Cak Nun: Yang Saya Lakukan, Melawan Arus

Kompas, 27 Juni 1993

Sulit merumuskan siapa Cak Nun ini. Dia dikenal sebagai penyair, pendiri grup teater Dinasti, sebuah grup teater yang pernah sangat berpengaruh di Yogyakarta, rajin menulis  kolom di sejumlah penerbitan, berceramah di mana-mana hampir tentang apa saja, memberikan pengajian, seminar, termasuk juga memberikan konsultasi psikologi maupun parapsikologi atau bahkan menjadi 'paranormal'. .

Kegiatan Anda ini seolah seperti kegiatan kiai-kiai tradisional di Jawa Timur yang rajin mengunjungi umat dan memberikan dalam hal apa pun?

Kata orang begitu. Ada orang merasa haus, dan saya dianggap bisa memberikan minuman. Kadang-kadang terpaksa saya lakoni, karena tak bisa mengelak. Tapi, saya sendiri sebenarnya tidak dianggap oleh orang Islam. Kalau saya bayangkan diri saya secara stratifikasi sosiologisnya umat Islam, begini kira-kira: masjid itu  ada halaman, ada ruang dan ada mimbar. Saya  itu di bagian halaman itu, atau kalau di dalam ruang, ya masih boleh di dekat-dekat mimbar, tapi tidak di mimbarnya. Artinya, saya boleh merasa diri saya ini melakukan pekerjaan cendekiawan muslim, melakukan pekerjaan ulama, tapi toh saya tidak akan pernah terdaftar di dalam situ...
 
Artinya Anda merasa selalu berada di pinggiran?
Mungkin memang begitu. Dalam kegiatan Islam begitu, dalam politik begitu, dalam kesenian begitu. Meskipun buku puisi saya banyak, mungkin yang terbanyak di antara penyair Indonesia, tapi ya itu, isinya memalukan semua. Kadang-kadang saya malah tidak tahu kalau kumpulan puisi saya terbit, seperti yang terakhir itu. Teman-teman merasa berhak. Mereka mencari dan mengumpulkan puisi-puisi saya lalu menerbitkannya. Padahal, kalau bilang pada saya, kan saya masih bisa memperbaiki... Dalam kesenian, memang saya masih punya obsesi.

Bagaimana sampai Anda terlibat dalam berbagai hal seperti sekarang ini?

Sebetulnya saya ini hanya tangan panjang  dari gagasan hidup ibu saya. Ibu kan pekerja sosial sampai sekarang. Dalam skala kecil di desa dan sekelilingnya. Lewat kegiatan agama,  lalu masuk ke masalah sosial ekonomi.

Persisnya kegiatannya itu apa?

Kegiatan itu namanya UB. Usaha Bersama. Awalnya grup Yasinan. Itu sebenarnya tradisi ayah saya. Lama-lama, "Lho, masak, cuma Yasinan, thok?" Anak kan harus sekolah? Butuh biaya dan lain-lain. Begitulah awalnya. Mbok jumputan begitu. Maka jadilah jumputan (mengumpulkan beras sejumput-sejumput setiap tiap keluarga). Lalu muncul lingkar-lingkar koperasi yang diorganisir sendiri-sendiri. Maksud kegiatan ini sebenarnya tidak untuk  mengubah nasib. Kalau dulu besok makan apa belum tentu, sekarang memang sebulan ke depan sudah pasti makan. Jadi ini sebenarnya sebentuk sharing  sosial begitu saja. Sekarang memang tidak jumputan lagi, tapi iuran. Uang pangkal Rp. 200, dan iuran Rp. 25 per bulan. Sampai sekarang masih begitu, tidak boleh naik. Dari sini, kemudian, pelan-pelan sekali mereka bikin toko, mereka kulakan  sendiri, dan jualan sendiri. Terus makin berkembang, makin bisa menjamin hidup mereka, dan jadi berbagai bentuk kegiatan.

Jadi ini bukan untuk memakmurkan mereka, tapi hanya manifestasi gagasan bahwa orang hidup itu ya kebersamaan sosial, saling memperhatikan kesejahteraan satu sama lain. Yang namanya agama itu, ya, mengabdi untuk itu. Yang namanya shalat, ya, mengabdi untuk itu. Yang namanya kesenian, ya, diperlukan untuk kebersamaan sosial itu. Begitu, kan? Titik beratnya, memang hidup kebersamaan.

Bagaimana caranya orang tidak ada yang lapar sekali. Ketika saya kemudian terlibat jadi penyair, jadi apa...bikin naskah drama, terus terlibat kesenian modern yang estetikmania itu, terus yang sangat berkaitan dengan eksistensi karier seseorang ... saya ya tidak masuk. Saya lakoni  saja. Orang mungkin mengukur saya dari ukuran kesenian, tapi saya sendiri tidak berpikiran demikian.

Anda dekat sekali dengan ibu rupanya?

Ilmu-ilmu formal, ya, dari ayah. Tapi hati sosial, ibu. Ibu menggendong bayi sebanyak 15 kali. Kalau yang satu sudah agak besar, yang satu itu dituntun, sementara yang digendongan yang bayi. Ibu rajin sekali keliling desa mengurusi UB itu. Saya mengalaminya, saya diperkenalkan dengan kegiatan itu oleh ibu. Ibu selalu ke rumah orang-orang di kampung. Tanya-tanya, dilihat dapurnya, gimana anak kamu...?

Kalau saya ditanya idola saya, ya ibu saya. Kalau saya ditanya kenapa bisa aktif terus, ya, karena ibu saya, terutama etos kerja ibu saya, karena doa ibu saya. Hebatnya lagi, ibu selalu datang saat saya menghadapi saat-saat gawat, saat-saat di mana saya sukar untuk memutuskan sesuatu, saat-saat berat dalam hidup saya. Tanpa diundang, pasti ibu tahu-tahu dia muncul. Umpamanya, saat saya dibujuk-bujuk terus untuk ikut kampanye PPP. Saya bingung. Ashadi Siregar*  menganggu saya terus. "Sudah tidak apa-apa. Berjuang, nanti masuk surga," katanya. Kurang ajar kan itu. PPP juga nggak tahu diri, membujuk terus. Padahal saya sudah berusaha meletakkan diri saya untuk  independen.

Ibu saya memberi jalan keluar. "Sudah maju saja, Nak. Yang salah, salahkan. Yang benar, benarkan. Tidak penting kamu di mana, dan dengan siapa," kata ibu. Universal sekali kan? Jadi, tidak penting ada di mana, yang penting kan bagaimana bersikap. Sikap itu nilainya.

Maka saya turun di kampanye tahun 1987 itu. Saya pidato mengejek para tokoh PPP.  "Wakil-wakil Saudara ini lima tahun sekali ngemis-ngemis. Nanti, selesai pemilu, sudah nggak nongol lagi. Ya, saya tunjuk-tunjuk gitu...

Jadi Anda ada di mana-mana, tapi tidak jadi bagian dari mana-mana?

Saya ini memang entengan dan gampangan membantu orang, tapi saya bukan jadi bagiannya. Umpamanya seperti saya membantu pentas Siswono (Menteri Transmigrasi). Saya membantu saja, membantu secukupnya, tidak ada urusan dengan karier saya atau apa. Enggak ada urusannya. Saya membantu seperti saya saya membantu setiap orang. Entah itu itu sopir taksi, atau orang cari modal. Bagi saya sama saja. Sisiwono butuh pentas, ya saya buatkan puisi mendadak menjelang pentas. Bagi saya, pentas di RT atau di Gedung Kesenian itu sama substansinya. Bahwa di Gedung Kesenian itu skalanya nasional, kan karena ada ukuran-ukuran vertikal yang boleh tidak berlaku pada saya.

Anda berlatih untuk mencapai sikap enteng begitu?

Latihan saya antara lain melakukan yang tidak saya sukai dan tidak melakukan yang saya sukai. Itu latihan tarekat, tarekat saya sendiri. Kalau orang Jawa menyebutnya tirakat. Artinya, saya juga tidak sayang dengan kesempatan-kesempatan yang besar. Sudahlah, nanti kan juga datang lagi...

Itu bukan proses yang sebentar? Mungkin bisa Anda ceritakan riwayat dari SD sampai masuk Universitas Gadjah Mada?

Saya tidak merdeka dari ambisi, dari obsesi untuk eksis. Tapi, sejak semula hal itu seimbang dengan naluri saya untuk nanting (menawar, menantang dan menggugat) terus. Di SD di Jombang saya pertama kali diusir dari sekolah. Ini gara-gara saya merasa guru saya tidak betul. Lalu saya lompati meja dan saya tendang guru itu. Lha, saya ya dikeluarkan. Bapak tidak berani marah pada saya, karena takut saya minggat. Sebelumnya saya pernah minggat sampai ke Krian. Lalu saya dipindah ke Gontor. Di situ saya dikeluarkan lagi gara-gara demonstrasi terhadap keamanan. Penyulutnya, oknum keamanan itu nyolong sandal. Tapi, masalah pokoknya, ya, ketidakadilan. Saya spontan saja corat-coret. Akhirnya  saya diusir, istilahnya matrud, bahasa Arabnya. Saya  tidak merasa apa-apa, tidak sayang gitu. Ayah-ibu yang bingung. Saya sih gampang saja. Angon kambing lagi. Jadi saya nggak punya orientasi ke depan. Saya mengalir saja. Masa depan ya masa bodoh. Akhirnya saya diajari ayah tentang Kitab Kuning. Di Gontor  malah tidak ada Kitab Kuning itu. Ayah saya kan tamatan pesantren Tebuireng.

