Written By Cak Nun
Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia. Tentu karena rahmatNya, kasih sayangNya, perhatian dan barokahNya yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia.
Di segala segi. Alamnya tak ada jengkal tanah lain di bumi ini yang suburnya melebihi tanah Indonesia. Dalam sebuah album puisi musik saya pernah menyebut Indonesia sebagai “penggalan sorga” – yang para Wali mendendangkannya dengan membayangkan penghuni tanah air ingi berleha-leha: “Lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar…”. Yok Koeswoyo, anggota kelompok musik legendaris Koes Plus, putra termuda Pak Koeswoyo asal Tuban Kota Wali juga menyanyikannya dengan penuh ibarat: “Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jalan cukup menghidupimu……Tongkat dan kayu jadi tanaman…”
Gunung-gunungpun hijau. Sedangkan tiga Jabal Musa tempat ber-uzlah Nabi Juru Bicara Allah, kalimullah, jika Anda mendaki ke sana – bisa dengan gampang Anda hitung jumlah helai rumput kering yang ada di seluruh sisi tiga gunung itu. Negara-negara Arab mengimport tanah tropis dan tetumbuhan dengan biaya sangat mahal agar merasa hidup di dunia dan bukan di planet Mars.
Mesir menciptakan teknologi perkebunan karena memimpikan lingkungan hidup seperti di Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi eksportir apel, anggur dan mangga. Sementara Indonesia yang subur makmur tanahnya tentu saja tidak perlu menjadi eksportir seperti itu, karena toh bisa menanam anggur, apel dan mangga kapan saja. Bahkan Indonesia menunjukkan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan pesawahan dan peradaban padi suku bangsa Jawa tidak ada tandingannya di dunia.
Itu bukan karena orang Jawa pemalas dan bukan karena managemen pemerintahan Indonesia bodoh, melainkan karena bangsa kita tidak perlu cemas: sewaktu-waktu bisa menanam padi sambil tidur dan memaneninya sambil mengantuk – sebagai rasa syukur kepada Allah atas anugerah alam subur indah dariNya. Bung Karno dulu berkunjung ke Mesir membawa biji mangga yang kemudian menjadi salah satu sumber penghidupan penduduk Mesir. Sekarang omset penghasilan mangga Indonesia kalah dari Mesir, karena memang Indonesia tidak perlu ngoyo, sebab kita sudah kaya raya.
Cobalah perhatikan dan teliti kembali antropologi dunia dan khususnya bangsa Indonesia. Kita penduduk Jawa dan tanah air bukan homo erectus yang dulu musnah itu. Juga bukan bagian murni dari homo sapiens yang merupakan cikal bakal manusia modern. Sejak zaman homo erectus kita sudah ada sebagai jenis makhluk tersendiri. Beranak pinak sampai sekarang dan mungkin penduduk tanah air sekarang ini adalah campuran antara makhluk khusus itu dengan cipratan-cipratan sebagian kecil homo sapiens.
Kekhususan antropologis itu membuat kita memang berbeda dari manusia lain di muka bumi. Kelakuan kita beda, kecenderungan fisik dan mental kita beda. Watak dan aspirasinya beda. Cita-cita dan gaya hidupnya beda. Susunan sel, partikel-partikel jasadiyah, struktur saraf, dan organ-organ biologis lainnya dalam tubuh kita berbeda. Juga kejiwaannya. Kita mampu memadukan malaikat dengan setan dalam situasi sangat damai. Kita bisa menjajarkan kebaikan dan keburukan dalam suatu harmoni yang indah. Kita mampu mendamaikan kesedihan dengan kegembiraan, kesengsaraan dengan pesta pora, krisis dengan joget-joget, keprihatinan dengan kesombongan, kemelaratan dengan kemewahan, dan apa saja yang pada homo sapiens murni harus dipilah – pada kehidupan kita dikomposisikan sedemikian rupa.
Maka dalam manajemen sejarah kebangsaan dan kenegaraan juga kita santai-santai saja, karena segala sesuatunya pasti OK. Stok pemimpin nasional kita sangat melimpah. Dipimpin oleh kualitas medioker seperti Bu Megawati saja negara bisa beres – padahal kita masih punya sangat banyak calon presiden dan pemimpin lain yang kualitasnya jauh lebih mumpuni. Ibarat makanan, yang kita hidangkan di meja ala kadarnya saja – toh kita semua tahu sesungguhnya kita memiliki simpanan makanan-makanan yang bermacam-macam yang lezat dan bergizi.
Kalau sampai Anwar Fuadi menjadi presiden, betapa negeri ini akan penuh tawa dan keriangan. Jika Bambang Yudhoyono yang memimpin, tentu negara kita akan sangat tertib namun cerdas, rapi namun kreatif, agak kaku namun makmur. Andai Sri Sultan Hamengkubuwono X yang nanti memimpin, rasional bagi seluruh bangsa kita untuk membayangkan keadilan dan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz – bahkan mungkin pada diri Raja Yogyakarta Hadiningrat ini terdapat gabungan dari berbagai karakter unggul: keagungan Sultan Agung, kependekaran Panembahan Senopati, kesaktian Mas Karebet, kedewasaan Raden Patah, kemuliaan dan kearifan Walisongo, bahkan mungkin juga kecerdikan Raden Wijaya, kedalaman batin Kertanegara, kharisma Tribhuana Tunggadewi, kebesaran Gajah Mada, dan lain sebagainya.
Jika Nurkhalis Madjid yang memimpin negeri ini, seluruh dunia akan terperangah, penduduk di berbagai negara belahan bumi lain akan terbangun dari tidurnya, semua jenis tetumbuhan dan pepohonan akan menjadi lebih segar, kecemerlangan akal dan intelektualitas akan tegak dan menyinari dunia. Apabila Gus Dur yang kembali ke Istana maka pasti rakyat sudah lebih maju langkah pikirannya, karena dulu ketika beliau menjadi presiden: kebanyakan kita masih kuper, belum luas wawasan, belum dewasa pengalaman, sehingga banyak tidak memahami sepak terjang beliau. Sekarang kita sudah banyak belajar dan siap untuk membangun keasyikan bersama kepemimpinan Gus Dur.
Mesir menciptakan teknologi perkebunan karena memimpikan lingkungan hidup seperti di Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi eksportir apel, anggur dan mangga. Sementara Indonesia yang subur makmur tanahnya tentu saja tidak perlu menjadi eksportir seperti itu, karena toh bisa menanam anggur, apel dan mangga kapan saja. Bahkan Indonesia menunjukkan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan pesawahan dan peradaban padi suku bangsa Jawa tidak ada tandingannya di dunia.
Itu bukan karena orang Jawa pemalas dan bukan karena managemen pemerintahan Indonesia bodoh, melainkan karena bangsa kita tidak perlu cemas: sewaktu-waktu bisa menanam padi sambil tidur dan memaneninya sambil mengantuk – sebagai rasa syukur kepada Allah atas anugerah alam subur indah dariNya. Bung Karno dulu berkunjung ke Mesir membawa biji mangga yang kemudian menjadi salah satu sumber penghidupan penduduk Mesir. Sekarang omset penghasilan mangga Indonesia kalah dari Mesir, karena memang Indonesia tidak perlu ngoyo, sebab kita sudah kaya raya.
Cobalah perhatikan dan teliti kembali antropologi dunia dan khususnya bangsa Indonesia. Kita penduduk Jawa dan tanah air bukan homo erectus yang dulu musnah itu. Juga bukan bagian murni dari homo sapiens yang merupakan cikal bakal manusia modern. Sejak zaman homo erectus kita sudah ada sebagai jenis makhluk tersendiri. Beranak pinak sampai sekarang dan mungkin penduduk tanah air sekarang ini adalah campuran antara makhluk khusus itu dengan cipratan-cipratan sebagian kecil homo sapiens.
Kekhususan antropologis itu membuat kita memang berbeda dari manusia lain di muka bumi. Kelakuan kita beda, kecenderungan fisik dan mental kita beda. Watak dan aspirasinya beda. Cita-cita dan gaya hidupnya beda. Susunan sel, partikel-partikel jasadiyah, struktur saraf, dan organ-organ biologis lainnya dalam tubuh kita berbeda. Juga kejiwaannya. Kita mampu memadukan malaikat dengan setan dalam situasi sangat damai. Kita bisa menjajarkan kebaikan dan keburukan dalam suatu harmoni yang indah. Kita mampu mendamaikan kesedihan dengan kegembiraan, kesengsaraan dengan pesta pora, krisis dengan joget-joget, keprihatinan dengan kesombongan, kemelaratan dengan kemewahan, dan apa saja yang pada homo sapiens murni harus dipilah – pada kehidupan kita dikomposisikan sedemikian rupa.
Maka dalam manajemen sejarah kebangsaan dan kenegaraan juga kita santai-santai saja, karena segala sesuatunya pasti OK. Stok pemimpin nasional kita sangat melimpah. Dipimpin oleh kualitas medioker seperti Bu Megawati saja negara bisa beres – padahal kita masih punya sangat banyak calon presiden dan pemimpin lain yang kualitasnya jauh lebih mumpuni. Ibarat makanan, yang kita hidangkan di meja ala kadarnya saja – toh kita semua tahu sesungguhnya kita memiliki simpanan makanan-makanan yang bermacam-macam yang lezat dan bergizi.
Kalau sampai Anwar Fuadi menjadi presiden, betapa negeri ini akan penuh tawa dan keriangan. Jika Bambang Yudhoyono yang memimpin, tentu negara kita akan sangat tertib namun cerdas, rapi namun kreatif, agak kaku namun makmur. Andai Sri Sultan Hamengkubuwono X yang nanti memimpin, rasional bagi seluruh bangsa kita untuk membayangkan keadilan dan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz – bahkan mungkin pada diri Raja Yogyakarta Hadiningrat ini terdapat gabungan dari berbagai karakter unggul: keagungan Sultan Agung, kependekaran Panembahan Senopati, kesaktian Mas Karebet, kedewasaan Raden Patah, kemuliaan dan kearifan Walisongo, bahkan mungkin juga kecerdikan Raden Wijaya, kedalaman batin Kertanegara, kharisma Tribhuana Tunggadewi, kebesaran Gajah Mada, dan lain sebagainya.
Jika Nurkhalis Madjid yang memimpin negeri ini, seluruh dunia akan terperangah, penduduk di berbagai negara belahan bumi lain akan terbangun dari tidurnya, semua jenis tetumbuhan dan pepohonan akan menjadi lebih segar, kecemerlangan akal dan intelektualitas akan tegak dan menyinari dunia. Apabila Gus Dur yang kembali ke Istana maka pasti rakyat sudah lebih maju langkah pikirannya, karena dulu ketika beliau menjadi presiden: kebanyakan kita masih kuper, belum luas wawasan, belum dewasa pengalaman, sehingga banyak tidak memahami sepak terjang beliau. Sekarang kita sudah banyak belajar dan siap untuk membangun keasyikan bersama kepemimpinan Gus Dur.
(Bersambung).
0 komentar:
Posting Komentar