Written By CAK NUN
Banyak orang mengejek bangsa Indonesia dengan perkataan begini:
“Dulu Indonesia adalah gurunya Malaysia. Dalam segala hal. Malaysia adalah bangsa serumpun yang masih imut-imut sehingga memerlukan bimbingan kakaknya yang besar dan berwibawa. Mahathir belajar serius kepada Bung Karno dalam hal penanganan nasionalisme dan kewibawaan bangsa. Kemudian ia juga belajar kepada Pak Harto dalam soal ketegasan managemen pembangunan”.
“Guru-Guru Indonesia diserap oleh Malaysia. Dari pedagang makanan sampai presiden Malaysia belajar kepada Indonesia. Tapi perkembangannya kemudian secara sangat cepat berbalik. Hari ini Indonesia tidak ada apa-apanya dibanding Malaysia, dalam managemen kenegaraannya, penanganan pembangunannya, peningkatan SDMnya, bahkan di bidang apa saja. Sekarang bekas-bekas guru dari Indonesia ini prestasinya terbatas pada pengiriman ‘pendatang haram’ alias tenaga kerja gelap di Malaysia...”
“Malaysia adalah murid yang cerdas dalam mempelajari ajaran gurunya serta tekun dalam mempraktekkannya, sehingga dalam perkembangannya ia mampu melampaui kemampuan gurunya. Indonesia adalah Guru yang pandai namun pemalas dan agak sok pinter, sehingga tidak benar-benar memperhatikan ajaran-ajaran yang ia berikan kepada muridnya, dan akhirnya ia tertinggal jauh dari muridnya”.
“Malaysia adalah adik yang rendah hati, agak penakut namun rajin dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan hidupnya. Indonesia adalah kakak yang gagah, berwibawa, namun di dalam jiwanya terdapat kesombongan yang serius, dan memiliki kecenderungan untuk hanya bermain-main dalam hidupnya. Secara sekilas Indonesia kelihatannya unggul, tapi dalam jangka panjang sesungguhnya si kakak ini tak ada apa-apanya”.
Banyak macam lagi cara orang merendahkan Indonesia. Dalam berbagai forum ilmiah, teurtama yang berskala internasional, seringkali Indonesia menjadi bulan-bulanan dan disimpulkan sebagai bangsa yang tidak punya bakat untuk mengalami kemajuan yang signifikan.
Biasanya, jika ada orang Indonesia di tengah-tengah ejekan itu, tak ada jawaban atau bantahan, sehingga semua orang di dunia makin yakin terhadap pencitraan tentang Indonesia yang mereka ciptakan sendiri.
Tentu saja bagi setiap orang Indonesia yang bermental Indonesia: adegan semacam itu akan membuatnya geli dan tersenyum gembira. Bukan tersenyum kecut. Orang Indonesia tidak membantah citra semacam itu, sebab kalau dibantah akan menjadi diketahui orang siapa sesungguhnya Indonesia. Orang Indonesia membiarkan masyarakat dunia mengejeknya, justru supaya tercipta kesan seperti itu tentang Indonesia. Itulah yang namanya kearifan.
Memang salah satu kehebatan bangsa Indonesia adalah kesanggupannya menciptakan citra di mata dunia bahwa dirinya dekaden, bodoh, kacau, miskin, mental buruk dan moral rusak. Itulah pendekar sejati. Kalau Anda seorang yang alim saleh dan tampil dengan lambang-lambang kealiman dan kesalehan, misalnya berpeci, pakai surban dll – berarti kerendah-hatian Anda belum sempurna.
Untuk memaksimalkan kesalehan justru Anda harus menutupi kesalehan diri itu, jangan sampai ketahuan orang lain. Banyak orang Indonesia yang menghindar jangan sampai orang tahu bahwa ia rajin sembahyang, supaya orang tidak memujinya, sebab pujian itu racun. Banyak kelompok-kelompok yang mencegat kendaraan di jalanan untuk meminta infaq pembangunan masjid – tujuannya supaya mereka disangka tidak punya uang untuk membangun masjid. Tujuan yang lebih mendalam adalah supaya mereka dikira pengemis.
Bahkan ada orang yang makan di siang hari bulan Ramadlan, dengan maksud supaya orang menyangkanya tidak berpuasa. Demikian jugalah kita tampil di depan mata Malaysia dan dunia dengan performance yang kumuh, agak gila, serabutan, awut-awutan, tak mengerti managemen dlsb. Padahal sesungguhnya itu semua hanya gaya, hanya penampilan luar. Bukan substansi kepribadian kita. Bagaimana identitas kita yang sesungguhnya, tak usahlah dunia mengetahuinya, cukup Tuhan saja.
Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-haripun punya kecenderungan kerendahan hati yang luar biasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, sehingga tidak membutuhkan kebesaran. Orang yang masih mengejar kebesaran adalah orang yang masih kecil atau kerdil. Orang yang masih sibuk mengejar proyek dan kekayaan berarti dia orang miskin. Indonesia tidak pernah mengejar-ngejar kemajuan, karena sudah maju. Indonesia tidak pernah bernafsu terhadap kehebatan, karena aslinya memang sudah hebat.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodohpun kita tetap besar. Dengan bekal mental kerdilpun kita tetap besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hinapun bangsa kita tetap bangsa yang besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar.*
0 komentar:
Posting Komentar