Akhirnya saya sampai ke Yogya. Di sinilah saya terjangkit ambisi manusia modern, sampai saya masuk fakultas ekonomi. Jadi bangkai, kalau istilah saya sekarang. Artinya, kalau saya ingin ke suatu fakultas, sesungguhnya bukan saya yang ingin. Itu sesungguhnya pesanan-pesanan dari luar diri saya. Lalu saya ketawa sendiri. Gimana, sih, ini? Saya melihat itu tidak konkret. Ya, sudah. Saya berhenti di semester pertama. Pencerahannya saat ujian semester hari kedua. Ujian akonting. Saya lihat-lihat soalnya, sampai mati saya juga tidak akan bisa. Ya, sudah. Saya pergi. Tanpa pamit. Terus jadi penyair.

Kok milih jadi penyair?

Saya sudah menulis saat itu. Ayah saya kan sudah meninggal. Hidup kami dililit problem luar biasa. Kami harus terus menghidupkan sekolah yang didirikan ayah. Ayah mati kecelakaan membawa sertifikat. Sepulang dari bank menukarkan uang dengan sertifikat sekolahan, rumah, masjid. Uang hilang karena kecelakaan itu. Sertifikat juga hilang. Padahal, uang tadi akan digunakan untuk membayar hutang. Apalagi ibu sedang hamil tujuh bulan.

Kalau kami bersaudara 10 orang yang sudah besar saat itu bekerja semua, belum tentu bisa melunasi hutang dengan cepat. Orang hutangnya macam-macam. Ada yang jutaan, ada yang ratusan ribu. Belum lagi yang berwujud beras, gula dan lain-lain. Barang di rumah sudah habis-habisan. Jadi, keputusan untuk keluar dari fakultas ekonomi itu berat. Untuk bisa membayar hutang, kan saya harus punya keterampilan . Tapi, naluri saya mengatakan, sudah kerja saja. Lalu, saya usaha stensilan dengan kakak.

Saya jadi tukang ketik. Yang kita stensil waktu itu majalahnya HMI. Itulah proses saya belajar menulis. Dari tukang ketik saya jadi editor. Anak-anak HMI itu  kadang-kadang kurang banyak memberi naskahnya. Ya, saya isi sendiri. Saya pakai nama siapa saja. Tumbuh rasa percaya diri saya.

Dengan latar belakang di atas dan kegiatan Anda sekarang ini, apa yang membuat Anda tertarik membicarakan masalah nasionalisme, seperti dalam pementasan Sang Saka beberapa waktu lalu?

Yang jelas bukan untuk mencari uang. Itu haram hukumnya untuk saya. Juga bukan untuk popularitas. Saya bekerja untuk nasionalisme, bukan untuk Siswono. Entah Siswono ada maksud apa, saya nggak peduli. Sama saja kalau shalat Jum'at, saya kan tidak tanya pada tiap orang, "Hei kamu ini mau apa shalat." Perkara hati orang, apa motivasi di baliknya, saya tidak tahu.



Kalau pentas tadi ditaruh dalam setting sosial dan politik sekarang?

Dengan setting demikian, saya merasa terpanggil untuk bergerak. Soal nasionalisme saya merasa harus ikut. Saya kira hal itu harus dimunculkan sekarang. Dan itu juga yang diam-diam mendorong bawah dan atas sadar saya. Kita ini butuh naluri kenegarawanan. Kenegarawanan itu adalah bagaimana manusia tetap dimanusiakan, meskipun kita harus memakai sistem-sistem tertentu. Sistem itu kan dalam hal tertentu meredusir manusia. Misalnya, KTP. KTP itu penting, tapi ini administratif saja, jangan sampai KTP itu lebih penting dari manusianya. Persoalannya sekarang, kita harus kembali memanusiakan diri, gitu, lho. Sesudah kita bermain-main ekonomi, bermain-main politik, lalu, bagaimana manusia itu tetap terpelihara. Begitu. Nah, saya lihat pembangunan kita kelemahannya adalah dalam hal itu  selama ini.

