Ditulis Oleh: Aryo Wisanggeni G
Bau  hio telat memadati  ruang pertunjukan Gedung Kesenian Jakarta ketika   Emha Ainun Nadjib  muncul dari belakang panggung, membawa dua keris   berbuntal kain dan  beberapa lembar kertas. Cak Nun meletakkan keris yang   dibawa dibagian  depan panggung, lalu duduk bersimpuh, diam beberapa   saat, lalu mulai  membacakan puisinya.
"Hari besar panen  raya jagad semesta  segera tiba. Penduduk bumi akan  dipilah mana yang  pagi, dan mana yang  alang-alang. Mana padi berbuah,  dan mana padi yang  gabug. Mana biji  padi yang menyuburkan kehidupan,  mana biji yang  menjadi racun dan  menghancurkan dirinya sendiri..
Cak  Nun meminta izin  kepada-Nya, juga alam semesta, untuk menghadirkan   berbagai  kegelisahannya tentang hiruk-pikuk anak cucu Adam dan Hawa yang   gamang  tentang hakikat kemanusiaan mereka. Ia menempatkan para   penontinnya  untuk bersiap menggenggam berbagai pertanyaan dan renungan.
"Bimbinganlah   akal pikiran dan budi rohani mereka memasuki pembelajaran  sampai   tengah malam nanti. Memperbaharui pemahaman atas setiap kata,  meniti   kembali setiap butiran makna, mengingat-ingat kembali siapa diri    mereka, dimana sedang berada, kemana tujuan perjalanannya. Sebab sesudah    mereka semua ini masuk sekolah, kemudian ikut bernegara, mereka    tertimbun dunia, tidak kenal lagi siapa dirinya..."
Lalu   dimulai gelontoran pertanyaan Ruwat Sengkolo (Joko Kamto) yang  sedang   mengurung diri didalam kurungan kain putih ditengah panggung.  Para   tetangga menuduh Ruwat sedang mencoba menjadi dukun, atau mencari    pesugihan.
Lurah Sangkan (Fajar Suharno) dan guru Ruwat   yang bernama Ki Janggan  (Bambang Susiawan) mendatangi kurungan Ruwat   dan memintanya keluar dari  kurungan itu. Lurah Sangkan memberi waktu   dua hari bagi Ruwat untuk  mengakhiri semedinya. Ruwat berbalik marah.
"Siapakah   yang memiliki waktu, sehingga ia jatah dua hari untuk aku?.  Apa yang   harus kulakukan dalam waktu dua hari, dan hari-hari sesudahnya?  Apa  hak  masyarakat atas kemerdekaan berpikir manusia? Dan sejak kapan   negara  mengibarkan kesombongan untuk memotong hubungan batinku dengan   Sang  Mahapenguasa atas Hidup?"
Dua hari itu Ruwat   mendedahkan kemarahannya atas korupsi, keculasan,  nafsu serakah   manusia, jiga kehidupan artifisial yang berbalut penanda  demi   pencitraan. "Penduduk bumi sekarang ini butuh nabi atau rasul.  Kalau   tidak ada nabi sungguhan, ya nabi daruratlah. Kalau tidak ada  rasul   beneran, ya yang berfungsi ad-hoc-lah. Kalau tidak ada nabi dan  rasul,   maka panen raya langit akan menimpa bumi," kata Ruwat.
Ruwet 
Dua   hari berlalu, Ruwat tetap ruwet. Pak Gaspol, si polisi yang   diperankan  Kumbo Adiguno, pun datang untuk menangkap Ruwat. Tetapi, Pak   Gaspol  justru "dianiaya" Ruwat dengan perdebatan asal-usul hukum,  pasar,  teori  probabilitas kejahatan, supremasi hukum, dan tumpukan  istilah  filsafat  lain yang membongkar keyakinan hidup Gaspol.
Ruwat   memang penuh kemarahan tak berujung, hingga ia justru menganjurkan    penghancuran bumi. "Kebenaran, kebaikan, keindahan, dan martabat adalah    faktor yang menghambat kehancuran. Wahai bangsa besar, buang    ukuran-ukuran dari hidupmu. Wahai umat manusia, batalkan kemanusiaanmu.    Wahai pengurus negara, hancurkan hakikat negaramu. Wahai pemeluk  agama,   rampoklah kuasa Tuhanmu dengan tafsir-tafsir egosentris  golongan dan   aliranmu," sabda amarah Ruwat.
Titah marah  Ruwat  diobrak-abrik pertanyaan suara gaib dari langit yang  menyebut  diri Brah  Abadon (Sabrang 'Noe'). Brah Abadon mengingatkan  Ruwat yang  merasa  menjadi poros gelisah, merasa dirinya poros  penyelamatan dunia.   Pertanyaan Ruwat justru dipertanyakan oleh Brah  Abadon, mengurai satu   demi satu kemarahan Ruwat.
"Kalian manusia bumi tidak   pernah paham karakter ruang diatas waktu, dan  waktu diatas ruang.   Puncak pencapaian kalian adalah kebuntuan. Kalian  terpuruk melayang   diruang hampa," bisik Brah Abadon, si bertudung hitam  yang hanya   terlihat matanya, muncul dalam proyeksi di dua layar diatas  panggung.
Kontributor   gagasan Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc, Toto Rahardjo,  menyebutkan   pementasannya memang lahir dari kegelisahan lama yang  berulang kali   didengungkan Cak Nun. Kegelisahan itu yang akhirnya  menjadi prosa   panjang yang sejak awal digarap Cak Nun sebagai naskah  teater.
"Ini   seperti pementasan Tikungan Iblis karya Cak Nun, upaya melawan arus    utama wacana, yang saat ini menempatkan supremasi hukum dan gerakan    sosial sebagai jalan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Gerakan    sosial seperti apa, kalau rakyatnya memang sudah rusdak semua. Bagi    kami, memang butuh campur tangan Tuhan untuk memperbaiki kehidupan saat    ini. Korupsi dan segala soal sekarang ini. Korupsi dan segala soal    sekarang ini adalah akibat, bukan masalah," kata Toto.
Bagi   sebagian orang mungkin narasi-narasi yang menurut Sabrang 'Noe'    seluruhnya merupakan fakta itu sarat jawaban. Bagi sebagian lainnya,    mungkin sarat pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih enak    dilupakan daripada diresapi dan dicarikan jawaban. (Kompas, Minggu, 11  Maret 2012, hal. 21)

0 komentar:
Posting Komentar