Written By Cak Nun
Kenikmatan khusus bagi saya untuk mengkhayalkan Prof.Dr.K.H.Nurkhalish Madjid, salah satu calon presiden RI, tampil berpidato di suatu acara kenegaraan di Arab Saudi atau negara-negara Arab lain. Tak sampai saya bayangkan soal karakter kepribadiannya, wibawa kenegarawanannya, atau kedalaman dan keluasan pemikirannya. Cukup kefasihannya dalam berbahasa Arab.
Tapi jangan Bu Mega atau Pak Hamzah. Tidak juga calon presiden RI yang lain: SBY, HB-X, Yusril atau siapapun. Termasuk Gus Dur. Kefasihan estetik bibir Gus Dur dalam berbahasa Arab kalah dibanding Cak Nur. Bunyi Arab dan Inggrisnya Gus Dur bunyi Jawa, sedang Inggrisnya Cak Nur cling dan clean antara British dengan American English. Karakter suara bibir lidah di ujung setiap kata yang diucapkan Cak Nur sangat kentara kefasihannya, bahkanpun ketika berbahasa Indonesia. Karakter “a”, “sh”, “sy” mencerminkan tingkat kepandaian ilmunya. Ekspresi kebahasaan Cak Nur sangat internasional. Jangan lupa, bahasa harian Cak Nur dengan anak istrinya adalah Inggris. Sementara Gus Dur is always so so so Jombang alias nJombang ndekek. Sedikit saja bersentuhan dengan ekspresi Gus Dur, langsung kentara pasti dia keponakannya ludruk. Sedang kalau Cak Nur tampil, kita curiga di turunannya Prabu Airlangga, paling tidak Patih Nambi.
Cak Nur vocalnya “kung” seperti perkutut 1-M harganya. Kalau ia menggeram, seluruh binatang rimba terbangun mendadak dari tidurnya. Waktu kecil Cak Nur bikin mimbar di atas pohon asem dan membuat corong dari seng untuk mengumandangkan adzan dan tarhim. Ketika berumur belasan tahun di Gontor Cak Nur sudah fasil berbahasa Inggris, Arab, Jerman dan Jepang. Cak Nur memenuhi persyaratan untuk berpidato menggelorakan hati rakyat sebagaimana Bung Karno. Apalagi kalau mau mematangkan diri dengan kursus teater.
Tapi jangan Bu Mega atau Pak Hamzah. Tidak juga calon presiden RI yang lain: SBY, HB-X, Yusril atau siapapun. Termasuk Gus Dur. Kefasihan estetik bibir Gus Dur dalam berbahasa Arab kalah dibanding Cak Nur. Bunyi Arab dan Inggrisnya Gus Dur bunyi Jawa, sedang Inggrisnya Cak Nur cling dan clean antara British dengan American English. Karakter suara bibir lidah di ujung setiap kata yang diucapkan Cak Nur sangat kentara kefasihannya, bahkanpun ketika berbahasa Indonesia. Karakter “a”, “sh”, “sy” mencerminkan tingkat kepandaian ilmunya. Ekspresi kebahasaan Cak Nur sangat internasional. Jangan lupa, bahasa harian Cak Nur dengan anak istrinya adalah Inggris. Sementara Gus Dur is always so so so Jombang alias nJombang ndekek. Sedikit saja bersentuhan dengan ekspresi Gus Dur, langsung kentara pasti dia keponakannya ludruk. Sedang kalau Cak Nur tampil, kita curiga di turunannya Prabu Airlangga, paling tidak Patih Nambi.
Cak Nur vocalnya “kung” seperti perkutut 1-M harganya. Kalau ia menggeram, seluruh binatang rimba terbangun mendadak dari tidurnya. Waktu kecil Cak Nur bikin mimbar di atas pohon asem dan membuat corong dari seng untuk mengumandangkan adzan dan tarhim. Ketika berumur belasan tahun di Gontor Cak Nur sudah fasil berbahasa Inggris, Arab, Jerman dan Jepang. Cak Nur memenuhi persyaratan untuk berpidato menggelorakan hati rakyat sebagaimana Bung Karno. Apalagi kalau mau mematangkan diri dengan kursus teater.
***
Tak hanya ilmunya, tapi juga kemampuan berbahasa Cak Nur sangat mengagumkan. Maka saya senang betul dengan khayalan di atas.
Bukan rahasia bahwa degradasi kultur berbahasa Arab fushah (Arab baku, resmi, semacam Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar serta Enak) berlangsung dengan kadar yang berbeda-beda di negara-negara Arab, tak terkecuali Arab Saudi. Orang selalu bercanda ketika naik haji di Makah: “Wah, di sini anak-anak kecil sudah pandai bahasa Arab”. Padahal tak demikian kenyataan di Saudi. Setiap penduduk pasti bisa omong Arab, tapi ‘amiyah, Arab pasaran. Tak sedikit yang buta huruf. Guru dan Dosen bahasa Arab di sekolah-sekolah dan universitas Saudi boleh dikatakan hampir seratus persen orang Mesir atau Sudan. Orang Arab kaya raya, sehingga untuk bikin jalan menyewa orang Mesir, membangun gedung menyewa orang Korea, untuk berbisnis cari manager dan karyawan pelaksana dari Amerika dan Eropa, untuk kebersihan menyewa orang Bangladesh dan India, untuk nyetir, memasak dan menyapu menyewa orang Indonesia. Dan untuk berbahasa Arab mungkin perlu juga menyewa orang dari luar Arab
Mohon maaf ketika selama dua minggu Maret yll Kiai Kanjeng pentas di Cairo, Alexandria, Ismailia, Tanta dan Al-Fayoum, dengan presentasi dan komunikasi bahasa Arab fushah – membuat audiens dan pejabat-pejabat yang datang menjadi terharu, memberi ekstra aplaus, tapi juga membuat mereka gelisah. Bukan hanya karena Kanjeng membawakan lengkap lagu Jawa, Perancis, Arab, dan utamanya lagu-lagu legendaris Kaukabus Syarq si bintang timur Ummi Kultsum, yang sampai hari ini tak sedikitpun bisa dikejar oleh pencapaian musisi-musisi Mesir. Bukan hanya merasa dihormati oleh kefasihan mengucapkan kalimat Arab oleh para vocalis Kanjeng dan terperangah oleh gamelan yang bisa mengejar notasi-notasi Arab. Tapi juga karena presenter Kiai Kanjeng, alumnus Gontor seperti Cak Nur, berkomunikasi sangat lancar dalam bahasa Arab fushah, bahkan selama dua jam di Nail-TV, kemudian siaran tunda di teve Ismailia dan Alexandria.
Gubernur Ismailia berpidato: “Kenyataan indahnya bahasa Arab tamu kita merupakan sindiran dan kritik yang harus membuat masyarakat kita terbangun. Harus segera ada pembenahan kurikulum di sekolah-sekolah untuk menjamin generasi muda Mesir sanggup berbahasa Arab yang sebenarnya”. Itu baru Kiai Kanjeng. Saya pastikan kalau Cak Nur yang datang ke kota-kota Mesir itu, diperlukan banyak ambulan karena begitu banyaknya orang pingsan mendengar suara “kung” dan indahnya bahasa Arab Cak Nur. Anda perlu tahu orang Mesir over-sensitif terhadap bunyi. Kalau terdengar suara, apalagi musik yang menyentuh hati, mereka langsung teriak dan berjoget-joget. Pentas Kanjeng di Gumhouria kacau lighting-nya karena petugasnya sibuk teriak “Allah! Allah!...Shalla ‘alan Nabi!” dan berjoget sepanjang pertunjukan dan lupa ngurus lampu.
***
Itu baru soal bahasa Cak Nur, belum dua unsur lainnya. Dalam sidang Liga Arab Pangeran Abdullah tuding-tudingan dan saling memaki dengan Muammar Kadhafi seperti calo terminal bis. Padal 20 Mei 1998, sehari sebelum Pak Harto lengser, dalam sebuah konferensi pers Cak Nur dituding-tuding oleh Pak Amin Rais soal Komite Reformasi, tapi Cak Nur tidak membalas dan tersenyum saja. Cak Nur lapang dada, meski di masa kanak-kanaknya, kalau ada buah jatuh di pekarangannya, teman-temannya ia larang ikut mengambil dengan ancaman : “Aku gak ridlo lho!”
Bagi Cak Nur serangan kepadanya adalah jamu. Ketika Cak Nur dalam kandungan, Pak Madjid puasa terus. Sebagai anak dari keluarga NU (di desanya sejumlah kalangan menyebut Cak Nur anti-Muhammadiyah dan digunjingkan pernah kirim surat dari Amerika Serikat yang memerintahkan pembongkaran masjid Muhammadiyah), Cak Nur sudah disentuh “tirakat” sejak di kandungan. Ada tiga adiknya dan semua pintar seperti Cak Nur. Mungkin juga karena miskin – meskipun kelak H. Ilyas mewariskan sejumlah harta yang mengangkat ekonomi keluarga Pak Madjid.
Tahun 1964 saya pernah datang ke rumah Cak Nur di dusun Mojoanyar, desa Mojotengah, kec. Bareng, dan Ibu beliau, Fatonah, yang asal usulnya dari Grenggeng Kediri, menyuguhi saya jamu. Tahun 1998 di hari-hari reformasi saya dicekoki jamu lagi. Di depan Cak Nur, saya adalah anak kecil, yang perlu jamu untuk melatih kedewasaan dalam pergaulan dengan kepahitan hidup.
Di Istana Negara, setengah jam sebelum pertemuan 9 orang dengan Pak Harto untuk meminta beliau lengser, Cak Nur mengajak saya berjabatan tangan sebagai dua lelaki: bersumpah bahwa kami berdua tidak akan ikut dalam kekuasaan pasca-Suharto.
Ditawarkan kepada Pak Harto gagasan Komite Reformasi. Ide dasarnya: Pak Harto turun, MPR dan DPR bubar. Komite Reformasi memegang kuasa sementara semacam MPR-Sementara, yang segera mengangkat Pejabat Kepala Negara Sementara (waktu itu tak ada orang lain kecuali Pak Amin Rais, yang hari-hari itu oleh BBC dan CNN selalu dipanggil “Mr.President”) yang ditugasi untuk menyelenggarakan Pemilu paling lambat 6 bulan sesudah Pak Harto lengser. Komite Reformasi terdiri atas 45 orang: Gus Dur, Megawati, Amin Rais...dan para reformis lainnya. Yang orang Orba tiga orang: Suharto sendiri, Wiranto dan Akbar Tanjung. Dua yang terakhir ini sekarang tidak jelas definisinya apakah termasuk orang Orba atau reformasi. Akbar Ketua DPR, Wiranto calon presiden.
Kami bersumpah tidak ikut Komite Reformasi, untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang kami lakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Cak Nur konsisten meskipun Pak Harto memohon-mohonnya. Komite Reformasi gagal oleh kekuatan Pak Amin Rais (dalam konferensi pers yang saya sebut di atas) yang menganggapnya sebagai strategi licik Suharto untuk tetap berkuasa. Akhirnya vacum pada jam-jam peralihan dari Suharto itu 14 menteri mendadak mengundurkan diri.
Dalam pertemuan Pak Harto dengan 9 orang 19 Mei 1998 jam 09.00 WIB, orang pertama yang omong ke Pak Harto bahwa beliau harus mundur adalah KH Ali Yafi, kemudian saya dan ketiga Cak Nur. Gus Dur kasih “gong” ke Pak Harto: “Selama ini saya bayangkan Pak Harto itu monster, ternyata pagi ini saya temukan Pak Harto ini manusia”. Saadillah Mursyid Mensesneg waktu adalah orang gagah perkasa yang menyampaikan surat agar Pak Harto mundur, yang berjudul “Husnul Khatimah”, dikonsep Cak Nur, kami rapatkan di Hotel Reagant tgl 16 Mei malam, kami konferensi-perskan di Hotel Wisata 17 malam, disampaikan kepada Pak Harto oleh Saadillah 18 sore, beberapa jam kemudian Pak Harto menyatakan setuju turun, tapi ingin ditemani oleh orang-orang tua, yakni 9 orang itu, pagi esoknya.
Gara-gara ikut ketemu Pak Harto itu saya dibenci jutaan orang sampai hari ini, terutama di Yogya, karena dianggap pengkhianat. Delapan yang lain yang bersama saya ketemu Pak Harto, mereka bukan pengkhianat, karena mereka bukan saya. Pak Malik Fajar, yang selalu memfasilitasi rapat-rapat kami dan termasuk dalam 9 orang, beberapa tahun kemudian ditanya oleh sejumlah mahasiswa – “Kok bisa Emha itu ikut 9 orang yang ketemu Pak Harto?”. Pak Malik menjawab dengan penuh kearifan dalam bahasa Jawa Timur: “Embuh arek sitok iku melok ae...”. Yang artinya: “Nggak tahu ngapain anak kecil satu itu kok ikuuut saja”. Begitu lemahnya negara ini sehingga anak kecil bisa nyelonong ke istana dalam situasi di mana – kalau situasi memaksa: di Jakarta 18 pom bensin akan meledak, 16 titik jalan tol akan ambrol, dan gedung Graha Purna Yudha akan roboh memutus Jl Gatot Subroto, sehingga Jakarta dan Indonesia tergenggam habis oleh peledaknya.
***
Hari esoknya Cak Nur kasih jamu lagi. 20 Mei malam saya minta Cak Nur merumuskan apa yang terjadi besok. Cak Nur kemudian memberi istilah: “Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek/ Dia nggak boleh ngisi sendiri seenaknya”
Pukul 23.00 dengan bantuan beberapa teman saya undang wartawan, dari koran lokal sampai CNN. Segera mereka datang ke Jl. Indramayu 14 di mana kami akan mengadakan konperensi pers: Utomo Dananjaya akan membuka acara, saya ditugasi menjelaskan secara lisan tentang lengsernya Pak Harto besok pagi, kemudian Cak Nur akan membacakan statemen yang saya ditugasi mengetiknya dan isinya sbb:
“Kami adalah pribadi-pribadi warganegara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan bangsa dan negara, dengan ini menyatakan :
(1). Sesudah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi. (2). Kami bersepakat bahwa Presiden BJ Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.(3). Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme. (4). Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi, serta UU Pers, sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi. (5). Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru. (6). Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.
Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB. Tertanda: Nurkhalish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Malik Fajar, Utomo Dananjaya, S.Drajat.
Menjelang masuk ke ruang konperensi pers, Pak Amin Rais datang. Kami berhalo-halo, Cak Nur mengobrol beberapa menit. Kami bertiga menunggu di dalam, kemudian Cak Nur masuk dan langsung membacakan pernyataan tanpa acara dibuka oleh Utomo dan penjelasan lisan dari saya. Cak Nur keliru sedikit dalam membaca, sehingga re-take. Semua berdebar-debar. Di akhir pembacaan, Cak Nur mengucapkan: Jakarta, 21 Mei 1998 pkl 00.30 WIB. Tertanda: Nurkhalish Madjid, Amin Rais.***
0 komentar:
Posting Komentar