Orang semacam saya ini tugasnya,  kalau ada orang terlalu ke utara, ditarik ke selatan. Mungkin ini sudah menjadi naluri orang seperti saya yang berada dalam titik orbit tertentu: selalu menarik ke titik tengah, titik adil hidup bersama.

Kebetulan sekarang yang sedang merajalela Islam, tapi saya sendiri tidak pernah mempersepsikan begitu. Saya menganggap bahwa konteks politik suprastruktur sekarang ini tidak punya pilihan lain keculai bersandar ke situ, tapi Islam di situ sebetulnya kan sebuah reduksi.

Maksudnya?

Itu  tidak ada hubungannya dengan mayoritas komunitas Islam. Islam di Indonesia ini satu-satunya Islam yang kultural. Islam Arab itu  Islam fiqih. Islam Iran  Islam Teologi Teokrasi. Kalau kultur itu elastis, beda dengan konservatisme Arab. Islam pertama yang masuk ke Indonesia itu tasawuf dan wali. Semua wali itu kan sufi.

Bahwa sekarang muncul gerakan yang lebih bersifat fiqih,  itu karena tidak bisa mengantisipasi perubahan dan perkembangan zaman. Tumbuhnya pesantren sebenarnya juga karena tidak mampu berperang secara frontal kepada Belanda. Sekarang, orang berpikir soal korupsi, konglomerasi, penyunatan uang bandes dan lain-lain. Akhirnya? Pokoknya jangan dilarang untuk shalat. Itu sisa-sisa dari yang sisa dalam agama. Sembahyang di sini jadi lebih bersifat eskapis, tidak bedriri sebagai subyek dari serjarah. Sekarang ini orang yang menggusur dan yang digusur sembahyang bersma-sama...Shalat di sini tidak berfungsi sosial, tapi sebagai personal survival...

Jadi ada semacam surutnya wajah kultural Islam?

Ya. Saya kira cukup terjadi dekulturisasi. Saya kira karena serangan modernisasi itu tidak bisa ditanggapi secara cukup tatag. Pokok masalahnya itu, tidak bisa menjawab tantangan. Misalnya, begini. Sekarang ada cendekiawan muslim, ada ulama. Secara etimologis sama, tapi secara sosiologis beda. Ulama dibesarkan oleh tradisi kecendekiawanan santri, sedang cendekiawan muslim itu masalah kemauan. Cendekiawan muslim itu punya konteks, punya kepercayaan diri mondial, tapi mereka punya inferioritas primordial, dalam arti mereka kalah soal ayat, kalah fasih. Sebaliknya kiai-kiai pesantren punya kepercayaan diri  besar  primordial kepesantrenan, tapi kalah di bidang yang 'kebarat-baratan'. Karena itu, mereka tidak merasa sreg  kalau tidak pakai istilah Iggris.

Kesimpulannya?

Menurut saya --tidak usah kita sesali-- sekarang kita sedang menyelenggarakan 'jahiliahisasi', pembodohan.

Yang Anda lakukan dengan seminar, ceramah, konsultasi dan lain-lain?

Ya..... saya melawan arus. Saya memang selalu begitu. Selalu berusaha membongkar apa yang harus saya bongkar, dalam arti cara berpikir orang. Fokus saya sekarang ada tiga. Yang pertama membongkar cara berpikir orang. Kedua, menyadarkan akan bahaya imunitas terhadap keadaan. Umpamanya, orang sudah terbiasa berpikir bahwa yang paling atas itu presiden, lalu berturut-turut di bawahnya ada MPR, DPR, menteri...RT, RW lalu rakyat. Kita ini paling atas. Semar, kok. Dewa segala dewa. Itu kan cara berpikir. Yang kedua ini, misalnya, koran harus punya SIUPP, izin terbit, izin cetak, izin edar, izin macam-macam Lama-lama mahasiswa kok percaya memang harus begitu. Mereka harus jadi anggota PWI. Mereka jadi tidak sadar, jadi imun, tidak tahu lagi nilai-nilai dasar secara jernih dalam soal bernegara, berdemokrasi, kewajiban sosial dan lain-lain.

Sekarang ada anak camat memerintah lurah. Semua orang tahu, tapi tidak merasa bersalah. Atau Anda harus bikin Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB). Polisi kok ngasih SKKB. Ulama dan pastur saja belum tentu punya otoritas, lha ini kok polisi...banpres itu sampai ke bawah itu kan hanya 30 atau 40 persen. Tapi, siapa yang mengatakan itu  korupsi.

