Written by : Saratri Wilonoyudho
 Beberapa Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bertanya kepada  saya, “Mas mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktek beragamanya  sudah tinggi namun masih juga korupsi?” Saya cukup kaget mendengar  pertanyaan tak terduga itu, apalagi teman-teman juga menunjuk bahwa  tersangka koruptor wanita kini juga gemar pakai jilbab. Teman-teman ini  tidak mau menunjuk nama para koruptor yang kini disorot media tersebut,  namun mereka bilang bahwa para koruptor itu juga ada yang pernah nyantri  (jadi “mantan” santri, batin saya), ada yang pernah jadi ketua kelompok  perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang  juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda  lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri  merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika  kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling  kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan  negara. Fenomena apa ini?
Atas pertanyaan “berat” tersebut, saya juga mengeluh, apa salah dan  dosa saya hingga harus menerima pertanyaan seperti ini, apalagi saya  juga dituntut mampu memberikan jawaban kepada mereka. Tak tahukah mereka  bahwa saya ketika mau diajak menemani para jamaah juga hanya karena  “kebetulan” saja? Namun bagaimanapun juga saya harus menjawab. Jawab  saya yang masih awam pengetahuan agamanya hanya sederhana: mereka (para  koruptor) baru sebatas menjalankan syariat agama. Mesti dipahami,  beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama  seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda” dan  bukan tujuan. Sialnya orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat  tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda” tersebut. Meski  tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan  mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan  umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada  tataran adil dan proporsional.
Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid  bukan berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan  diri menggabung ke Tuhan. Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke  Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar  bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan,  namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat  muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”,  dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda  menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya,  tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana  sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini  gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan  (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap  Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus  tapi tetap saja korupsi (misalnya)?
Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah  dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui  adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak  hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan  saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah” menjadi “barokah”?  Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa  saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang  memiliki “piring dan cangkir” yang bersih. Dengan kata lain, baru  mengamalkan satu kalimat seperti: syahadat, assalamualaikum, alhamdulillah, bismillah, dst saja kita tidak mampu, apalagi mengamalkan sebagian besar isi Al-Quran.
Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga,  apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak.  Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir  96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah  pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia,  dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski  tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di  dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang,  moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh  umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita  mau sampai kepada tingkatan taqwa?
Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji  melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak  sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa  ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke  kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya  korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang  menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang  sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia  merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding  mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih  memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut  dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena  korupsi.
Orang beragama yang sudah sampai kepada Allah, pasti akan  menggerakkan seluruh ibadah “mahdhoh-nya” untuk menuju kesadaran sejati  mengabdi kepada Allah. Setelah sholat misalnya, ia akan menyiapkan  segala indranya untuk Allah. Melalui Rasulullah, Allah telah bersabda:  “Ketika AKU mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya  sehingga dia mendengar dengan AKU, aku adalah matanya sehingga ketika  melihat dengan AKU, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara  dengan AKU, dan AKU adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan AKU”.
Kalau seseorang telah mampu “menggabungkan” diri ke Allah (tauhid),  maka ia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku  kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini, ia  akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil  dalam setiap tindakan. Keadilan adalah titik sentral dari “lingkaran  asma Allah”. Kalau dia adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Tidak mungkin tanpa rahman dan rahim  ia akan mampu berbuat adil. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, maka  ia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat  itu), maka rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.
Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang  korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan  rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada  struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka  mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil  dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori  kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada  semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa  para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?
Mestinya setiap hari ia akan “lari” kembali “menggabung” ke Allah  jika ia terbentur tembok yang mengajak menjauhkan dari-Nya. Ia harus  selalu peka mengasah “radar” jiwa dan batinnya, dan ibadah mahdhoh yang  saya sebut tadi sebenarnya adalah metode yang ampuh untuk mengasah  “radar” kepekaan tersebut. Ia harus rajin ber-iqra, dan rajin memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.
Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan,  maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah.  Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat  dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah  diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan  ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama  dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal  adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan,  tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur,  presiden, blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan  selalu ke rumah Allah.
Kata Al Ghazali: “Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka  juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya  ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak berkesesuaian dengan  kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak melemparkan semua  hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas  dendam. Lebih dari itu, mereka tahu nilai yang benar dan fungsi segala  sesuatu di atas bumi. Mereka menyimpan sebanyak apa yang menjadi  kebutuhan. Mereka makan sebanyak yang mereka butuhkan untuk tetap sehat  (dan ini berarti adil terhadap dirinya sendiri). Mereka memelihara tubuh  mereka dan secara simultan membebaskan hati mereka. Tuhan menjadi titik  fokus yang kepadanya seluruh hidupnya terarahkan. Tuhan menjadi obyek  pujaan dan perenungan mereka.”
Seorang sufi tengah berdoa dengan tenang. Seorang pedagang yang  kebetulan juga memegang jabatan menghampirinya dan menawarkan satu tas  berisi dinar emas kepada sufi tersebut. “Sebentar”, kata sang sufi. “Apakah uang ini sah? Apakah kamu masih memiliki lagi uang seperti ini di rumahmu?”. Jawab si pedagang “Tentu saja punya karena saya kaya raya!”. Lalu sang sufi bertanya: “Apakah kau masih mau mencari uang dan harta lagi yang lebih banyak? “Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk mencari ribuan keping emas lagi”. Mendengar jawaban itu sang sufi berkata: “Kalau begitu, orang kaya tidak boleh menerima uang dari si miskin. Aku kaya dan kamu masih miskin”. Kaget si pedagang mendengar kata sang sufi, lalu ia bertanya: “Bagaimana engkau menyebut aku si miskin sedangkan uangku segunung di rumah?”
Sang sufi menjawab “Saya adalah orang yang kaya karena aku selalu  puas terhadap apa yang Tuhan berikan kepadaku. Engkau masih miskin  sebab meski Tuhan telah memberikan uang segunung tingginya, engkau tidak  puas dan terus mencarinya”.
Dengan kata lain, orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah  orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya  atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan,  keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan  (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia  tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar,  melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika  pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!

0 komentar:
Posting Komentar