Written by : Ladrang Rampak Panuluh
| Cak Nun - Kiai Kanjeng | 
Siapapun yang hadir pada acara Macapat Syafa’at 17 Februari 2012  lalu akan merasakan betapa nikmatnya menjalani rasa bersyukur dan  berbaik sangka terhadap setiap keadaan apapun termasuk kepada setiap  keadaan yang tidak mengenakkan atau sama sekali tidak kita perhitungkan.  Ada momentum mati lampu yang hampir bersamaan dengan turunnya hujan  yang sangat lebat ketika acara memasuki paruh ketiga malam sehingga  sempat menggoyahkan konsentrasi san kekhusuyukan jama’ah malam itu.
Pastinya peristiwa mati lampu dan hujan lebat di tengah-tengah acara  kemarin bukan sebuah kesia-siaan. Maksudnya, peristiwa itu adalah bukti  pernyataan Allah yang menyebutkan “tidak Aku ciptakan segala sesuatu itu  sia-sia”. Sehingga, kalau kejadian itu kita letakkan dalam frame pernyataan Allah tersebut maka setidaknya ia akan bernilai sebagai kabar/informasi/ilmu yang mengandung manfaat dan kebaikan.
Setelah penampilan Kiai Kanjeng dengan beberapa nomor lagu dan  lantunan sholawat, Toto “Gus Dob” Rahardjo mempersilahkan Mustofa W.  Hasyim untuk membacakan puisinya. Berbeda dengan penampilan  sebelum-sebelumnya, malam itu Pak Mus tidak menampilkan “puisi  rusak-rusakan” sebagamana biasanya. Mengawali acara itu, beliau  membacakan pusinya yang berjudul “Aku Bangga Menjadi Pengikut Kanjeng Nabi Muhammad SAW”. Dibawah ini sedikit penggalan puisi beliau:
…Aku bangga menjadi pengikut Nabi Muhammad, sebab aku diajari Alif,
…Sungguh, aku bangga menjadi pengikut Nabi Muhammad sebab aku diajari Ba’
Sebagai penyair, Pak Mus mempunyai kelembutan sedemikian rupa  sehingga mampu mengungkapkan kecintaan dan kerinduannya kepada  Rasulullah dengan sangat indah.
Selesai Pak Mus, giliran Kang Sobary (Muhammad Sobari) dipersilakan  Pak Toto untuk berbicara. “Ada seorang sufi tua berdoa kepada Tuhan dan  setelah berdoa, ia selalu mendengar suara, pintu itu tertutup! Kemudian  sufi tua itu tetap berdoa tapi setiap kali berdoa ia selalu mendengar  suara yang sama, pintu itu tertutup! Lalu seorang muridnya bertanya,  “mengapa engkau masih terus berdoa sedangkan engkau selalu mendengar  bahwa pintu itu telah tertutup, Guru?”. Sang sufi tua menjawab, “Nak,  kalau engkau berhadapan dengan pintu yang telah tertutup, teruslah  engkau mencari, niscaya engkau akan menemukan pintu yang masih terbuka”.
Cerita ilustrasi di atas disampaikan oleh Kang Sobari untuk mengawali pembicaraan mengenai kunci mbukak lawang suwargo  (kunci membuka pintu sorga). Menurut kang Sobary, kunci segala pintu  adalah bersetia kepada proses. “Jadi intinya adalah watak konsisten dan  hidup tanpa ekspektasi, biarkan menggelinding”, ujar kang  Sobari. Mengutip salah satu puisi Goenawan Mohammad, Kang Sobari  menyampaikan bahwa hidup harus siap kecewa.
Pasti terbit pertanyaan dibenak kita, “Loh? Mana bisa hidup tanpa  ekspektasi?” Benar sekali, prinsip yang ditawarkan Kang Sobari tersebut  sekilas memang kontraproduktif dengan semboyan abad modern  sekarang ini. Bayangkan saja, mana bisa maju kalau tanpa ekspektasi.  Kiranya tidak perlu tergesa-gesa bersikap reaktif apalagi pesimis  terhadap hal-hal yang baru kita dengar. Kang Sobari mengemukakan  “hiduplah tanpa ekspektasi dan biarkan menggelinding” itu setelah beliau  menjelaskan tentang konsistensi dan kesetiaan terhadap proses  kehidupan. Jadi yang dimaksud oleh Kang Sobary bukan sebuah sikap anti  kemajuan dan anti dinamika tapi barangkali peryataan Kang Sobari itu  merupakan sebuah pilihan sikap untuk menguasai keinginan dan selalu  berprasangka baik atas skenario apapun yang dimaui Tuhan atas diri kita.  Atau dengan kata lain, rencana, keinginan, harapan dan cita-cita yang  kita punya harus kita letakkan di bawah kesadaran kita terhadap hak  prerogatif Tuhan atas diri kita.
Kang Sobari juga mengingatkan para jama’ah kepada Rabi’ah al Adawiyah  yang menurutnya justru telah menutup sendiri pintu sorga dan lebih  memilih untuk tenggelam dalam lautan cinta dan kemesraannya mencintai  Tuhan.
Lalu bagaimana pula dengan orang yang menjauh dari Tuhan dan berbuat  sesuka hati bahkan melakukan banyak pelanggaran terhadap hukum Tuhan  namun ia memperoleh banyak sekali “keberuntungan” dan “kesuksesan” di  dunia?. “Kalau demikian yang kita temui, itu mungkin saja Tuhan sedang  menggodamu atau ngajak gojek kita agar kita salah sangka terhadap-Nya”,  demikian terang Kang Sobari.
Pukul 23.10 menit, Cak Nun naik ke panggung dan langsung angkat  bicara setelah Kang Sobari selesai. Beliau mengawali pembicaraan dengan  mencermati isu seputar demonstrasi anti kelompok tertentu yang sedang  menjadi topik hangat di media massa pada minggu-minggu ini. “Kelak tidak  akan ada lagi mana Barat mana Timur, laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah,  tidak ada FPI, tidak ada Demokrat. Dan anda akan tahu bahwa kekerasan  yang dilakukan oleh FPI itu adalah kekerasan kelas terendah dari jenis  kekerasan yang anda terima selama ini,” kata Cak Nun mengawali.
Menurut Cak Nun, manusia itu mempunyai 3 unsur dalam dirinya, yaitu  harta benda, martabat, dan hati/jiwa/pikiran. Apa saja yang sifatnya  menyakiti atau mengganggu ketiga unsur itu boleh disebut sebagai  kekerasan. “Lebih sakit mana, anda saya tempeleng kepala anda atau saya  memaki dan merendahkan kehormatan orang tua anda?,” tanya Cak Nun kepada  jama’ah. “Selama ini anda telah diperlakukan bukan sebagai manusia yang  bermartabat, keberadaan anda tidak dihargai, anda terus menerus  dibohongi dan dibuat sakit hati. Itu adalah kekerasan yang lebih tinggi  tingkat kekerasannya daripada sekadar kekerasan fisik”, sambung Cak Nun.
Dengan demikian, lanjut Cak Nun, “Maiyah adalah gerakan anti  kekerasan dan gerakan spiritual karena kita selalu berusaha agar di sini  apapun menjadi kelembutan, segala yang “keras” di sini kita taklukkan  menjadi kelemah-lembutan dan kemesraan. Di sini tidak ada yang unggul  sebab keunggulan selalu dipersyarati oleh keharusan untuk merendahkan  dan mengalahkan”.
Selanjutnya Cak Nun melakukan kilas balik tentang sejarah  perkembangan peradaban modern yang berlangsung hingga masa sekarang.  Abad ke-19 ketika meletus Revolusi Perancis memulai babak baru sejarah  dunia melahirkan indusrialisasi. Kemudian abad 20 sejalan dengan  berbagai penemuan baru di banyak bidang kehidupan mendorong munculnya  Kapitalisme yang terus-menerus berkembang hingga sekarang ini kita  mengenalnya sebagai abad ultra kapitalisme atau neoliberalisme. “Nah,  ideologi ultra kapitalisme dan neo liberalisme ini  telah membuat anda tidak mampu memberi penilaian terhadap berbagai hal  mendasar dalam kehidupan selain hanya RUGI dan LABA.”
“Ada duit jatuh di jalan tidak kita ambil, itu kerugian. Wong bisa nyolong kok nggak nyolong,  rugi dong!” Seharusnya dapat tender tapi tidak jadi dapat tender sama  dengan rugi. Dalam pandangan Cak Nun orang sudah sangat canggih  memalsukan hakekat hidup dengan cara menciptakan berhala-berhala dan  melakukan pembiasan-pembiasan nilai dan makna. Orang telah sedemikian  gegap gempita menyikapi sesuatu secara proporsional dan berlebihan yang  justru akan menjauhkan seseorang dari dirinya yang hakiki. Dalam konteks  ini, Maiyah sebagai gerakan spiritualitas yaitu sebuah gerakan dimana  semua orang yang kehilangan diri mau kembali kepada orosinalitasnya dan  memahami nilai-nilai yang paling substansial dan esensial dalam  kehidupan.
Melanjutkan pembicaraan, Cak Nun menjelaskan mengenai adanya 3 jenis  kyai, yaitu: Kyai Ceret, Kyai Talang, dan Kyai Gentong. Tipologi Kyai Ceret  dimaksudkan untuk mewakili jenis kiai yang secara aktif mengucurkan  ilmu kepada banyak orang, baik diminta maupun tidak diminta. (Ceret  adalah sejenis tempat persediaan air minum yang bentuk fisiknya hampir  serupa dengan hewan bebek). Jadi, kalau engkau bertemu kiai jenis ini,  kamu tinggal memilih untuk menyiapkan wadah. Kemudian ada Kiai Talang,  yaitu seseorang yang tidak menyadari bahwa dia difungsikan menjadi  mediumnya Tuhan untuk mengalirkan dan meneruskan ilmu kepada orang lain.  Lalu yang ketiga adalah Kiai Gentong, yaitu dimaksudkan untuk  menunjuk seseorang yang secara filosofis memiliki kenyataan empiris dan  sifat-sifat kedirian seperti gentong. “Anda jangan berharap air dalam  gentong akan datang pada anda sehingga kalau anda bertemu dengan kiai  jenis ini, datanglah kepadanya dengan wadah sesuai dengan yang engkau  ingin mengambil seberapa banyak air dari gentong tersebut.”
Sebagai penutup pada sesi pertama pembiacaran malam itu, Cak Nun  menyampaikan tentang adanya kekuasan Allah yang terwujud dalam  potensialitas alam berupa padatan-padatan energi dan frekuensi yang  suatu ketika padatan-padatan itu akan mengaktual menjadi Ali bin Abu  Thalib, Sunan Kalijaga, Panembahan Senopati, dan lain-lainya.  Potensi-potensi itu kemudian pada skala waktu tertentu akan selalu  mengaktual secara terus menerus.
Acara diteruskan dengan sesi tanya jawab. Pak Toto mempersilakan  sebagian dari jamaah untuk mengajukan pertanyaan kepada para pembicara.  Penanya yang mendapat kesempatan pertama kali menyampaikan rasa  penasarannya dengan salah satu ayat dalam Surah Al-Baqarah tentang  keputusan Tuhan untuk mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi.  “Mengapa Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah padahal sudah  diprotes oleh malaikat bahwa bahwa mereka nantinya hanya akan membuat  kerusakan? Mengapa manusia itu lhoh? Nah, saya ingin tanya, definisi  manusia itu bagaimana?”, demikian pertanyaan seorang jama’ah laki-laki  dengan dialek Banyumasan.
Pertanyaan kedua datang dari jama’ah yang ingin tahu bagaimana sesungguhnya yang dimaksud dengan “bali nyang bayine”  (kembali pada bayinya sendiri) itu. Lalu penanya ketiga malam itu  mempertanyakan kenapa hidayah “pandang bulu”? Kenapa hidayah tidak  datang kepada setiap orang?
Sabrang mendapat giliran pertama untuk menjawab. Untuk pertanyaan  pertama Sabrang memulai menjawab dengan mengajak jama’ah berpikir  tentang apa yang tersirat dalam teks Al-Quran. “Coba kita cermati  kata-kata “Aku akan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi”, berarti ada kemungkinan Tuhan mengangkat khalifah juga dong  di permukaan lain di jagad raya ini?”, kata Sabrang. Menyambung  penjelasan itu, Sabrang meneruskan, “Mengapa manusia yang dipilih  sebagai khalifah padahal ia hanya akan berbuat kerusakan?”, Sabrang  mencoba membuka jalan pengertian dengan membuat analogi kucing, “kalau  kucing mencuri, itu bukan kejahatan tapi karena didasari bahwa kucing  hanya tahu mencari makan”, demikian lanjut Sabrang.
Cak Nun kemudian menyambung penjelasan Sabrang, “Poin-nya bukan pada  apa yang kau lihat, tapi pada matamu sendiri, bukan pada apa yang kau  dengar tapi pada telingamu, bukan pada materi pengetahuannya tapi kepada  metodologimu. Jadi untuk menangkap ilmu dari ayat itu, anda harus  mundur selangkah,” terang Cak Nun. Kemudian, Cak Nun mengikuti  penjelasannya dengan mengajak para jama’ah mempelajari lebih dalam ayat  yang berkaitan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah tersebut.  “Ayat itu bisa bermakna prediktif, bisa juga bermakna referensi, maka kalau anda mengatakan sesuatu anda harus ingat bahwa sebenarnya hanya sedikit yang engkau tahu/punya/engkau mampu”.
Cak Nun bertanya, “Benar Rasulullah telah ber-Isra’ Mi’raj? Benar.  Nah, berapa kali beliau ber-Isra’ Mi’raj? Berapa kali? Satu kali? Lha, sing dikandakne neng kowe pisan, lha sing kowe ra ngerti?  (yang diberitakan kepadamu sekali, lalu yang tidak kau ketahui?). Cak  Nun mengajukan pertanyaan lain “apakah Anda berkesimpulan bahwa Abu  Thalib tidak masuk Islam hanya karena anda tidak tahu? Karena Anda tidak  punya pengetahuan yang mencukupi lantas Anda bilang Abu Thalib tidak  Islam? Berani Anda berfikir begitu?
Melalui simulasi pertanyaan-pertanyaan ini Cak Nun mengingatkan para  jama’ah agar pandai-pandai menangkap fenomenologi spiritual yang  dijalani Rasulullah agar kita mengetahui seberapa tingkat Isra kita dan seberapa tingkat Mi’raj kita.
Terhadap pertanyaan “mengapa hidayah pandang bulu?”, Cak Nun meminta  agar kita tidak mudah bersedih dengan apa yang kita lihat. Menanggapi  pertanyaan itu Cak Nun lebih memilih untuk mengajak semua hadirin agar  selalu bersyukur dan merasa beruntung karena punya Nabi Muhammad. Kita  beruntung memiliki Nabi Muhammad karena kita diberi tahu siapa Nama-Nya  yang sejati. Jadi anda jangan bersedih dengan apa yang terlihat atau  apa yang sedang anda jalani sebab kalau anda ketemu dengan yang sejati  maka anda tidak bisa diintimidasi oleh apapun.”
Meneruskan penjelasan Cak Nun, Sabrang menambahkan keterangan bahwa  manusia dilahirkan dengan naluri untuk mencari Tuhan sebagaimana yang  kita temukan pada dedaunan yang selalu menuju pada cahaya. Dari  penjelasan ini lalu Sabrang membuat konektifitas bahwa Nabi Muhammad diturunkan oleh Allah untuk mengakselerasi pertumbuhan/gerak manusia menuju Tuhan.
Mengenai bagaimana bali nyang bayine dewe atau kembali pada  jabang bayinya sendiri Cak Nun mulai menjawab dengan pertanyaan, “kapan  kamu lahir? Ketika hari kamu dilahirkan atau ketika bapakmu memilih  Ibumu? Kemudian pertanyaan diteruskan, kapan bapak ibumu lahir? Kapan  bapaknya bapakmu dan bapaknya ibumu lahir? Terus, Anda cari maka tak ada  jalan lain, mendekatlah terus kepada Allah. Usaha mencari jabang bayi  ini sangat berat sebab bersamaan dengan itu orang modern dengan segala  pirantinya menghabiskan trilyunan rupiah untuk menjauhkan anda dari bayi  anda sendiri.”
Kembali ke jabang bayi menurut Cak Nun adalah melakukan apapun harus  dilandasi oleh kemurnian kehendak sendiri. Kembali ke jabang bayi adalah  selalu rajin mencari dan menemukan apa yang benar-benar murni dari diri  kita. Setelah bertanya kepada beberapa jama’ah, Cak Nun kembali  melemparkan pertanyaan, “Apakah anda masuk jurusan ilmu agama atau  apapun itu adalah murni kehendak dan keinginan anda atau  keinginan/pengaruh pihak diluar diri Anda?”
Senada dengan Cak Nun, Sabrang merumuskan bahwa jabang bayi adalah  kemurnian energi dari Tuhan, sehingga cara untuk kembali kepada jabang  bayi adalah terus-menerus melakukan simulasi terhadap keadaan-keadaan  yang kita temui/hadapi sehingga akhirnya yang ada hanya kita dan Tuhan.
Materi pembicaraan diteruskan dengan menyikapi persoalan hukum yang  sekarang sedang berlangsung di tanah air. Mengutip apa yang disampaikan  Sabrang pada sebuah kesempatan, Cak Nun mengatakan bahwa alat yang  paling canggih untuk menyelenggarakan kejahatan adalah peraturan. Maka  kita harus cepat membuat aturan kita sendiri sebelum kita dijegal oleh  musuh yang akan menjegal kita dengan per-aturan-nya. Dalam kerangka  berpikir yang demikian ini, sambung Cak Nun, yang perlu ditegakkan itu  bukanlah supremasi hukum, melainkan supremasi keadilan.
“Maka hukum tidak boleh mengandalkan pasal… mana mampu? Hukum penting tapi bukan supreme.  Hukum — memang harus adil tapi pasal-pasal hukum tidak mau adil”,  terang Cak Nun. Sedangkan sepremasi keadilan dalam pandangan Cak Nun  hanya akan terselenggara dengan hadirnya 3 hal, yaitu: hati nurani, akal  sehat, dan inspirasi hidup.
“Kita bahkan rela saling berbenturan antar saudara hingga saling  melukai dan saling membunuh hanya karena ingin menuruti aturan yang  dibuat orang lain”, lanjut Cak Nun. Pernyataan ini disampaikan Cak Nun  setelah menyegarkan ingatan seluruh jama’ah terhadap seluruh kekisruhan  yang terjadi pada berbagai macam bidang kehidupan kita dalam bernegara.  Mulai soal ribut PSSI, kontroversi halal-haram rokok, aturan perbankan,  cap sesat-tidak sesat, dan lain-lain. “Maka dari itu jangan takut  membuat keputusan. Kalau anda berani mengambil keputusan, anda akan  sampai juga pada berkah kehidupan”.
Pada ujung acara malam itu Cak Nun menceritakan tentang seorang anak  muda yang mendatanginya untuk bercerita mengenai Gunung Merapi.  Disebutkan bahwa di dalam Gunung Merapi terdapat danau api yang jika  meledak sewaktu-waktu, itu akan sanggup menghancurkan hingga 40% bagian  puncak Merapi. Berkaitan dengan hal ini, Cak Nun menyebut tahun 2012  adalah tahun panen bencana, maka sambung Cak Nun, “Dengan semua yang  kita bicarakan malam hari ini, saya sedang menyeret anda agar menjadi “wadah” suci bagi Indonesia hari depan”.
Menutup seluruh penyampaiannya, Cak Nun menandaskan, “begitu luasnya relativitas hidup itu, sehingga jangan berhenti untuk terus belajar”.
Acara Mocopat Syafa’at kali ini berakhir lebih awal dari biasanya  tapi itu tidak berarti mengurangi kucuran ilmu dan pendaran cahaya  hikmah sebagaimana dengan bulan-bulan sebelumnya.

0 komentar:
Posting Komentar