Yang ketiga?

Saya sering menggoda. Saya tunjukkan cara-cara latihan. Anggap hidup ini lebih sukar. Jadi mulailah latihan. Yang salah selama ini kan dakwah pemerintah: meningkatkan standar hidup. Ini salah! Yang ditingkatkan itu kemampuan untuk mencari uang, kemampuan untuk sejahtera, tapi standar tidak boleh ditingkatkan. Standar itu tetap. Makan sehari, ya cuma tiga kali sehari. Pakaian tiga atau empat, ya cukup. Kalau  Anda punya mobil, standarnya tetap sepeda, syukur-syukur cuma jalan. Apa kamu punya mobil, anggap saja sebagai rezeki besar. Kalau standarmu ikut mobil, nanti kalau hanya pakai motor, terus malu, terus sengsara. Orang  tidak pernah puas sampai kapan pun.  Karenanya, orang menjadi merasa miskin terus.

Hal ini penting untuk orang-orang di sekitar saya. Yang datang pada saya,  mereka semua itu  calon-calon koruptor. Bagaimana, tuh? Wong mereka diiming-iming oleh standar-standar itu.

Dari mana Anda belajar ber-'pokrol' macam itu?


Dari ludruk.
 
Tamu Anda yang seolah tanpa henti itu siapa saja?

Tamu saya itu orang-orang yang rada-rada, agak sukar saya perhitungkan, kenapa mereka datang ke sini, dan bagaimana proses kontaknya? Yang jelas mereka itu yang darurat-darurat gitu.

Jelasnya?

Ya, macam-macam. Ada gadis yang kena sipilis, tapi nggak tahu mau mengadu kemana. Terus ada juga gadis yang hamil dan mengaku diperkosa dan seminggu kemudian si prianya ditabrak mobil. Dia tak berani mengaku kepada ayahnya, seorang kiai di daerah Grobokan. Dia minta dibantu untuk menggugurkan kandungannya. Jelas tak mungkin. Saya bujuk, dan saya kostkan di suatu rumah, saya biayai terus sampai anaknya lahir. Ada lagi gadis umur 26 tahun yang betul-betul diperkosa, dan sekarang dalam keadaan yang tidak normal pikirannya. Atau juga sopir, lalu orang-orang Kedungombo yang masih bertahan soal ganti rugi.

Memang aneh-aneh orang yang datang itu. Ada juga yang datang minta modal. Termasuk tertipu juga, saya. Atau diminta mendoakan orang yang sedang sekarat, tapi tidak bisa meninggal, karena dia punya jimat. Kalau saya diminta begitu, tentunya Tuhan  memberi jalan. Ya, saya mohon. Pada siapa lagi saya harus memohon. Pokoknya banyak sekali kasus-kasus yang sangat absurd yang harus saya hadapi.

Lalu bagaimana menyiasati hidup Anda sendiri?

Ya, saya harus pakai ilmunya Gusti Allah. Saya tidak bisa menghitung. Artinya, kalau kau memberi satu butir padi, Gusti Allah akan memberi tujuh ratus butir. Banyak, kan? Ya, saya jalan lurus saja. Mau bagaimana? Saya kan juga harus membiayai guru-guru yang mengajar di sekolah ayah. Saya menulis di kolom Surabaya Post itu untuk membiayai guru-guru itu. Bukannya saya ingin menulis. Saya hanya bisa mengikuti arus air saja. Pada Gusti Allah saya hanya bisa minta 'lulur', supaya tidak ada yang nempel saat mengikuti arus itu.

Anda sendiri masih menduda terus sekarang, meski banyak gosip dengan nama-nama terkenal?

Yang melamar saya banyak. Ada orangtua, ada kiai. Saya tidak bisa menjawab. Saya diberi Tuhan, dipinjami sejumlah pengetahuan tentang banyak hal, tetapi untuk masalah satu itu gelap pekat. Wah, keluar kepenyairannya, bingung. Saya kira saya berusaha terus, serius, tetapi kelihatannya tidak bisa dalam setahun ini. Calon saya, ya terserah. Saya sudah menyenang-nyenangkan diri, sudah saya tumpah-tumpahkan hati saya. Cinta itu  suatu yang mandiri, tidak berkurang tidak bertambah. Kalau tidak ada yang menerima, dia melesat ke atas.... Jadi, cinta itu bukan kepada siapa, tapi terjadi dalam pergesekan hidup.... []

Djoko Purnomo & JB Kristanto

0 komentar: