KIAMAT Versi Teater Perdikan dan Cak Nun

"Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc" adalah judul lakon yang dipentaskan Teater Perdikan, yang berisi para seniman Yogyakarta serta Emha Ainun Nadjib sebagai penulis naskah. Dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Jumat (9/3), lakon ini juga dipentaskan di Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya.

Bisa dibilang pementasan ini juga merupakan kerja sama yang apik antara Cak Nun dan sang anak (Noe Letto). Para personil Letto yang kebagian mengurus musik dalam pertunjukan ini juga kebagian peran akting.

Noe mengaku, sudah bermain teater sejak berusia enam tahun. Sementara personil Letto yang lain, yakni Patub, Ari dan Dhedot akan berperan sebagai para akustikus, anak band yang menjadi tetangga si tokoh sentral cerita.

Cerita dimulai dengan sebuah keluarga kecil hidup biasa saja di desa pinggiran kota. Tetapi, tiba-tiba penghuni rumah, Ruwat Sengkolo, duda hampir paruh baya, menjadi sumber perhatian dan pergunjingan masyarakat. Kehebohan terjadi karena Ruwat yang sebenarnya sangat waras, memutuskan untuk hidup di dalam kurungan.

Keributan itu membuat Pak Jangkep, ayah Ruwat, yang merantau bekerja di Jakarta, mendadak pulang. Juga ada Ki Janggan, guru Ruwat dan Alex Sarpin, aktivis dan mahasiswa yang indekos di sebelah rumah, ikut mengurusi keributan di rumah Ruwat.

Para tetangga pun berspekulasi macam-macam. Ada yang mengira ia gila, mau bunuh diri, mencari kekayaan dengan pesugihan, sampai cuma cari sensasi untuk ikut pilkades.

Tak ada yang mau memahami bahwa yang mendasari kelakuan Ruwat adalah karena ia sangat yakin pada tahun 2012 adalah tahun kiamat. Kiamat, menurut dia, adalah awal dari azab tuhan kepada bangsa ini yang komplikasi problemnya hanya bisa diatasi dengan kepemimpinan yang setingkat dan sekuat nabi dan rasul.

Ia nyerocos soal sosok pemimpin yang tak becus, pengangguran makin banyak, masyarakat miskin yang semakin meningkat, tapi di sisi lain orang yang kaya makin kaya. Yang tampak bagi para petinggi negeri ini adalah semuanya baik-baik saja.

Salah satu dialog Ruwat Sengkolo menyebut kitab mengatakan bahwa kiamat akan terjadi pada 2060, para pengamat jagat raya mengatakan pada 2040, dan para penelusur waktu mengatakan pada 2012. “Aku Ruwat Sengkolo dengan ini menyatakan apa bedanya kiamat besok dan sekarang, peradaban mentok, nila-nilai hakiki susah dicari, sesungguhnya kiamat sedang berlangsung,” teriaknya lantang. Menurut dia, sebentar lagi langit akan resmi tutup buku, kemudian akan dibuat makhluk yang baru.

Sepanjang pementasan yang berlangsung hampir tiga jam itu penuh berisikan kalimat-kalimat satire yang puitis. Salah satu nukilan dialog Ruwat Sengkolo, misalnya, berbunyi, “Wahai bangsa besar, buang ukuran-ukuran dari kehidupanmu. Wahai umat manusia, batalkan kemanusiaanmu. Wahai pengurus negara, hancurkan hakikat kenegaraanmu. Wahai penegak demokrasi, batalkan prinsip-prinsip hak dan wajib asasi. Berpolitiklah dengan memakan bangkai-bangkai, hinakanlah kebudayaanmu. Campakkan ke tong-tong sampah. Wahai para pemeluk agama, rampoklah kuasa Tuhanmu dengan tafsir-tafsir egosentris golongan dan aliranmu.”

Lakon satire ini diangkat di tengah keprihatinan akan berbagai penyakit moral yang menimpa masyarakat. Perlombaan korupsi, ketimpangan sosial yang semakin mencolok, hukum yang cuma bisa menindas yang lemah, hingga krisis di dunia seni yang mengalami pendangkalan-pendangkalan.

Reformasi 1988, menurut para penggagas lakon ini, membuat semua persoalan publik dibahas dengan gamblang tanpa takut sensor. Tetapi, hal itu malah seolah-olah malah membuat dunia seni menjadi steril dari masalah publik. Karena kritik sosial telah bebas memndapatkan tempatnya di semua media, seni pun tak lagi dianggap sebagai bentuk kritik yang jitu.

Penderitaan masyarakat, meski dibicarakan setiap hari, tak ada langkah serius dan nyata untuk mengatasinya. Wacana menjada makanan sehari-hari.

Kesederhanaan tata panggung menunjukan masyarakat desa yang tergagap-gagap mengikuti perubahan. Sebagai kontras, kekinian diperlihatkan melalui anak-anak muda yang ada di sisi panggung lainnya.

Di belakang panggung layar hitam yang terpampang lebar dimanfaatkan untuk menampilkan tokoh Mbah Abadon (Brah Abadon, maksudnya), sosok yang diceritakan ada kaitannya dengan Malaikat Isrofil. Tak jelas siapa dia, yang jelas bukan manusia. Mbah Abadon diperlihatkan dalam sebuah sosok yang membayang tak tampak wajah, hanya terlihat jubah hitamnya berkelebat.

Tokoh Ruwat, walau bertingkah aneh seperti orang gila, tapi dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi negara yang bobrok sehingga tidak dapat diatasi oleh ilmu perangkat hukum atau revolusi sosial. Maka, dibutuhkan personifikasi manusia setingkat nabi atau rasul untuk “meruwat” ke arah perbaikan dunia. 

(Sumber: Republika, 12 Maret 2012, hal. 12)

0 komentar: