Bharata Yudha 2004

Written By Emha Ainun Nadjib


MENJELANG Oktober 2003, ada yang memberitahu saya bahwa sejumlah investor dalam dan luar negeri menyebarkan dana yang jumlahnya sangat besar ke sejumlah wilayah di negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk membiayai perekayasaan suatu rusuh sistemik menjelang Pemilu 2004. Dana itu ditumpahkan mulai pertengahan Oktober hingga akhir Desember, dan katanya mulai Januari tahap-tahap operasi politik kerusuhan akan bergulir.


Analisis awam saya sekurang-kurangnya ada dua. Pertama, tentu dicari wilayah-wilayah yang rawan SARA +. Plus itu maksudnya akan ada pengembangan visi perusuhan yang tidak sekonvensional di Ambon atau Poso. Setiap potensi konflik di wilayah konteks apa pun tentu dijajaki dan diminyaki. Kedua, pasti ada kenyataan belakang panggung bahwa sesungguhnya pengambil keputusan utama tentang kepemimpinan nasional bukanlah rakyat Indonesia. Ada berbagai pihak di luar itu, bahkan tak terbatas pada multipolarisasi kelompok-kelompok elite yang diketahui umum melalui media massa.


Misalnya, khalayak terhenyak tatkala mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Hartono mengoperatori pemunculan Mbak Tutut sebagai kandidat presiden. Orang bertanya: sebenarnya Cendana masih berperan atau tidak? Apa benar awal tahun ini Cendana memegang hak pencairan dana triyunan berupa ratusan ribu rupiah yang diangkut sekian kontainer dari percetakan Australia --pesanan zaman Pak Habibie dulu? Ataukah sebenarnya Tutut dimunculkan ke permukaan dengan maksud memancing keluarnya para "Brutus" untuk juga berani turut campur dalam proses perundingan sejarah 2004?


Brutus yang dimaksud adalah mantan tokoh-tokoh Orde Baru yang ikut Soeharto puluhan tahun, kaya raya dan berkuasa, namun di saat akhir kekuasaan Soeharto melakukan pengkhianatan, berlagak reformis suci. Soeharto sungguh-sungguh marah dan dendam kepada mereka dan berencana untuk menghajar habis.


Lho, apakah Pak Harto masih sehat walafiat? Kalau begitu, kenapa tak ada proses lanjut mengadili beliau untuk mempertanggungjawabkan 32 tahun kekuasaannya? Apakah beliau masih beredar di belakang panggung dan ikut berebut menentukan skenario atas panggung? Bukankah Pak Harto sendiri pernah menandatangani surat pernyataan sumpah yang ditujukan kepada Tuhan, karena tak ada efektivitasnya jika itu diucapkan kepada seluruh penduduk Indonesia yang tak mempercayainya?


Empat sumpah itu kira-kira intinya demikian: 1. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Allah bahwa saya tidak akan pernah menjadi presiden lagi. 2. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Allah bahwa saya tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan presiden. 3. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan bersedia dan siap diadili oleh Pengadilan Negara NKRI untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahan saya selama memerintah 32 tahun. 4. Saya, Soeharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan bahwa saya bersedia dan siap mengembalikan harta milik rakyat Indonesia yang ada di tangan saya yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara bahwa itu milik rakyat.


Sekadar catatan, sumpah itu akan diucapkan Soeharto di Masjid Baiturrahman Gedung MPR/DPR-RI pada 21 Februari 1999, melalui suatu upacara wirid dan mengaji. Saya bersedia menemani beliau menghadap Tuhan dalam mengucapkan sumpah itu, karena dalam Islam ada konsep taubah nashuha. Tetapi seluruh alam semesta telanjur tenggelam dalam rasa dendam buta kepada Soeharto. Rencana itu dihardik oleh banyak tokoh. Seorang pengamat politik menuduh saya di sebuah media bahwa Emha sedang mencari jalan untuk menghindarkan Soeharto dari pengadilan rakyat dan negara.


Akhirnya, pagi-pagi 21 Februari dari masjid saya telepon Pak Harto dan saya katakan tak usah datang ke masjid, pertobatan cukup dilakukan di musala rumah saja. Kepada wartawan yang hadir pagi itu, saya katakan singkat bahwa acara saya batalkan dan saya menunggu terjadi proses peradilan kepada Soeharto, baru saya pikirkan langkah lebih lanjut. Penantian saya itu berlangsung sampai hari ini: Soeharto tak kunjung diadili.


Kalau proses antarmanusia belum dibereskan, Tuhan juga tak akan mengampuni. Kalau Soeharto dengan Indonesia belum halalbihalal, tak akan terjadi halalbihalal antara Soeharto dengan Tuhan. Juga bagi siapa saja, kecuali manusia yang berada pada posisi ditindas. Yang terbaik adalah jika Cendana mengupayakan secara maksimal, kalau perlu melakukan demo, agar negara mengadilinya. Pengadilan bukanlah penghujatan atau pencorengan nama baik. Pengadilan adalah proses adil menuju keadilan.


Sekurang-kurangnya, sekarang para pengamat keadilan di Indonesia perlu mencaritahu secara saksama apakah Cendana terlibat atau tidak dalam proses politik menuju Pemilu 2004. Apa yang sebenarnya terjadi dengan munculnya Mbak Tutut membayang-bayangi pencalonan presiden?


Yang pasti benar, ada spanduk di kota Jombang yang berbunyi: "Ingat fatwa Gus Dur dulu: Mbak Tutut adalah calon pemimpin Indonesia masa depan".


Hal-hal mengenai perpolitikan nasional sesungguhnyalah rakyat boleh dikatakan sama sekali tidak mengerti apa-apa. Termasuk saya. Sedangkan warga sebuah partai politik (parpol) pun tidak sungguh-sungguh mengerti garis ke depan yang dicanangkan parpolnya. Demo merebak di internal sejumlah parpol, karena urusan yang mereka tahu adalah persaingan memperebutkan posisi, untuk suatu ideologi dasar: mencari jabatan sekuat-kuatnya sehingga bisa menumpuk harta sebanyak-banyaknya.


Polisi yang bertugas mengambil Ustad Abu Bakar Ba'asyir dari Rumah Sakit PKU Solo jangan ditanya tentang apa yang sebenarnya dilakukannya. Ia akan menjawab berdasar kalimat panduan dari atasannya, dan itu tak perlu ia mengerti logikanya, nalarnya, benar tidaknya, baik buruknya, dosa tidaknya, atau apa pun saja dimensi-dimensi nilai yang sesungguhnya mengikat kehidupan setiap manusia. Yang disebut "panduan dari atas" itu pun ada keharusan distortifnya: di Polri bagaimana, ke bawah sedikit bagaimana, ke lapangan sebatas apa, dan seterusnya.


Polisi lain pusing kepala kalau harus menangani Amrozi, dan anak Lamongan ini bertanya serius: "Pak, kapan saya ditembak mati? Kapan?" Pertanyaan seperti itu harus dilacak melalui logika apa, tasawuf atau keputusasaan, konsep jihad dan syahid, atau fatalisme? Ataukah Amrozi ternyata juga mengidap penyakit yang mirip dengan "mad cow", sapi gila?


Pengurus-pengurus parpol di daerah sering tidak bisa menanggapi dialog tentang hal-hal yang menyangkut figur sentralnya di atas. Apalagi sekadar warga parpol biasa. Manusia Indonesia berdomisili di Jalan Persangkaan, RT Perkiraan, RW Dugaan, RK Kabarnya, Kelurahan Isu, Kecamatan Spekulasi, Kabupaten Bayangan, Provinsi Kayaknya, Negara Republik Fitnah.


Kalau diperlebar: apakah orang Muhammadiyah mengerti Muhammadiyah dan Syafi'i Ma'arif? Apakah orang NU mengerti mau ke mana Nahdlatul Ulama dan Hasyim Muzadi, terlebih-lebih lagi apakah mereka mengerti Gus Dur? Mengerti sedikit saja pun? Apakah orang PPP mengerti 5H1W parpolnya dan Hamzah Haz? Apakah warga kaum nasionalis pewaris semangat Soekarno mengerti silang sengkarut langkah putri-putri Bung Karno?


Saya pribadi sudah menerima tiga surat dari orang yang meyakini bahwa Allah telah menobatkannya menjadi Ratu Adil. Dua di Mojokerto dan satu di Krian, ada alamat dan nomor teleponnya. Yang lain memberikan buku-buku bagaimana menyelesaikan masalah Indonesia. Lainnya lagi menyuruh saya segera sowan karena beliau adalah perwujudan kontemporer dari Wahyu Nur Muhammad, yang di abad ke-14 wujudnya adalah Muhammad bin Abdullah. Saya takut sowan karena khawatir pingsan kalau ketemu manusia agung semacam itu, sehingga saya dimarah-marahi lewat telepon dan SMS.


Belum lagi para Satrio Piningit yang jumlahnya makin banyak. Ada yang pakai idiom Arab, Satrio Piningit adalah Rajulun Mahjub. Dan itu hanya mungkin kalau yang dilantik adalah Rijalullah, lelakinya Allah di muka bumi. Jampi-jampi setane sontoloyo, allohumma tekno allohumma teknooo... apakah yang sesungguhnya benar-benar kita ketahui tentang Indonesia?


Maka, salah satu pekerjaan rutin saya adalah keliling daerah-daerah untuk share ketidakmengertian, untuk mempersatukan kebodohan dan membersamakan kebingungan. Sendiri atau bersama Kiai Kanjeng biasanya kami ngumpul di alun-alun, di lapangan, di perempatan jalan, atau di jalan raya yang ditutup. Semua jenis manusia datang, kami membuka pintu bagi semua golongan, pemeluk semua agama, semua jenis profesi, semua strata dan segmen. Terutama harus dipertemukan dengan para pemimpinnya: bupati, kapolres, dandim, DPRD, siapa saja yang mungkin.


Sudah ribuan kecamatan kami datangi, ratusan kabupaten, segala model masyarakat --dari pelacur sampai blandong buruh pencuri kayu hutan. Selama Ramadan kemarin, kami ke 13 kota di Jawa Timur, hampir semua di alun-alun. Mengantisipasi siapa tahu berita tentang rekayasa kerusuhan sistemik itu benar. Kami beracara 4-5 jam. Lewat tengah malam, kami ajak seluruhnya berdiri untuk bersumpah menjaga kabupatennya dari segala kerusuhan. Apa pun yang terjadi, semua pihak bersepakat tidak akan bunuh-bunuhan, kalau ada isu muncul semua saling inter-konsultatif horizontal maupun vertikal.


Saya pakai juga kumpulan rakyat di alun-alun itu untuk menginformasikan bahwa perang Bharata Yudha akan terjadi serius di tahun 2004 ini. Bharata Yudha adalah pertarungan dahsyat pihak Kurawa dilawan oleh Pandawa. Wayang itu black and white: Kurawa jahat, Pandawa baik. Kita sederhanakan, Pandawa adalah reformis dan Kurawa adalah nonreformis. Saya selalu menikmati kecemasan para pejabat, terutama militer dan kepolisian, ketika saya mengumumkan akan terjadi perang. "Apakah Saudara-saudara siap kalau harus cancut tali wondo ikut berperang?" Massa selalu menjawab serempak: "Siaaap!"


Saya merespons: "Pak Bupati, Pak Dandim, Pak Kapolres, sampeyan dengar sendiri kesiapan rakyat kita. Kezaliman sudah terlalu parah dan berkepanjangan, sehingga tak bisa ditolerir lagi. Daripada hidup tak menentu, lebih segar kalau kita perang saja...." Mereka meringis.


Akhirnya, massa saya ajak untuk menghitung segala segi dari perang Bharata Yudha 2004, dan dialog akhirnya mandek karena semua mengalami kesulitan untuk mendaftari yang mana Pandawa. Tak seorang pemimpin pun dan tak sebuah pihak pun yang kita identifikasi yang massa yakin menyebutnya sebagai Pandawa. Sementara mereka sangat yakin ketika menyebut Pak Ini dan Bu Itu adalah Kurawa.


"Jadi, Saudara-saudara", saya menyimpulkan, "perang Bharata Yudha terpaksa gagal terjadi secara fisik, karena Pandawanya absen. Maka, satu-satunya pemaknaan adalah kualitatif: kita harus menemukan di dalam diri kita masing-masing unsur Kurawa dan unsur Pandawa, untuk kita adu dan kita bantu agar Pandawa menang. Kita temukan Kurawa dan Pandawa dalam moralitas kita, dalam perasaan dan hati kita, dalam mental dan perilaku kita. Dan saya tahu, Anda adalah rakyat Indonesia yang sudah melakukan bharata yudha di dalam diri Anda masing-masing dan memenangkan Pandawa. Itulah yang menyebabkan Anda datang ke alun-alun ini, untuk pelan-pelan menyiapkan kesebelasan Republik Indonesia di masa yang akan datang...."


Tampaknya, sekarang harus mulai kita beberkan tiga dimensi solusi bagi bangsa yang sedang menanggung beban yang secara akal tak sanggup ditanggungnya ini. Yakni solusi ilmu, solusi syafaat, dan solusi qudrah. Kita juga menunggu teman-teman Kristiani, Buddha, Hindu, Kong Hu Chu, dan semua lainnya menyumbangkan dimensi-dimensi solusi yang lain.


*Budayawan
[Kolom, GATRA, Edisi 16 Beredar Jumat 27 Februari 2004

0 komentar: