita hanya memenuhi persyaratannya, tapi yang melakukan Tuhan. Kalau ada yang sembuh, itu bukan karena saya. Tuhan yang menentukan.

Benarkah Anda memiliki massa yang fanatik?


Saya tidak mengatakan saya punya massa. Bahwa saya punya teman banyak, iya. Bahwa saya merasa dekat dengan orang kecil, iya. Tukang-tukang angkut barang malah lebih dekat dengan saya. Saya bukan orang besar. Saya orang biasa. Kalau saya orang besar, saya terbatas.

Karena melihat Anda punya massa, Anda dulu pernah dirangkul PPP...

Saya tidak pernah di PPP. Waktu dulu itu, acara dialog dengan PPP, bukan kampanye PPP. Saya hanya menjadi tamu PPP. Kalau wartawan memberi cap saya sebagai orang yang berkampanye untuk PPP, ya, silakan. Padahal, kalimat saya yang pertama saja begini, "Saya salut kepada PPP yang dengan jantan dan demokratis berani mengundang orang independen seperti saya. Bagus itu."

Lantas, apa motivasi Anda untuk tetap independen?

Bagi saya, itu mempersempit. Kampanye itu wilayah yang sempit. Kalau kampanye, kita tidak bisa kontemplatif. Sekarang ini situasi saya selalu kontemplatif. Saya tidak butuh orasi. Kalau kampanye kan harus ada orasi. Bagi saya, orasi itu diperlukan kalau pas perang. Kalau situasinya darurat, kita harus perang melawan musuh, saya mau tampil sebagai orator, seperti Bung Tomo dulu. Kalau saya kampanye di PPP, saya harus memaki-maki Golkar? Atau kalau saya di Golkar, saya harus teriak memaki-maki yang lain? Saya enggak mau memaki-maki. La, "wong" saya ingin adil, kok. Kalau Golkar mengerjakan demokratisasi, saya dukung. Semua potensi demokratis di mana pun saya dukung. Harus begitu....[]

0 komentar: