Rumah kontrakan ini sudah hampir tiga tahun aku tempati bersama teman-temanku yang lain. Meskipun tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman dan asri. Pohon jambu depan rumah, tanaman di pot yang berjajar rapi, serta pekarangan belakang rumah yang terawat, membuat suasana di rumah kontrakan ini seakan rumah pribadi bagi yang menempatinya. Terlebih bagi kami yang berasal dari berbagai penjuru yang berbeda. Rumah ini menjadi pengikat batin sekaligus raga.
Sejenak ku rebahkan tubuhku di bangku kayu di teras rumah. Kurasakan setiap hembusan udara pagi yang mulai agak terasa panas. Dalam nafasku, udara masih memenuhi paru-paru, jantung bekerja menyebarkan darah ke seluruh syaraf ubun-ubun hingga telapak kaki tanpa perintah, setiap denyut itu seakan membawa nyawa.
Setelah denyut nadi dan jantungku mulai tenang dan teratur normal kembali, aku langsung mandi dan siap-siap masak untuk sarapan dan makan siang. Hari ini rencana menunya adalah rendang gori[1]. Rasanya sudah lama nggak masak sayur gori. Apalagi nangka di samping rumah sedang masa berbuah, lumayan juga buat ngirit pengeluaran. Pemilik rumah kontrakanku, Bu Karyo, memang menyerahkan sepenuhnya segala sesuatu yang ada di sekitar rumah, termasuk pekarangan untuk dimanfaatkan.
Dengan sedikit perawatan, pekarangan itu cukup menghasilkan. Pohon mangga di belakang rumah juga sudah mulai berbuah. Biasanya kalo tiba musim panen, kami bagi-bagikan ke tetangga sekitar rumah. Termasuk Dewi yang paling getol makan mangga sekalipun masih muda. Kalo ada mangga muda, dia suka ngundang kami untuk rujakan bareng.
“Hud, tolong carikan nangka muda dong. Entar tak masakin rendang gori yang super lezat.” Pintaku pada huda yang lagi main solitaire di depan komputer. Mas Agus dan bang Doni terlihat masih terlelap di depan tv ruang tamu.
”Emangnya ada po?”
“ Ya cari dulu dong. Kayaknya kemarin aku lihat, ada”
“Oke… entar jangan lupa beli ceker ayam buat kaldunya”
“Sip. Yang penting nangkanya ada dulu. Oh ya, nanti sekalian di kuliti ya, biar nanti aku tinggal motong-motong.”
“Siap Gus[2]. Segera dilaksanakan.” jawabnya seakan meledekku sambil beranjak ke samping rumah.
Kulihat dari dalam rumah, huda sudah mendapat incaran nangka yang ku pesan. Segera ku siapkan bumbu rendang dan santan. Sambil menunggu nangka yang diambil Huda, Ku nyalakan kompor untuk masak air dulu, tapi kok kompornya nggak nyala-nyala.
Aduh. Aku lupa kalo gasnya kemarin sudah hampir habis. Mungkin temen-temen masak mie instant atau air tadi malem, sampai gasnya habis.
Uang belanja di kotak dapur ku lihat masih ada dua ratus lima puluh dua lima ratus. Uang itu iuran kami setiap bulan. Ku beli gas, bumbu dapur dan tak lupa ceker ayam pesanan Huda di warung Pak Ahmad, bapaknya Dewi. Pak Ahmad memberi harga khusus setiap kali aku belanja di sana.
Kayaknya Dewi nggak ada di rumah. Kalo lagi ada di rumah, biasanya dia yang melayani pembeli di warung. Pak Ahmad sibuk sendiri ngurus warung kelontongnya. Maklum juga, istrinya meninggal ketika Dewi masih berumur lima tahun, karena di tabrak bus kota yang ugal-ugalan cari penumpang di tengah jalanan yang sibuk.
”Dewinya lagi kemana,Pak? Tumben nggak kelihatan.” tanyaku iseng.
”Si Dewi lagi pergi tadi sama temen-temennya. Katanya sih lagi ada acara di Paris[3].”
” Pak Ahmad, sudah masak belum? Ni temen-temen mau masak sayur gori. Nanti kalau dah mateng, tak bawa ke sini ya?”. tawarku pada pak Ahmad sambil membayar belanjaan.
Kami memang biasa saling menawarkan sayur atau makanan kalau sekiranya ada kelebihan. Terutama kalau lagi musim kenduri[4] tiba. Masyarakat di sini sangat memelihara tradisi nenek moyang mereka. Dengan sedikit pergeseran makna, upacara-upacara adatpun masih banyak dilakukan. Menurut cerita orang-orang kampung, dulu upacara-upacara semacam kenduri, ruwatan, sesaji banyak dilakukan. Tetapi sejak Islam berkembang di daerah ini, upacara-upacara semacam itu sudah jarang ditemukan. Jika dahulu ditujukan kepada arwah nenek moyang atau leluhur atau jin penunggu pohon atau batu besar, sekarang sudah berbeda tujuan. Ada yang dilakukan dengan maksud bersyukur kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan, ada juga yang hanya sekedar ingin bersedekah pada para tetangga.
Banyak juga Ulama yang menganggap hal ini bid’ah yang tidak diperbolehkan dalam agama, bahkan haram. Ada juga yang memperbolehkan tradisi ini. Entah mana yang benar, aku tidak ingin menghakimi. Yang pasti segala sesuatu tidak bisa kita hakimi, apakah itu tidak bisa diterima oleh Allah atau tidak. Amal yang kita lakukan akan memperoleh ganjaran sesuai dengan niat kita. Jika kita berniat baik karena Allah, mengapa tidak jika kita melakukannya.
Pak Ahmad juga orang yang arif dan toleran terhadap tradisi yang dilakukan masyarakat selama tidak melanggar akidah. Beliau sendiri juga lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang lulus dengan Cum laud[5]. Tak mudah bagi beliau menghakimi begitu saja sebuah tradisi atau ritual. Kalau aku tanya soal itu, beliau hanya menjawab dengan tenang bahwa semua yang kita lakukan akan kembali pada diri kita sendiri.
“Walaupun hanya seorang pedagang warung kelontong, tapi berpendidikan. Jangan sekolah hanya untuk mencari uang, tapi niatkan itu karena Allah. Sebab kita nggak pernah tahu rahasia yang Dia siapkan untuk kita.” Begitu salah satu pesannya kepadaku sewaktu baru mengenalnya.
”Tadi Dewi sudah masak buat sarapan. Ga usah repot-repot nak Zaenal.”, jawab pak Ahmad.
”Ah. Nggak repot kok Pak. Lagian Dewi belum masak buat makan siang dan malam, kan? Jadi nanti sekalian aja.”
”Makasih banyak lho nak Zen. Eh ngomong-ngomong sudah seminar proposal skripsi belum?” tanya pak Ahmad
”Sudah Pak. Judul sudah disetujui dan sekarang dalam proses pengumpulan bahan dan penulisan.”
”Judulnya apa, nak Zen?”
”Konsep Mahabbatullah[6] Rabi’ah al-Adawiyah: Sebuah Tinjauan Filosofis, Pak. Saya sebenarnya ingin lebih mendalami konsep Mahabbah yang di lakukan Rabi’ah pada Allah. Saya sangat tertarik pada ungkapan-ungkapan filosofis Rabi’ah. Pernah saya membaca salah satu syairnya yang terkenal yang berbunyi Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, maka campakkanlah aku dari dalam surga. Akan tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, janganlah Engkau enggan menampakkan keindahan-Mu yang abadi kepadaku. Seharusnya semacam itu dalam kita beribadah kepada Tuhan. Apapun keyakinan kita. ”
”Benar sekali nak Zaenal. Dulu waktu bapak masih kuliah juga sering mendengar kisah-kisah tentang Rabi’ah dari pengajian sufi yang diadakan sebuah Kelompok Studi Islam di Masjid Al-Muhsin dekat kampus bapak. Ceritanya dulu bapak tak sengaja ikut kajian itu. Bapak waktu itu mau shalat Ashar. Dan bapak cari di sekitar kampus, masjid yang paling dekat. Ada yang aneh juga waktu shalat di sana. Banyak orang yang mengenakan jas dan tampak rapi sekali, tapi banyak juga yang berpakaian seperti pengemis. Setelah selesai shalat, seorang lelaki berjenggot tipis panjang dengan jubah ala arab naik mimbar. Beliau kemudian memberi khutbah singkat tentang sikap qanaah, setelah itu seorang bule naik mimbar dan mulai berbicara banyak tentang Rabi’ah al-Adawiah. Bapak beberapa kali ikut kajian itu.
”Setelah bapak bertanya kepada salah satu jama’ah yang ada di situ, orang bule itu namanya Mr. Norman Gregart, murid dari Doris Lessing, seorang berkebangsaan Prancis yang melakukan studi Islam. Beliau seorang muallaf, tapi sudah lama belajar Islam. Dulunya penganut agama Yahudi yang taat, kemudian hidayah itu datang ketika beliau melakukan riset di sebuah komunitas sufi di mesir. Lama kelamaan beliau justru mendalami ilmu-ilmu sufistik yang menurut dia sangat selaras dengan jalan hidup yang ingin ditempuhnya. Ketika melakukan riset beliau belum masuk Islam. Baru setelah datang ke Indonesia, beliau menyatakan diri masuk Islam dan mulai belajar dengan salah satu Ulama zuhud di Jakarta. Beliau adalah Kiai Haji Ngabdul Basith. Melalui bimbingan beliau, Mr. Norman Gregart mendalami agama Islam lebih intens.
”Setelah masuk Islam, dia tidak serta merta mengganti namanya. Menurutnya, tidaklah penting seseorang menggunakan nama Islam atau Yahudi atau Nasrani, tetapi yang paling penting adalah jiwa yang kaffah dalam ber-islam. Mr. Norman Gregart pernah juga melakukan penelitian kecil tentang pemberian nama di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Dan dalam penelitiannya, banyak orang tua yang memberi nama bercorak Islam yang sangat bagus kepada anaknya, tetapi tidak diimbangi dengan penanaman akhlak yang baik sehingga kebanyakan nama bagi anak-anak mereka hanyalah sekedar simbol bahwa dia adalah seorang Muslim. Walaupun ada ungkapan nama adalah do’a, jika do’a itu hanya sekedar do’a dan tidak ada usaha untuk menggapainya, maka itu akan menjadi omong kosong belaka, begitu katanya.”
”Pak Ahmad pernah ikut kajian tentang sufi juga tho. Kalau begitu saya bisa tanya-tanya banyak nih seputar dunia tasawuf sama bapak. Mungkin juga suatu saat saya pengen ke tempatnya Mr. Norman Gregart untuk wawancara atau sekedar sillaturrahmi.”
”Insya Allah bapak siap. Tapi jangan kecewa kalau penjelasannya kurang memuaskan, lho ya. Kalau nak Zen mau, bapak juga punya beberapa koleksi buku tentang Rabia’ah dan sufi-sufi lainnya.”
”Terima kasih banyak, Pak.”
”Ya udah nak. Sana lekas pulang dan masak sayur gori yang enak ya.”
”Beres Pak. Nanti kalau udah mateng langsung tak bawa ke sini Pak.” Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung beranjak dari warung Pak Ahmad.
Aku tidak menyangka sebelumnya kalau ternyata beliau tahu banyak tentang Sufi dan Rabi’ah. Tanpa dinyana[7], sumber tulisanku untuk skripsi ternyata hanya berjarak tiga rumah dari kontrakanku. Ditambah lagi, sumbernya juga punya anak gadis yang manis. Rasanya seperti ketiban durian runtuh saja. Ah... ingin ku buang itu jauh-jauh, pikirku. Saat ini aku harus konsenterasi pada skripsi.
Ku taruh belanjaan dan tabung gas yang baru saja ku beli. Ku tulis pengeluaran hari ini dalam sebuah buku kas belanja. Sekarang saatnya beraksi di depan kompor dan bergelut dengan bumbu rendang. Gori sudah dicacah Huda dan di cuci bersih. Rupanya dia tadi agak jengkel juga nunggu aku belanja di warungnya Pak Ahmad. Aku jelaskan apa yang aku lakukan dan pembicaraanku tadi.
Rendang gori sudah matang dan hmmm... dari aromanya saja sudah kerasa enaknya.ku cicipi sedikit dan ... perfect. Segera ku sisihkan sebagian untuk Pak Ahmad dan sebagian lagi untuk kami sendiri. Bagian Pak Ahmad langsung ku antar ke warung.
Di majic jar, nasi juga sudah matang. Saatnya brunch[8]. Orang luar negeri sana, biasanya memakai istilah ini kalau mereka sarapan sekitar pukul sepuluh atau sebelasan.
”Mas, wes adus durung? Ayo gek ndang madang ! mumpung isih anget lho.[9]. tawarku pada mas Agus yang kayaknya masih ngantuk. Dia paling jago kalau begadang, tetapi habis itu langsung balas dendamnya juga lama.
“Makan dulu aja. Aku masih nunggu Doni di kamar mandi. Biasanya dia lama kalau mandi.”
”Ya udah. Tak tunggu aja. Ben iso bareng-bareng. Mangan ra mangan sing penting bareng. Yo po ra?”[10]
”Tadi masak apa?”
”Tadi aku masak rendang gori spesial pake ceker. Pokoknya ladzidz. Enak tenan. Mak nyus. Ajib.”, sambil menirukan gaya presenter kuliner.
”Wah, dah nggak sabar nih. Don, ayo cepetan! Makan!” teriak mas Agus di depan kamar mandi sambil mengetok-ngetok pintu.
”Yo, bentar Gus, lagi nangung”
Jika tidak kuliah, biasanya kami selalu makan bersama di rumah. Masakanku hampir selalu yang jadi hidangan di meja makan. Tak tahu kenapa, temen-temen kost suka masakanku. Walaupun kadang-kadang hanya bermodal sambal dan krupuk. Rasanya jika makan bersama, terasa lebih enak, apalagi kalau sudah rebutan sayur atau sambal, takut tidak kebagian, seperti kelurga kedua.
Kami selalu menjaga satu sama lain karena kami sadar, hidup jauh dari kampung dan orang tua itu tak mudah. Semangat kebersamaan itu terasa sekali ketika kami kehabisan uang atau ada salah satu dari kami yang sakit. Kami merasakan lapar bersama, tidur bersama, makan, dan semua itu membuat kami seakan menjadi satu jiwa yang terbagi dalam empat tubuh.
~¤~ ~¤~ ~¤~ ~¤~
Di meja makan sudah siap nasi yang tadi dimasak huda. Nasinya agak lembek karena kelebihan air. Kelihatannya huda sengaja memberi air agak banyak. Karena sayur rendang gori memang lebih enak kalau nasinya agak lunak. Sayur rendang gori dan lauk tempe bacemnya juga sudah siap disantap. Huda tampak lahap sekali melalap gori plus ceker pesanannya. Mas Agus dan bang Doni pun tampak menikmati sarapannya.
Sehabis brunch, mas Agus menawarkan diri untuk mencuci seluruh peralatan makan yang kami gunakan. Aku senang sekali karena memang badanku agak capek dari pagi beraktivitas. Biasanya kalau nggak ada yang jadi sukarelawan, masing-masing kami langsung mencuci peralatan makan yang kami gunakan. Hal ini wajib dilakukan untuk membiasakan diri hidup bersih dan disiplin dengan tanggung jawab sendiri.
Ku putar kaset lama Emha-Ainun-Najib mulai Ilir-Ilir hingga Wirid Sapu Jagad kemudian senandung Gus Mus yang berisi syair-syair indahnya di tape lawas di dalam kamar. Aku tak pernah bosan mendengarkan alunan puisi-puisi Budayawan-budayawan ini. Syairnya seakan tak pernah ketinggalan zaman. Sambil merebahkan badan, sayup-sayup senandungnya membiusku dalam kesyahduan. Sambil kembali membuka buku harian lamaku, ku baca-baca syair-syairnya yang begitu elok mengejawantahkan sesuatu.
Senandung lagu-lagu Cak Nun--panggilan akrab emha Ainun Najib—begitu mendayu-dayu. Juga syair-syair yang penuh penjiwaan yang ia lantunkan di sela-sela lagunya, sungguh mempesonaku. Kata-kata magisnya selalu menawanku dalam cakrawala tanpa batas. Memberi sedikit gambaran hakikat cinta pada Tuhan. Tanpa embel-embel surga dan neraka.
Terkadang dalam syairnya juga menyindir perilaku manusia yang selengekan dalam beribadah kepada Tuhannya. Orang yang merasa masih terlalu muda untuk bertaubat.
~~ ¤¤ ~~
Kita semakin lupa dengan tujuan hidup kita di dunia ini., yaitu mengabdikan diri dan beribadah pada Tuhan semesta alam. Dalam perjalanan hidup, kerap kali manusia tidak bisa menemukan jalan mana yang seharusnya kita tempuh untuk mencapai tujuan akhir dari penciptaan kita. Maka tidak jarang kita mengalami kebimbangan. Terjerumus dalam lembah hayalan dan kata, begitu kata Gus Mus. Kita tak pernah benar-benar menyembah kepada-Nya. Kedok-kedok dunia membuat kita terbelenggu dalam ibadah yang fana karena manusia. Hingga kita tak bisa menghayati setiap sujud ataupun dzikir yang setiap saat melantun dari bibir kita.
Apakah aku akan terus seperti ini selamanya, tanpa sebuah pencarian akan setiap hakikat? hakikat hidupku, matiku, ibadahku, Tuhanku? Itulah pertanyaan yang setiap saat meresahkan jiwaku dan mungkin jiwa-jiwa yang lain. Apakah fitrah aku berpikir semacam ini.? Apakah wajar jika aku selalu mempertanyakan keberadaan-Nya? Karena aku seorang mukmin yang belum tahu jawabnya.
Ya Allah! Ya Tuhanku! Engkau Maha Tahu hamba selalu berlupa, Engkau maha Tahu hamba seorang gamang dalam sujud, Engkau maha Tahu hamba selalu bertanya, tapi di manakah jawabnya? Bagaimana lagi mesti hamba mengabdikan diri pada-Mu? Firman-Mu selalu kubaca dalam kedunguan hamba. Bagaimana lagi hamba menjelajahinya?
Mataku seakan tak kuasa menahan kantuk dan kelelahan yang luar biasa. Badanku terbaring di karpet kecil, tempat biasanya aku shalat, mengadukan keluh kesahku pada Tuhan. Mataku menengadah langit-langit kamar. Antara sadar dan tidak, aku seakan terbawa ke sebuah tempat yang berbeda.
Dan semuanya gelap…
~¤~ ~¤~
[1]Sayur yang terbuat dari bahan dasar nangka muda dengan bumbu rendang.
[2]Panggilan akrab untuk putra kiai
[3]Pantai Parangtritis
[4]Semacam hajatan/ syukuran. Biasanya dilakukan ketika menjelang bulan puasa dan peringatan hari-hari tertentu. Dalam pelaksanaannya, modin(pemimpin acara) membaca mantra-mantra khusus dan beberapa ayat al-Qur’an. Setelah selesai, orang-orang yang ikut acara ini di beri berkat (nasi tumpeng, nasi golong, lauk, dan beberapa makanan kecil yang sudah tertata)
[5] Lulus dengan pujian.
[6] Beribadah dengan landasan Cinta Kepada Allah. Para Ulama sepakat bahwa yang menciptakan aliran sufistik ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah.
[7] Diduga.
[8]Sarapan kesiangan.
[9]Mas, Sudah mandi belum? Ayo cepat, kita mau makan ! mumpung masih hangat.
[10]Biar bisa sama-sama. Makan tidak makan yang penting bersama. Ya apa tidak?
0 komentar:
Posting Komentar